Mohon tunggu...
Ayu Safitri
Ayu Safitri Mohon Tunggu... Konsultan - Trainer dan Konsultan Homeschooling

Penulis dan Trainer untuk http://pelatihanhomeschooling.com/ Ikuti saya di Instagram https://www.instagram.com/missayusafitri/ Ikuti saya di Facebook https://www.facebook.com/missayusafitri Tonton dan subscribe VLOG saya http://bit.ly/apaituhomeschooling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gunung, Matahari, Sawah dan Jalan Raya: Bukti Jiwa Seni yang Mati

12 Agustus 2017   07:46 Diperbarui: 13 Agustus 2017   17:43 31320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: SeminarParenting.com

Apakah ini bukti kekompakan saya bersama teman sekelas waktu sekolah dasar dulu atau bukti ketumpulan jiwa seni yang kadung tak diasah? Jika diminta untuk menggambar dengan tema alam, kita selalu seragam.

Bisa menebaknya? Anda benar! Dua buah gunung dengan secuil penampakan matahari yang diwarnai kuning semu oren di tengahnya. Di bawah gunung, kita buat lekukan jalan raya dengan kelir abu-abu yang pinggirnya kita tambahkan sawah menghijau hasil jerih payah pak tani. Yang kita anggap itu sawah sebenarnya lebih mirip dengan simbol centang nan diberi warna hijau supaya tampak seperti benih padi yang sedang bertumbuh.

Kalau ingin sesuatu yang berbeda, kita bisa tambahkan burung sederhana dengan menggambar garis yang mirip 2 alis tipis dan digabung jadi satu. Supaya sawahnya terlihat nyata, saya juga menaruh beberapa rumput liar. Karena sawah yang asli sepertinya tak hanya ditumbuhi padi. Ada beberapa tanaman liar yang numpang hidup di sana.

Entah siapa yang awalnya mencontohkan. Saya sendiri lupa, apakah itu bapak, ibu guru di kelas atau buku-buku paket sekolah dasar yang memberi petunjuk. Hebatnya, hanya dengan menunjukkan gambar pegunungan itu kita bisa mendapat nilai 8 untuk kegiatan kesenian. Bukankah itu nilai yang cukup tinggi?

Dicekoki Pil Anteng

Kebetulan saya lulus dari fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Saat diberi kesempatan praktik mengajar di sekolah yang sesungguhnya, saya berharap anak-anak bisa diajak kerjasama. Artinya, saya ingin mereka anteng, nurut, tak banyak cingcong atau alasan, kalau perlu tak usah berpendapat supaya tugas saya cepat selesai.

Kenyataannya, justru sebaliknya. Saya seperti melihat monster-monster kecil yang baru saja dibebaskan dari penyekapan. Mereka begitu aktif berebut bicara, ingin bergabung dengan penjelasan saya seolah baru merasakan asyiknya seni belajar.

Tersadarlah saya. Kehadiran saya dan teman-teman sebagai mahasiswa praktik di sana bagaikan tiket pembebasan jiwa terperangkap anak-anak dari kebiasaan lama sang guru. Yang mengharuskan anak-anak duduk diam, tangan di atas meja, fokus mendengarkan, tak boleh beropini atau menyangkal penjelasan guru karena target menyelesaikan kurikulum bisa tak tercapai.

Murid-murid ini menganggap orang baru, muda nan fresh layaknya mahasiswa praktik bisa menghadirkan suasana berbeda. Boleh ramai, boleh clemonganasal sejalan dengan materi pelajaran, boleh tak hanya duduk, boleh mengerjakan tugas dengan cara mudah kreasi mereka sendiri, boleh tak memakai rumus yang diberikan guru tanpa perlu dicap salah atau membelot.

Itulah kenapa saya kaget saat pertama kali bertemu mereka. Harapan supaya mereka diam dan nurut, saya hapus. Karena muncul rasa iba dan sedih. Anak-anak ini adalah diri saya di masa lalu. Saya juga tak suka jika harus dipaksa diam mendengarkan. Saya pun lebih suka mengerjakan tugas pakai cara saya sendiri yang mudah nan sederhana.

