Prinsip ketiga adalah praktik, praktik, praktik.Sewaktu SMP saya masih ingat ketika dikenalkan pada mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi. Materi pertama yang saya dapatkan adalah cara menghidupkan komputer.
Saya pikir, saya akan berhadapan langsung dengan komputer dan bisa menjemahnya dengan asyik karena sebelumnya saya belum pernah bertemu komputer secara langsung. Ternyata tidak! Saya hanya diberi buku paket dan diminta membayangkan bentuk komputer.
Tekan tombol power pada perangkat CPU, kemudian tekan tombol power pada perangkat monitor. Selanjutnya, lampu indikator komputer akan menyala, tunggu beberapa saat, setelah muncul gambar dan beberapa menu pada layar komputer artinya komputer telah siap digunakan.
Apakah dengan cara menghafalkan seperti itu, saya bisa dianggap telah kompeten menghidupkan komputer? Jawabannya tidak! Seseorang yang hafal teori tidak bisa disebut kompeten sebelum membuktikannya secara nyata.
Kalau anak kita hafal materi berakhlak mulia tak berarti dia benar-benar memiliki akhlak mulia. Harus dibuktikkan secara nyata dalam keseharian.
Nah, dalam homeschooling kita menganggap praktik itu lebih penting ketimbang teori. Kita tak akan menghabiskan waktu untuk menghafal teori. Teori itu sifatnya wawasan agar saat praktik kita tidak kagok. Teori itu membantu agar kita tidak sekedar trial and error.Sekalipun dalam praktiknya, kita tetap akan melakukan kesalahan. Tapi, setidaknya anak-anak akan belajar lebih cepat jika mereka terjun langsung dan tahu medan perangnya.
Prinsip keempat adalah mengikuti rasa ingin tahu anak.Dalam praktik pendidikan, anak kita seharusnya menjadi subyeknya. Kurikulum, metode belajar, materi pelajaran dan kegiatan keseharian harus dibentuk sedemikian rupa guna menstimulasi potensi mereka.
Tapi, yang terjadi di sekolah justru sebaliknya. Satu kurikulum yang disusun pemerintah diaplikasikan oleh sekolah dari Sabang sampai Merauke.
Anak-anak yang tinggal di gunung harus belajar tentang pantai, kota besar dan bercita-cita hidup merantau di ibukota dengan harapan bisa hidup lebih baik. Semua disamakan. Padahal konteks kehidupan riilnya berbeda. Sekalipun setelah sampai di tangan sekolah, kurikulum ini akan diadaptasi sesuai kondisi murid-muridnya. Tapi, pada kenyataannya tidak ada yang banyak berubah.
Dalam homeschooling, kurikulumlah yang harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan karakter anak kita. Orangtua menyusun visi pendidikan di awal, membuat dan menjalankan strategi.
Jadi, kita tetapkan dulu cita-citanya, baru mencari kendaraan yang tepat agar tercapai cita-cita tersebut. Supaya pendidikan yang dijalankan tepat guna dan sasaran. Bukan sekolah dulu, baru setelah lulus menentukan mau jadi apa.