Politik merupakan sebuah jalan yang digunakan oleh pihak berkuasa untuk mengelola sebuah pemelrintahan di sebuah negara. Berbicara mengenai cara yang digunakan dalam berpolitik oleh rezim penguasa tentu bisa dilihat perbedaan. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh budaya di suatu negara atau wilayah. Bisa saja perbedaan ini terbentuk juga karena faktor latar belakang personal sang pemimpin (Sipil atau Militer).Â
Kondisi perpolitika di timur tengah misalnya, sejak era awal abad ke 20 mulai menuju proses nasionalisasi. Tetapi dalam perjalanannya gerakan tersebut dominan dibumbui oleh kaum islamisme yang menuntut adanya sistem pemerintahan yang berpegang teguh pada syari'at islam. Beberapa organisasi yang memperkrasai gerakan ini sebut saja Ikhwan Al Muslimin di Mesir yang diprakarsai oleh Hasan Al Banna yang kemudian punya beberapa anak organisasi di  beberapa negara Afrika Utara, Turki dan beberapa juga di Timur Tengah. Kalau di daerah Iran dan Lebanon gerakan politik untuk menumbangkan sebuah kediktatoran di prakarsai oleh seorang ulama besar "Ayotallah Khomeini" yang berhasil menggulingkan rezim Shah Reza Pahlevi.Â
Gelombang revolusi besar ini kemudian dikenal dengan "revolusi Islam" yang dengan nya  hadir sebuah sistem demokrasi tetapi tetap mengedepankan niliai nilai Islam dalam bernegara. Selanjutnya gerakan ini juga membawa pengaruh ke negara Lebanon dengan kelompok militan yang bernama "Hizbullah". Akhirnya antara hizbullah dan Iran membentuk aliansi yang nantinya siap bantu membantu jika saling dibutuhkan. Hizbullah sendiri juga akhirnya mendapat tempat di hati masyarakat Lebanon, karena menganggap mereka merupakan pelindung dari ancaman imperialisme barat. Peristiwa revolusi Iran yang akhirnya umum disebut dengan revolusi Islam terjadi di akhir dekade 1970 an.
Peristiwa revolusi di ran tersebut membuat negara negara Arab dan sekitarnya yang saat itu sedang dikuasai oleh belenggu kediktatoran sedikit mendapat percikab semangat. Di sudan misalnya persekutuan politik dibentuk oleh Islamic Front pimpinan Ulama Hasan Al Turabi dengan Brigjen Omar Al Bashr yang berhasil menggulingkan kediktatoran di Sudan. Akan tetapi lain lain cerita dengan Iran yang sampai sekarang berhasil menstabilkan pergolakan politik pasca Revolusi.Â
Di Sudan pergerakan Revolusi yang di motori kubu Islamis dan Militer berakhir dengan penghianatan terhadap Islamic Front oleh kubu milter. Hasan Al Turabi pada Tahun 2003 kemudian dituduh berkomplot ingin menjatuhkan pemerintahan yang baru dan dipenjarakan oleh pihak Omar Al Bashr (sumber Torto.id). Lalu yang baru saja terjadi di Mesir pada Tahun 2011 merupakan gerakan yang bersifat Post Islamic (Pasca Islamis). Gerakan ini di lakukan oleh kelompok yang terdiri dari berbagai macam latar belakang.Â
Dari kalangan nasionalis, Islamis, sekuler, liberal sampai mIliter. Bedanya dengan yang dilakukan di Iran yang merupakan gelombang tahap dua pergerakan politik di jazirah arab yang disebut dengan tahap metodis untuk menapai supremasi. Perlu dikatahui bahwa tahap islam politik megalami tiga tahap yaitu tahap Pertama yang merupakan revolusi, tahap kedua berwatak metodis dan supremasis dan tahap Yang ketiga merupakan pasca Islamis.Â
Di tahao ketiga ini yang pernah dialami di Mesir. Kelompok islamis tidak menyuarakan gagasan mengenai negara berdasarkan syariat islam, tetapi mereka cenderung berbaur dengan kelmpok lain untuk menjatuhkan rezim Husni Mubarak. Revolusi yang terjadi pun dinamai dengan revolusi Rakyat atau Revolusi Nill bukan dinamai dengan Revolusi Islam seperti di Iran.Â
Agaknya kelompok ini saat sedang melakukan revolusi seperti sengaja menyembunyikan jati diri untuk sementara waktu sampai jatuhnya rezim. Baru setelah memenangkan pemilu demokrasi pertama dengan hasil akhir perolehan suara 57% kepada Muhammad Mursi, kelompok ini mulai tercium oleh sebagian pihak ingin membangunkan kembali prinsip ideologi negara islam. Hal ini tercermin dengan banyaknya aturan konstusi yang tidak memihak pada kaum minoritas.Â
Kecaman yang dilancarkan bukan saja dari pihak Agama Minorotas seperi Kristen Koptik, tetapi juga dari pihak nasionalis, sekuler, dan liberal. Sampai akhirnya pemerintahan yang kepalai oleh presiden Mursi berhasil digulingkan dengan bantuan kekuatan militer, yang notabene saat sedang revousi kelompok militer ini pro kepada IM.Â
Presiden Mursi kemudian dipenjarakan dan dibiarkan sakit selama di penjara tanpa pengobatan hingga akhirnya meninggal dunia. Banyak yang berbela sungkawa atas kematian Mursi dan mengecam atas pemerintahan Militer yang di kepelai oleh Abdel Fattah Al Sisi. Dunia mengkalim bahwa Mursi memang sengaja dibiarkan sakit tanpa menerima pengobatan hingga akhirnya tewa di tahun 2019 selama masa pemenjaraan.
