Mohon tunggu...
Ayu Safitri
Ayu Safitri Mohon Tunggu... Konsultan - Trainer dan Konsultan Homeschooling

Penulis dan Trainer untuk http://pelatihanhomeschooling.com/ Ikuti saya di Instagram https://www.instagram.com/missayusafitri/ Ikuti saya di Facebook https://www.facebook.com/missayusafitri Tonton dan subscribe VLOG saya http://bit.ly/apaituhomeschooling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gunung, Matahari, Sawah dan Jalan Raya: Bukti Jiwa Seni yang Mati

12 Agustus 2017   07:46 Diperbarui: 13 Agustus 2017   17:43 31320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belajar itu Mengeluarkan, Bukan Memasukkan

Anehnya, guru yang masih menggunakan cara-cara lama itu tak suka kalau muridnya mengaktifkan seni berpikir yang membuat kita kreatif mencipta. Mungkin karena menelan mentah-mentah makna guru dalam bahasa Jawa, digugu lan ditiru(dipercaya dan dicontoh). Jadi, murid tak punya hak untuk mengungkapkan opini, tak berkesempatan menjadi diri sendiri. Semua harus plek sama seperti cara guru.

Asal kata pendidikan (education)  dari bahasa latin educare yang bermakna mengeluarkan. Artinya, melalui media pendidikan seharusnya kita mampu mengeluarkan kemampuan anak yang sesungguhnya. Mengeluarkan potensi terdalamnya. Guru, orangtua, lingkungan adalah fasilitator yang mempertemukan pengetahuan dengan individu.

Sebaliknya, yang terjadi malah kita menjejalkan pengetahuan sebanyak mungkin ke kepala anak. Kita beranggapan semakin banyak pengetahuan yang diketahui, maka mereka akan semakin pintar. Padahal tahu saja tidak cukup. Anak-anak perlu memiliki kemampuan mengubah 'tahu' itu menjadi tindakan nyata yang menghasilkan.

Untuk bisa mendapatkan kemampuan mentransformasi pengetahuan ke dalam tindakan, kita perlu mengaktifkan otak anak. Caranya? Jangan dikekang! Jangan benci kalau mereka rame dan tak anteng di kelas! Selama ramenya anak-anak adalah proses menuju pemahaman, Anda harus ijinkan.

Hindari mengatur dan mendikte. "Kerjakan seperti ini. Lakukan seperi itu. Jangan pakai ini, harus pakai itu!"Terlalu banyak mengatur dan menyiapkan segala hal untuk anak hanya akan membuat jiwa kreatifnya tumpul, kemudian mati.

Inilah salah satu penyebab kenapa hampir semua murid sekolah dasar hanya bisa menggambar gunung bersama dengan matahari, jalan raya dan sawah. Karena kebebasan berpikirnya telah direnggut sejak kecil. Karena terbiasa diatur, dilayani dan disetel manut pada yang lebih dewasa.

Kita jadi kaku, tak gesit bergerak kesana kemari, tak memiliki kebebasan berpikir yang mendorong otak mencipta secara liar. Parahnya lagi ini tak hanya terjadi pada satu generasi. Senior dan junior kita pun seolah jiwanya terpasung tak boleh mencicipi kebebasan berpikir.

Rangsang Anak-anak Berpikir

Kalau sudah sekolah, menjajaki bangku kuliah, mengantongi ijazah, artinya kita sudah belajar. Tak penting apakah setelah lulus materi pelajaran itu masih setia menemani pikiran atau tidak. Tak penting apakah setelah lulus materi pelajaran itu bisa diandalkan guna meraih kehidupan yang lebih baik atau tidak. Yang penting ijazah ada di tangan! Itulah senjata yang akan digunakan untuk menarik perusahaan agar mau merekrut kita.

Tertarikkah perusahaan-perusahaan itu? Ketimbang menggunakan kata tertarik, saya lebih suka memakai kata tertipu. Awalnya berdecak, "Oh lulusan Universitas A, IPKnya segini lho."Setelah beberapa minggu kerja ketahuan lah karakter aslinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun