Kalau homeschooling bukan lembaga. Kalau homeschooling bukan seperti tempat kursus dan sekedar menitipkan anak ke sebuah institusi. Kalau homeschooling adalah pendidikan berbasis keluarga dimana orangtua memiliki tanggung jawab utama. Lalu, bagaimana cara belajar anak-anak homeschooling?
Kalau di sekolah kan sudah jelas. Anak-anak datang pukul 7, duduk tenang, mendengarkan guru, sesekali diminta guru untuk menjawab pertanyaan, sesekali mencatat penjelasan guru dan sesekali merasakan nikmatnya jam kosong tanpa ada guru pengganti.
Lalu, bagaimana cara belajar anak homeschooling? Apakah kita juga punya jadwal yang runtut seperti datang pukul 7 dan pulang pukul 4 sore seperti kuli?
Cara belajar anak homeschooling satu dengan lainnya berbeda. Tergantung dari kondisi keluarga, visi pendidikan yang ingin dicapai oleh keluarga dan model pembelajaran yang diterapkan. Model pembelajaran homeschooling ada banyak sekali. Misalnya, School at Home, Unschooling, Eclecticatau memanfaatkan pemikiran tokoh pendidikan.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas model pembelajaran. Saya akan fokus membagikan informasi mengenai prinsip atau cara belajar keluarga homeschooling.
Hal utama yang harus Anda ingat mengenai homeschooling, belajar itu tidak sama dengan buku. Belajar tidak sama dengan duduk dan menghafal materi pelajaran. Belajar tidak sama dengan menulis atau mendengarkan guru.
Belajar adalah melakukan kegiatan apapun yang membuat pengetahuan dan pengalaman kita bertambah serta karakter kita menjadi lebih baik.
Jadi, apapun yang kita lakukan, sekalipun itu sepele seperti mengepel, tapi jika itu mampu membuat karakter kita lebih baik, misalnya, menjadi lebih sabar, maka itu bisa disebut belajar. Kalau kita membantu ibu di dapur, kemudian kita jadi tahu jenis empon-emponyang ada di Indonesia, itu berarti pengetahuan kita bertambah. Artinya, jagongandi dapur adalah proses belajar.
Inilah pandangan yang harus kita ubah mengenai kata belajar. Selama ini kita menganggap belajar itu sama dengan pegang buku. Kita selalu meminta anak untuk belajar. Kalau mereka asyik main sama temannya main kelereng, kita marah-marah karena seharian mereka belum pegang buku.
Padahal, dari bermain kelereng itu mereka belajar tentang sportivitas, belajar menerima kekalahan dan mengatur emosi, ada kemampuan motorik yang diasah serta membuat anak berpikir mengenai strategi. Kalau orangtua jeli, maka kegiatan sepele yang sifatnya keseharian bisa diberi makna belajar.
Prinsip Belajar Homeschooling
Dengan mengubah pandangan kita mengenai belajar, anak-anak pun jadi lebih cinta belajar. Karena selama ini mereka menganggap belajar itu matematika, fisika dan bahasa Inggris, ya jelas mereka jadi muak dengan kata belajar. Ditambah cara yang kita gunakan dalam mengajar itu lebih sering menggunakan metode ceramah yang membosankan.
Coba kalau dari awal kita kenalkan pada anak bahwa belajar adalah bermain. Saat ini, mereka pasti selalu ingin belajar! Oke, saya rasa belum terlambat untuk melakukan mind reloadedpada anak Anda mengenai definisi belajar.
Sekarang, saya akan jelaskan 5 prinsip atau cara belajar keluarga homeschooling. Sekalipun Anda bukan praktisi homeschooling, Anda tetap diijinkan untuk menerapkan prinsip ini untuk keluarga Anda di rumah.
Prinsip pertama adalah mengeluarkan potensi anak.Istilah pendidikan dalam bahasa Inggris disebut Education.Dan, educationini berasal dari bahasa Latin educareyang bermakna mengeluarkan.
Jadi, pendidikan yang sebenarnya haruslah mampu mengeluarkan potensi anak. Tapi, yang terjadi di sekolah justru sebaliknya. Kita memasukkan sebanyak mungkin informasi dan pengetahuan dalam otak anak.
Kemudian, kita berasumsi bahwa semakin banyak tahu, maka anak semakin pintar. Tidak! Semakin banyak tahu, justru anak makin bingung bagaimana memanfaatkan pengetahuannya.
Selain itu, pengetahuan yang dibagikan pun tidak mendalam. Sekedar tahu matematika, sekedar tahu bahasa Indonesia, sekedar tahu bahasa Inggris. Sekedar tahu, tapi tak paham secara mendalam. Sangat nanggung!
Coba Anda perhatikan orang-orang yang profesinya itu jelas dan punya kemampuan menonjol dalam satu bidang. Pasti, penghasilannya di atas rata-rata. Coba perhatikan orang-orang yang kemampuannya rata-rata dan tidak memiliki satu ketrampilan khusus. Mereka pun akan dibayar rata-rata oleh perusahaan yang mempekerjakan.
Prinsip belajar homeschooling tidak memaksa anak untuk menelan semua materi. Kita memilih bidang-bidang tertentu yang membuat anak tertarik dan sesuai dengan bakatnya. Kita mendorong dan menstimulasi potensinya agar berkembang dan bisa dijadikan alat untuk berkarya.
Prinsip kedua adalah keteladanan orangtua.Dalam keseharian homeschooling, orangtua adalah role modelutama. Kita tak bisa menasihati anak, mengajarkan perilaku berakhlak mulia, tapi kita sendiri sering berbohong dan tidak berbakti pada orangtua.
Ingat! Perilaku orangtua dalam keseharian itu 2X lebih cepat dicontoh anak ketimbang nasihat yang disampaikan. Anda pasti sering dengar kan ungkapan, anak adalah cerminan orangtua?Jelas sekali! Sebagaimana anaknya berperilaku, seperti itu pula keseharian orangtuanya.
Prinsip ketiga adalah praktik, praktik, praktik.Sewaktu SMP saya masih ingat ketika dikenalkan pada mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi. Materi pertama yang saya dapatkan adalah cara menghidupkan komputer.
Saya pikir, saya akan berhadapan langsung dengan komputer dan bisa menjemahnya dengan asyik karena sebelumnya saya belum pernah bertemu komputer secara langsung. Ternyata tidak! Saya hanya diberi buku paket dan diminta membayangkan bentuk komputer.
Tekan tombol power pada perangkat CPU, kemudian tekan tombol power pada perangkat monitor. Selanjutnya, lampu indikator komputer akan menyala, tunggu beberapa saat, setelah muncul gambar dan beberapa menu pada layar komputer artinya komputer telah siap digunakan.
Apakah dengan cara menghafalkan seperti itu, saya bisa dianggap telah kompeten menghidupkan komputer? Jawabannya tidak! Seseorang yang hafal teori tidak bisa disebut kompeten sebelum membuktikannya secara nyata.
Kalau anak kita hafal materi berakhlak mulia tak berarti dia benar-benar memiliki akhlak mulia. Harus dibuktikkan secara nyata dalam keseharian.
Nah, dalam homeschooling kita menganggap praktik itu lebih penting ketimbang teori. Kita tak akan menghabiskan waktu untuk menghafal teori. Teori itu sifatnya wawasan agar saat praktik kita tidak kagok. Teori itu membantu agar kita tidak sekedar trial and error.Sekalipun dalam praktiknya, kita tetap akan melakukan kesalahan. Tapi, setidaknya anak-anak akan belajar lebih cepat jika mereka terjun langsung dan tahu medan perangnya.
Prinsip keempat adalah mengikuti rasa ingin tahu anak.Dalam praktik pendidikan, anak kita seharusnya menjadi subyeknya. Kurikulum, metode belajar, materi pelajaran dan kegiatan keseharian harus dibentuk sedemikian rupa guna menstimulasi potensi mereka.
Tapi, yang terjadi di sekolah justru sebaliknya. Satu kurikulum yang disusun pemerintah diaplikasikan oleh sekolah dari Sabang sampai Merauke.
Anak-anak yang tinggal di gunung harus belajar tentang pantai, kota besar dan bercita-cita hidup merantau di ibukota dengan harapan bisa hidup lebih baik. Semua disamakan. Padahal konteks kehidupan riilnya berbeda. Sekalipun setelah sampai di tangan sekolah, kurikulum ini akan diadaptasi sesuai kondisi murid-muridnya. Tapi, pada kenyataannya tidak ada yang banyak berubah.
Dalam homeschooling, kurikulumlah yang harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan karakter anak kita. Orangtua menyusun visi pendidikan di awal, membuat dan menjalankan strategi.
Jadi, kita tetapkan dulu cita-citanya, baru mencari kendaraan yang tepat agar tercapai cita-cita tersebut. Supaya pendidikan yang dijalankan tepat guna dan sasaran. Bukan sekolah dulu, baru setelah lulus menentukan mau jadi apa.
Lha kalau apa yang diinginkan ternyata tak sesuai dengan latar belakang pendidikannya bagaimana? Kemudian, kita harus keluar biaya dan waktu lagi untuk mempelajari hal-hal yang dibutuhkan di dunia nyata. Nggak masalah kalau uangnya banyak, lah kalau uangnya ngepas?
Prinsip kelima adalah evaluasi berkelanjutan.Dalam sekolah, kita mengenal ulangan, UTS, UAS dan UN sebagai sistem evaluasi kompetensi anak-anak.
Evaluasi ini dilakukan secara periodik dalam jangka waktu tertentu. Misalya, UAS dilakukan tiap 6 bulan sekali. Sayangnya, evaluasi yang dilakukan ini hanya ada pada ranah kognitif. Â Lalu, bagaimana dengan ranah afektif dan psikomotorik anak?
Memang saat ini kurikulum 2013 menyisipkan nilai perilaku seperti akhlak mulia, tapi pada kenyataannya nilai ini dibuat guru berdasarkan apa yang dilihat sekilas di sekolah. Bisa jadi anak bersikap manis saat di kelas untuk menarik simpati guru. Tapi, dalam keseharian di rumah maupun lingkungan bermainnya, guru tak benar-benar tahu dengan perilaku muridnya.
Dalam homeschooling, evaluasi berkelanjutan tak hanya dinilai dari ranah kognitif. 3 indikator yang menjadi fokus dalam evaluasi homeschooling;
- apakah pengetahuan anak bertambah
- apakah kemampuan anak makin terasah
- apakah anak bahagia dan enjoy menjalani kesehariannya?
Jika 3 hal itu tercapai, artinya perjalanan homeschooling kita berhasil. Jika ada salah satu indikator yang belum tercapai, maka kita perlu melakukan perbaikan. Apakah visi pendidikan yang belum sesuai dengan kondisi anak, apakah strategi yang disusun belum maksimal atau target keseharian yang dibuat terlalu tinggi.
Baiklah, pada akhirnya pilihan tetap ada di tangan orangtua. Apakah setuju dengan prinsip pendidikan homeschooling yang lebih adil bagi anak atau tidak. Karena masa depan anak-anak Anda sedikit banyak akan dipengaruhi oleh pilihan Anda dalam hal pendidikan. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H