Pergolakan  yang terjadi jazirah Arab terus meluas ke Libya, Syria, Yaman dan Iraq. Dan yang harus digarisbawahi adalah setiap pergelokan politikk yang hadir di negara negara tersebut berkahir dengan adanya revolusi dan perang saudara. Mesir saja yang hanya dalam waktu dua tahun sudah merasakan 2 kali revousi ( revolusi untuk menumbangkan Husni Mubarak dan revlusi untuk menumbangkan Muhammad Mursi). Kalau melihat jauh ke belakang mengenai budaya perpolitikan yang terjadi di jazirah Arab.Â
Mulai dari zaman kekhalifahan, bisa dilihat bahwa sejarah mencatat hampir selalu ada pertumpahan darah besar besaran ketika ada pergantian kekuasaan. Entah itu dari sistem monarki ke sistem diktator, dari sistem diktator ke sistem pemerintahan junta militer semuanya hampir ditulis sejarah dengan adanya pertumpahan darah besar besaran. Itu baru dilihat dari pergolakan yang di latar belakangi oleh ketidak puasan sistem pemerintahan.Â
Belum lagi pergolakan yag hadir karena adanya kepercayaan baru yang cenderung ingin keluar dari pemahaman sebelumnya. Dari munculnya aliran Syi'ah, mu'tazilah, serta tarekat tarekat lain. Maka kemunhkinan besar adanya suatu tragedi di suatu wilayah dipengaruhi oleh latar belakang budaya yang ditinggalkan oleh nenek moyang mereka.
Lalu bagaimana budaya konflik yang diwariskan oleh nenek moyang nusantara kepada anak cucunya? Bisa dikatakan budaya konflik peninggalan nenek moyang merupakan salah satu budaya yang indah nan elegan. Semenjak era kerajaan konflik perebtan kekuasaan yang terjadi di nusantara cenderung ingin meminimalkan pertumpahan darah. Mungkin bisa dikatakan kalau pertumpahan darah antar saudara yang terjadi di nusantara terakhir terjadi di zaman Majapahit dengan nama Parengreg. Setelah Majaphit melemah perlahan budaya perang ditinggalkan dan tergantikan oleh budaya diplomasi budaya,politik maupun Agama. Dan ini juga ditandai oleh islamisasi besar besaran di Nusantara.
Walaupun sempat terjadi perang antara pewaris tahta kerajaan Demak, budaya perang hampir tidak penah terjadi lagi. Baru setelah itu perang besar besaran terjadi secara meluas di seluruh pelosok nusantara atas kehadiran negeri kolonial dari Eropa. Perang antar kerajaan yang terjadi ketika itu umum diketahui karena adanya campur tangan negara kolonial yang mengadudomba pihak kerajaan. Memasuki abad ke 17 hampir seluruh nusantara sudah dikuasai oleh penjajah.
Memasuki abad ke sembilan belas, baru terjadi pergerakan untuk bebas dari penjajahan. Tentunya pergerakan yang dilakukan disini dengan cara sistematis dan halus. Tidak ada unsur perang yang digembor gemborkan dalam pergerakan ini. Setelah merdeka sebagai bangsa Indonesia, tidak bisa dikatakan kalau indonesia bebas dari kata perang. Tetapi juga harus di garis bawahi kalau pemerintahan yang ada tidak ingin rakyat tumpah ruah dalam agenda perang saudara yang ingin disuarakan pihak pemberontak.Â
Nampaknya sudah menjadi adat yang mendarah daging ketika ada konflik yang mendesak sebuah pemerintahan mundur sebagian besar rakyat tidak ingin perang dengan saudara sendiri. Begitu juga dengan pemerintah, yang ketika ada kritik dari pihak yang tidak puas mereka tak serta merta menumpas habis para pembangkang sampai anak cucunya.Â
Diplomasi tetap menjadi pilihan utama. Inipun juga dilihat dari sejarah agresi milliter oleh pihak kolonial. Pemerintah mengirimkan wakil wakil nya yang jago dalam berdiplomasi dengan tujuan meminimalisir pertumpahan darah yang sewaktu waktu bisa terjadi. Aroma pergolakan berbau perang saudara dengan dalih perebutan kekuasaan terus terjadi ketika era presiden pertama. Sebut saja PKI madiun, DI/TII, dan yang paling membekas hingga sekarang adalah G 30 S PKI. Begitu juga pada era presiden kedua yang pernah melakukan operasi Seroja di Tmor Timur.
Pemerintahan era presiden pertama memang tidak bisa dikatakan pemerintahan zero blood begitu juga pemerintahan era presiden kedua. Begitu juga presiden presiden yang selanjutnya. Namun sekali lagi mari kita bandingkan dan kita renungkan mengenai arah dan jalan konflik yang terbentuk di Indonesia pasca merdeka.Â
Apakah setiap ada pihak yang berusaha mengguncang pemerintahan selalu ada tindakan militer? Dan yang paling penting meskipun terjadi kontak senjata apakah serat merta menimbulkan goncangan di masyarakat sehingga pecah dan timbul mobilisasi masyarakat untuk satu suara mengumumkan perang kepada pemerintahan yang ada? Tentu saya katakan tidak.Â
Peristiwa apa yang dari presiden pertama hingga sekarang bisa menimbulkan konflik kontak senjata dengan animo masyarakat yang satu padu mengumumkan perang kepada masyarakat? Sejauh pemahaman saya tidak pernah terjadi. Kalaupun terjadi peristiwa besar besar an yang melengserkan kediktatoran Presiden Soeharto pun tidak sampai menimbulkan korban jiwa sebanyak Timur tengah atau negara ASEAN lainnya seperti di Vietnam,Thailand, atau Myamar.Â
Izinkan saya mengatakan bahwa Kedewasaan berkonflik yang dimilki oleh masyarakat Indonesia tidak dimiliki oleh negara lain. Utamanya saya pakai pembanding negara Timur Tengah karena mayoritas penduduknya yang sama dengan Kita bergama islam. Jelas sekali kalau negara kita lebih matang dalam mengahadapi konflik internal yang terjadi dibanding mereka.Â
Meskipun baru baru ini terdapat kelompok yang berusaha menyuarakan dan memprovokasi agar terjadi people power agar menggulingkan pemerintahan, tetapi ajakn itu tidak digubris oleh masyarakat. Mereka sadar bahwa satu satunya jalan untuk memprotes kekuasaan dan menggulingkan pemerintahan perang jadi piliha yang paling akhir.Â
Kita juga patut berterimakasih kepada presiden keempat Indonesia yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tanpa ada maksud mengkerdilkan presiden presiden lainnya. Bahwa lewat beliau rakyat diajarkan agar tidak mementingkan kekuasaan di atas segala galanya, apalagi sampai menumpahkan darah. Mengingat pelengseran beliaupun sebenarnya kalau mengitup dari beliau maupun dari simpatisan merupakan wujud hitam dari perpolitikan yang ada di Indonesia.Â
Dan harus diakui bahwa setelah lengsernya Pak Harto, maka munculah Soeharto Soeharto kecil yang menjadi musuh beliau. Lewat parlemen beliau dipaksa mundur. Animo rakyat dari berbagai daerah mengumumkan siap mati hanya demi mempertahankan Gus Dur, tetapi apa yang beliau lakukan malah keluar istana presiden dengan kaos oblong dan celana pendek sambil melambaikan tangan ke arah pendukungnya. "Zero Blood" Â tidak ada darah yang tertumpah di hari pelengseran Gus Dur.Â
Inilah yang patut dijadikan pelajaran dan diimplementasikan oleh kaum muda kelak jika mereka memegang jabatan. Budaya kedewasaan berkonflik betul betul dilaksanakan oleh Presiden Ke empat Abdurahman Wahid, dan ini juga menjadi cermin bahwa kedewasaan berkonflik serupa dimiliki oleh seluruh Rakyat Indonesia karena Pemimpin di negeri ini berasal dari rakyat dan perilaku pemimpin seharusnya juga melambangkan budaya rakyat nya khususnya dalam berkonflik.Â
Sekali lagi saya tekankan konflik harus terhindar dari pertumpahan darah, tetapi harus mencari solusi agar tercapainya kestabilan sosial di masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H