Bukankah guru tipe ini lebih mementingkan hasil daripada proses? Kenapa harus menyalahkan anak-anak jika tak menggunakan rumus sesuai buku paket? Kenapa melarang kita menjadi kreatif mencari jalan sendiri? Seperti pepatah, ada banyak jalan menuju Roma. Beritahu saja rambu-rambunya, kemudian ijinkan kita berjuang mencari celah sendiri untuk sampai ke tujuan.

Belajar itu Mengeluarkan, Bukan Memasukkan

Anehnya, guru yang masih menggunakan cara-cara lama itu tak suka kalau muridnya mengaktifkan seni berpikir yang membuat kita kreatif mencipta. Mungkin karena menelan mentah-mentah makna guru dalam bahasa Jawa, digugu lan ditiru(dipercaya dan dicontoh). Jadi, murid tak punya hak untuk mengungkapkan opini, tak berkesempatan menjadi diri sendiri. Semua harus plek sama seperti cara guru.

Asal kata pendidikan (education)  dari bahasa latin educare yang bermakna mengeluarkan. Artinya, melalui media pendidikan seharusnya kita mampu mengeluarkan kemampuan anak yang sesungguhnya. Mengeluarkan potensi terdalamnya. Guru, orangtua, lingkungan adalah fasilitator yang mempertemukan pengetahuan dengan individu.

Sebaliknya, yang terjadi malah kita menjejalkan pengetahuan sebanyak mungkin ke kepala anak. Kita beranggapan semakin banyak pengetahuan yang diketahui, maka mereka akan semakin pintar. Padahal tahu saja tidak cukup. Anak-anak perlu memiliki kemampuan mengubah 'tahu' itu menjadi tindakan nyata yang menghasilkan.

Untuk bisa mendapatkan kemampuan mentransformasi pengetahuan ke dalam tindakan, kita perlu mengaktifkan otak anak. Caranya? Jangan dikekang! Jangan benci kalau mereka rame dan tak anteng di kelas! Selama ramenya anak-anak adalah proses menuju pemahaman, Anda harus ijinkan.

Hindari mengatur dan mendikte. "Kerjakan seperti ini. Lakukan seperi itu. Jangan pakai ini, harus pakai itu!"Terlalu banyak mengatur dan menyiapkan segala hal untuk anak hanya akan membuat jiwa kreatifnya tumpul, kemudian mati.

Inilah salah satu penyebab kenapa hampir semua murid sekolah dasar hanya bisa menggambar gunung bersama dengan matahari, jalan raya dan sawah. Karena kebebasan berpikirnya telah direnggut sejak kecil. Karena terbiasa diatur, dilayani dan disetel manut pada yang lebih dewasa.

Kita jadi kaku, tak gesit bergerak kesana kemari, tak memiliki kebebasan berpikir yang mendorong otak mencipta secara liar. Parahnya lagi ini tak hanya terjadi pada satu generasi. Senior dan junior kita pun seolah jiwanya terpasung tak boleh mencicipi kebebasan berpikir.

Rangsang Anak-anak Berpikir

Kalau sudah sekolah, menjajaki bangku kuliah, mengantongi ijazah, artinya kita sudah belajar. Tak penting apakah setelah lulus materi pelajaran itu masih setia menemani pikiran atau tidak. Tak penting apakah setelah lulus materi pelajaran itu bisa diandalkan guna meraih kehidupan yang lebih baik atau tidak. Yang penting ijazah ada di tangan! Itulah senjata yang akan digunakan untuk menarik perusahaan agar mau merekrut kita.

Tertarikkah perusahaan-perusahaan itu? Ketimbang menggunakan kata tertarik, saya lebih suka memakai kata tertipu. Awalnya berdecak, "Oh lulusan Universitas A, IPKnya segini lho."Setelah beberapa minggu kerja ketahuan lah karakter aslinya.

Tak berani mengambil keputusan, tak punya inisiatif, mudah menyerah, tak berani mengeksekusi idenya sendiri, jiwanya mudah tertekan dan sakit hati. Apa-apa perlu diajari dan didikte dulu. "Gimana sih, katanya cum laude. Kok malah kaya robot."

Penyebabnya, sejak kecil terbiasa disetel. Dilarang beropini karena guru akan menganggap itu sebagai bantahan. Dan, membantah berarti buruk, nakal. Pelajaran-pelajaran harus dihafal, tak pernah dirangsang untuk berpikir. Padahal menghafal itu berbeda dengan berpikir. Menghafal berarti memanjakan otak, sedangkan berpikir berarti menantang otak.

Yang sudah, ya sudahlah. Tak perlu marah apalagi dendam menyalahkan masa lalu. Sekarang mata kita terbuka dan hati menyadarinya. Pengalaman kita sebagai murid sekolah kita jadikan hikmah dan pengingat untuk tak mengulanginya pada anak-anak kita.

Kalau dulu kita harus diam dan mendengarkan, sekarang kita rangsang anak-anak untuk aktif bertanya. Tanyakan pendapat, perasaannya tentang apa yang dilihat, diraba, dicium dan dirasakan.

Kalau dulu kita dimarahi karena membantah atau mempunyai pandangan lain, sekarang kita ajarkan anak-anak untuk mengungkapkan pemikirannya dengan baik. Kita hargai hasil olah pikirnya, kemudian ajak mereka diskusi mengenai resiko dan keuntungan dari setiap pilihan.

Upaya-upaya ini terkesan sederhana, sepele. Tapi, inilah upaya dasar yang harus kita lakukan agar jiwa seni anak menggelora, aktif mencipta dan kreatif merasa. Sehingga, tema alam yang ditawarkan guru untuk kegiatan kesenian tak lagi memunculkan gunung, matahari, jalan raya dan sawah.

Selain mengijinkan anak-anak berpikir dan mengungkapkan pendapatnya, kita juga perlu mengajak mereka melihat seni yang sesungguhnya. Menikmati alam kreasi Tuhan Yang Maha Kuasa, memandang persawahan dengan isinya yang beragam dan bentuknya yang luwes. Bukan kaku seperti simbol centang, tapi juga bisa melengkung. Tak selalu berwarna hijau karena tanaman padi yang siap dipanen itu berwarna kekuningan. Tak selalu sehat nan indah karena tanaman di sawah juga banyak yang dimakan hama dan ulat.

Sebagai salah satu produsen alat tulis terkemuka dimana pensil warnanya cukup digemari pasar, Faber Castell berkomitmen untuk menjadikan Indonesia kembali bangkit berkesenian. Seni tak selalu berkaitan dengan lukisan, lagu atau tarian. Seni adalah kebebasan berpikir, kreatif mendayagunakan sumber daya yang ada di sekitar kita, mengolah logika dan rasa agar tak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tapi juga untuk sesama.

Dengan tema Art4All atau seni untuk semua, Faber Castell hendaknya bisa memanfaatkan kekosongan rasa kreatif di jiwa anak-anak zaman sekarang. Mengisinya dengan cara terus mengadakan acara visitperusahaan agar pikiran masyarakat jadi lebih terbuka, lomba menggambar, mewarnai, pelatihan dan workshopdi sekolah atau universitas seluruh Indonesia. Mengingatkan para pendidik tentang pentingnya membuka pikiran, menerima pendapat dan perasaan anak-anak. Sehingga, mereka lepas dari kekangan dan kontrol berlebihan. Jiwanya, pikirannya terasa ringan memberdayakan potensinya.

Kita tak bisa selalu mengandalkan pemerintah atau negara turun tangan dalam menajamkan jiwa berkesenian. Justru pihak swasta seperti Faber Castell memiliki ruang gerak lebih luas. Jangan hanya sibuk menjual, tapi Faber Castell juga perlu mengedukasi anak-anak tentang pentingnya seni dalam hidup.

Kita putus sampai disini! Jangan sampai generasi hari ini masih memilih gunung, matahari, jalan raya dan sawah sebagai gambar untuk tema alam. Kalau masih juga menggambar itu, mbok ya jangan kaku dan plek seperti generasi saya dulu. Harus lebih luwes menampakkan pikiran yang tak lagi terpasung. Warnanya harus lebih kompleks menampakkan jiwa yang telah menikmati alam sesungguhnya. Akhir kata, selamat berkesenian anak-anakku!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun