Diseretnya aku. Kencing diriku di celana. Polisi ini sudah biasa, sudah keseharian. Keringatku keluar menyeruak seperti kehujanan diriku dibuatnya, kerongkonganku kering, aku minta minum tapi tidak diperbolehkan. Apa aku harus mati kehausan? Ah, sudah telat sih. Kini aku berada di lapangan tembak. Di kelilingi orang bersenjata, tegap, hitam. Ditemani bau amis darah, belum sempat dibersihkan, mungkin habis ini biar sekalian saja. Salah satu pria dengan tatapnya tajam, ah, aku tahu dia yang ingin mengeksekusi diriku. Diambilnya senjatanya, dimasukan pelurunya, dan dikokang. Jantungku copot dibuatnya.
Lalu diberdirikan aku di tengah-tengah lapangan hijau bercampur bercak darah ini, dibayangi terik matahari. Tubuhku berteriak, aku ingin berlari tapi pikiranku menolak, nanti pelurunya kena kaki, terus badan, terus kepala, sakit matiku. Aku ingin mengigit, mengoyak-ngoyak polisi yang membawaku, toh dia tidak jauh dariku. Untuk apa? Entah, insting primitifku lagi-lagi, dan aku tidak ingin jatuh kedua kalinya. Pura-pura gila mungkin, ah, harusnya kupikirkan ini jauh-jauh hari!
“Sudah siap pak?”
Aku.. aku harus apa? Berdoa kah? Ah tidak, aku menangis. Sekarang telat lagi, aku harusnya berdoa dari tadi. Tapi sebosan apa cerita ini jika kuhabiskan dengan berdoa saja?
Krek! Suara pelatuk. Seketika aku ingat Abah dan Emak yang kujanjikan haji, adikku Julia yang katanya ingin kuliah tapi kesusahan karena angka 0 yang banyak di uang pangkal, aku janji untuk bayari dia. Oh, kucingku, Emon, nanti Julia yang gantikan kau beri makan. Sahabatku Josep yang janji sama-sama kita jejaki S2 diluar negeri. Ah.. Banyak janji yang kuutarakan. Kusia-siakan semua itu, demi apa? Demi apa? Apa perasaan yang tinggal di hadapan sang kematian hanyalah penyesalan?
Ah..ah..ah.. Tunggu, oh tunggu! Tangan kusongsong kedepan, kelopak tangan kulebarkan, kuberi tanda berhenti. Biarkan aku bernafas sejenak, biarkan aku..
DOR!!
AAARHHHHK!!! SAKIT!! Sakit sekali!
Dinginnya peluru-peluru yang kurasakan hanya sekilas, berubah menjadi rasa panas, sakit yang tak tertahankan. Aku gigit lidahku sampai putus. Semua mati rasa, kecuali rasa sakit di jantungku.
Kucoba menarik nafas, tetapi tak bisa, percuma. Tidak ada udara yang bisa kuhisap.
Ah, jelas aku mati, dan matiku jelas sedang tidak tersenyum. Lupakan optimismeku soal kematian di awal kisah, aku munafik soal itu, ah benci sekali.