Mohon tunggu...
Ayu Safitri
Ayu Safitri Mohon Tunggu... Konsultan - Trainer dan Konsultan Homeschooling

Penulis dan Trainer untuk http://pelatihanhomeschooling.com/ Ikuti saya di Instagram https://www.instagram.com/missayusafitri/ Ikuti saya di Facebook https://www.facebook.com/missayusafitri Tonton dan subscribe VLOG saya http://bit.ly/apaituhomeschooling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Bunga dan Prestasi Akademisnya yang Tak Berguna

23 Januari 2018   13:31 Diperbarui: 24 Januari 2018   16:58 2620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sewaktu SMP saya pernah dekat dengan seorang teman. Sebut saja dia Bunga. Tapi, Bunga ini bukan penjual bakso boraks ya. Jadi, suaranya nggak perlu dikaburkan. Hehe..

Saya selalu ingin dekat dengan dia. Bukan karena saya penyuka sesama jenis, tapi karena Bunga ini pintar dan rajin banget. Aku rasa semua guru kenal dia karena ya biasalah, murid yang paling dikenal guru di kelas itu kan murid yang terpintar.

Untuk mata pelajaran matematika, fisika, biologi, Bahasa Inggris, ekonomi, Bunga memang jago. Bahkan saya bisa katakan hampir semua mata pelajaran akademis, Bunga selalu dapat nilai paling baik.

Selama 1 tahun sekelas dengan Bunga, saya duduk di bangku depan Bunga. Alasannya, supaya saya selalu dekat dengan dia. Memang apa sih keuntungannya kalau saya dekat dengan Bunga?

Begini, di kelas itu guru sering memberi tugas kelompok. Kalau kelompoknya bebas alias boleh pilih sendiri, saya berusaha untuk bisa satu kelompok dengan Bunga. Karena dia pintar dan saya selalu ingin memanfaatkan kepintarannya itu.

Sstt, saya sendiri bukan murid yang pintar. Saya tidak pernah benar-benar antusias mengikuti proses pembelajaran selama sekolah. Saya dulu juga murid yang pasif.

Kalau saya satu kelompok dengan Bunga, maka saya nggak perlu mikir! Buat apa saya mikir ngerjain tugas, kan ada Bunga yang jauh lebih pintar. Kontribusi pemikiran saya pun akan dianggap nol oleh Bunga. Kalau dipikir-pikir saya sewaktu SMP ternyata picik ya pikirannya, hehe.

Saya harap sekarang tidak ada murid yang picik seperti saya. Karena Bapak-Ibu guru mengelompokkan kita dengan tujuan murid-murid bisa berbagi pengalaman dan pengetahuan. Bukan merugikan si pintar atau mengenakkan si bodoh.

Tapi, ya mau gimana lagi. Saya itu orangnya males mikir! Kalau satu kelompok dengan Bunga, saya akan ambil peran sebagai sekretaris alias tukang mencatat. Cukup mendengarkan dan mencatat apa yang Bunga katakan, itu berarti saya sudah ikut andil dalam tugas kelompok.

Bunga dan kehidupannya

Sebagaimana anak pintar pada umumnya, Bunga itu kadang pelit. Kalau diminta ngajarin selalu bilang nggak bisa. Kalau hari ini ada ulangan selalu bilang belum belajar. Tapi, tahu-tahu pas nilai diumumkan dia dapat nilai paling tinggi. Saya yang percaya dengan omongan Bunga dan merasa aman karena ada teman yang belum belajar, eh malah dapat nilai jelek. Harus mengulang sendirian deh.

Ya begitulah kisah nahas dari seorang yang prestasi akademisnya biasa-biasa saja, bahkan cenderung jeblok. Saya sama sekali tidak bangga dengan hal ini. Tapi, saya juga tidak minder. Karena saya percaya tiap orang punya kelebihan masing-masing. Kalau Bunga otaknya tokcer omongin soal akademis, saya juga punya kelebihan lain yang sekarang menjadi profesi.

Sekarang, saya ingin berbagi kisah Bunga pada Anda. Khususnya untuk orang tua yang berharap anaknya bisa menjadi seorang yang sukses dan berguna di masa depan. Namun, sebelumnya saya ingin bertanya pada Anda. Kalau diminta untuk membuat pengandaian, kira-kira bagaimana kondisi Bunga saat ini?

Dengan prestasi akademis luar biasa selama sekolah, hampir tidak pernah mengulang atau mengikuti remidi tiap kali ulangan, UTS dan UAS.

  1. Apakah keadaan Bunga saat ini baik-baik saja?
  2. Apakah pekerjaan Bunga saat ini ada hubungannya dengan prestasi akademisnya?
  3. Apakah prestasi akademis Bunga membantunya mendapatkan kehidupan yang lebih layak?
  4. Apakah prestasi akademis Bunga bisa dijadikan senjata untuk menghadapi masalah dalam kehidupannya?

Untuk kasus Bunga, semua pertanyaan itu saya jawab dengan satu kata, TIDAK.

Bunga teman saya, tidak dalam keadaan baik. Pekerjaan Bunga tidak ada hubungannya dengan prestasi akademisnya. Prestasi akademis Bunga tidak bisa membuatnya hidup layak. Prestasi akademis Bunga tidak bisa dijadikan senjata menghadapi masalah dalam hidup.

Bunga teman saya memang kurang beruntung. Dia pintar, tapi berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Ibunya seorang perangkat desa, janda dan harus menghidupi 3 orang anggota keluarga; Bunga, kakak Bunga dan nenek Bunga.

Sekali pun pintar, Bunga harus menerima kenyataan bahwa ia tak bisa melanjutkan kuliah. Dia pernah mencoba mengikuti seleksi masuk STAN. Karena di sana biaya kuliah sampai lulus adalah Rp. 0. Setelah lulus pun ceritanya akan langsung ditempatkan di lingkungan Kementerian Keuangan sebagai PNS.

Sayangnya, setelah sekali mencoba dan gagal Bunga malas untuk berjuang mencari keberuntungan. Kini dia beranggapan bahwa sukses itu hanya untuk mereka yang terlahir beruntung dengan fasilitas dan kemudahan dari orangtua. "Untuk orang seperti saya, mana mungkin." Begitu curhat Bunga pada saya. Dengan bersekolah, dari SD sampai SMA ia dan ibunya pun berharap ada perubahan nasib. Tapi, pada kenyataannya tak ada yang banyak berubah.

Setelah lulus SMA dan gagal masuk STAN, Bunga memutuskan untuk bekerja. Dia bekerja sebagai seorang kasir di sebuah minimarket di salah satu kota besar di Indonesia. Yup, Bunga jadi anak perantauan. Dengan bekal nilai ijazah yang tinggi untuk semua mata pelajaran UN, ternyata tak lantas membuat Bunga mendapatkan posisi yang dihormati di tempat kerja.

Bunga tetap harus memulai dari nol. Lalu, apa manfaatnya belajar giat dan mendapat nilai bagus yang tercetak di selembar ijazah? Tidak ada artinya kah di tempat kerja? Sama sekali tidak ada. Takkan ada perusahaan yang bertanya, berapa nilai geografi Anda di ijazah? Apakah ini hasil sendiri atau patungan dengan rekan sekelas?

Perusahaan memang meminta Anda melampirkan fotocopy ijazah dan transkrip. Tapi, kenyataannya tidak ada perusahaan yang akan mengecek detil nilai Anda, kemudian menjadikannya referensi dalam membuat keputusan. Perusahaan hanya menggunakannya sebagai bentuk formalitas. "Oh, orang ini pernah sekolah dan sudah lulus. Artinya, dia bisa baca, tulis dan hitung." Sudah cukup! Hanya itu yang ingin mereka pastikan.

Ijazah dan transkrip bisa dikatakan hanya sebagai tiket masuk perusahaan. Di dalam, perusahaan akan melakukan tes lanjutan dan inilah yang lebih menentukan nasib Anda. Misalnya, mengadakan Tes Potensi Akademis, tes ketrampilan dan wawancara mendalam,

Nggak perlu mati-matian belajar!

Belajar mati-matian untuk mengejar rangking, tapi di masa depan ternyata nilai-nilai itu tak banyak membantu. Orang tua selalu mengelu-elukan anaknya yang berprestasi. "Matematikanya dapat 10, nilai IPA-nya selalu di atas 8. Bahasa inggrisnya juga jago" (baca; jago dalam bentuk teks --kenyataannya nggak bisa omong Inggris).

Tapi, setelah lulus sekolah dan bekerja sebagai kuli, kisah orang tua yang bangga pada anaknya ini berakhir tanpa ada episode yang jelas. Mati-matian belajar di sekolah untuk mengejar prestasi bagus di selembar kertas bernama ijazah, ternyata di masa depan kita tak bisa mengandalkannya sama sekali.

Apakah ini berarti selama ini sekolah kita belum mengajarkan sesuatu yang berguna bagi muridnya? Sesuatu yang bisa disebut pengetahuan dan ketrampilan guna meraih hidup layak.

Kurikulum sekolah konon disusun oleh mereka yang berpendidikan. Disadur dari buku-buku teori yang valid agar anak-anak Indonesia juga bisa berpendidikan layaknya si penyusun. Namun, saking validnya buku-buku teori yang dijadikan referensi justru pada kenyataannya jauh dari konteks riil kehidupan anak dan kondisi keluarganya.

Seperti teman saya Bunga yang lebih membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Menjadi ilmuwan matematika, fisika, biologi sama sekali tidak sesuai dengan konteks kehidupan Bunga. Inilah yang membuat prestasi akademis Bunga tidak berguna saat kembali ke kehidupan nyata.

Karena Bunga dan kehidupan nyatanya lebih membutuhkan wawasan mengenai peluang usaha yang bisa dikerjakan bersama ibu atau saudaranya di desa. Bunga memerlukan ketrampilan yang benar-benar bisa diandalkan untuk mencapai kehidupan finansial lebih baik, untuk menyejahterakan ibu dan keluarganya.

Bukan sekedar belajar dengan keras, kemudian diajak berangan-angan menjadi PNS atau karyawan BUMN yang mana itu membutuhkan bekal ijazah dari perguruan tinggi. Sedangkan, untuk sampai ke perguruan tinggi membutuhkan biaya tak sedikit.

Kepintaran Bunga hanya berupa teori dan tidak ada hubungannya dengan kebutuhan riil. Dengan bersekolah, Bunga dan ibunya berharap bisa membangun kehidupan yang lebih baik. Tapi, kenyataannya tidak. Bunga memang hidup di kota besar dan menjadi kasir. Berseragam, bekerja di ruangan ber-AC. Tapi, ia tetaplah seorang kuli yang harus berangkat dari pagi sampai sore. Jika terkena shift, Bunga harus berangkat sore dan pulang tengah malam.

Ia menanggung biaya hidup di kota besar, membayar kos dan masih harus mengirimi ibunya di desa. "Nggak ada uang sisa yang bisa ditabung," keluh Bunga pada saya.

Ini adalah kisah yang juga banyak dialami oleh masyarakat di sekitar kita. Sejatinya, apakah sekolah bisa dijadikan harapan untuk hidup lebih baik dan layak? Kita memang membutuhkan ilmu teoretik. Matematika, fisika, biologi, kimia, geografi, kita butuh itu. Tapi, cukup dasarnya saja. Yang lebih penting adalah membangun kesadaran sosial anak-anak kita.

Membangkitkan potensi dalam diri anak, mengajak mereka melihat dan menganalisa peluang yang ada di lingkungannya masing-masing. Orangtua, jangan bangga dulu dengan anak-anak Anda yang pintar secara akademis. Jangan heboh dan pamer sana-sini kalau matematikanya selalu dapat 8. Karena di luar sana banyak Bunga-bunga yang kaget setelah terjun ke dunia nyata.

Ternyata apa yang mereka dapatkan di sekolah selama ini tidak bisa diaplikasikan di kehidupan nyata. Saya selalu ingat apa kata Prof. Rhenald Kasali dalam bukunya "BAPER- Bawa Perubahan"

"Nilai atau rangking sekolah hanya sebagian kecil dari sebuah prestasi. Kecil sekali, apalagi jika belum dibuktikan dalam kehidupan nyata."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun