Mohon tunggu...
Marcellinus Vitus
Marcellinus Vitus Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa STF Driyarkara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merdeka itu Peduli

18 Agustus 2016   12:12 Diperbarui: 18 Agustus 2016   12:25 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perjuanganku jauh lebih mudah, karena aku berjuang melawan penjajah. Sementara perjuanganmu akan jauh lebih sulit karena Engkau akan melawan bangsamu sendiri” – Ir. Soekarno

Kemarin terdengar begitu luar biasa pekik-pekik dan kumandang kata “MERDEKA” di seantero Inndonesia. Siaran televisi berebut dan berlomba menyuarakan pesta perayaan kemerdekaan republik tercinta ke-71. Pelbagai acara dilakukan: upacara bendera, perlombaan rakyat, diskusi dan perdebatan, hingga tirakatan untuk minta restu Sang Kuasa. Sebagian besar serentak berseru “MERDEKA...MERDEKA....MERDEKA”. Seruan ini menggelitikku untuk bertanya, “Sungguhkah negeriku kini sudah Merdeka? Sekarang ini kita MERDEKA atau MERDEKA?”

Ir. Soekarno – pemimpin negara pertama kita – dengan jeli melihat dan meramalkan bahwa kemerdekaan Indonesia tidaklah sekadar terbebas dari bangsa penjajah. Merdeka tidak sekadar menjadi bangsa mandiri yang bisa “mandi sendiri”: mengurus keuangannya sendiri, kebijakan publiknya sendiri, hukumnya sendiri, pemerintahannya sendiri, dan pelbagai litani lainnya. Merdeka tidak sebatas apa yang dimaknai di tahun 45. Makna merdeka jauh melampaui batas tersebut. Ketika kemerdekaan pada zamannya berarti terbebas dari penjajah, makna kemerdekaan kita seyogianya jauh melampaui kemerdekaan macam itu.

Merdeka dan Kebebasan

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kata merdeka sebagai (1) bebas atau berdiri sendiri; (2) tidak terkena atau lepas dari tuntutan; dan (3) tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; leluasa. Jika kata “merdeka” disandingkan dengan kata “bebas”, menjadi “bebas merdeka” maknanya menjadi “dapat berbuat sekehendak hatinya”.

Definisi KBBI ini membuatku bertanya-tanya, “Apakah merdeka dan kebebasan itu memiliki arti yang sama dan dapat disandingkan di antara keduanya?” Jawaban singkatku adalah “Ya”. Akan tetapi, aku tidak sepenuhnya setuju. Kebebasan macam apa yang bisa disandingkan dengan “merdeka”?

Dalam konteks dan dunia filsafat (terutama filsafat moral), kebebasan dapat diartikan dalam dua jenis. Pertama, “bebas dari...” Maksudnya, kebebasan ini bersifat pasif. Mengartikan kebebasan secara “bebas dari...” mencerminkan kita sebagai pihak yang tertindas atau menderita sehingga setelah terbebas dari pihak penindas, kita dapat bertindak tanpa prinsip (anarkis – Bhs. Yunani: an[tanpa] dan arkhe[prinsip]) dan dapat berbuat sesuka hati. Jika kemerdekaan diartikan dalam rangka “bebas dari...”, kita menggambarkan diri kita sebagai bangsa pasif nan tertindas. Dulu mungkin bisa dibenarkan (pada masa kolonial dan pra-kemerdekaan), akan tetapi apakah sampai saat ini kita masih mengartikan kemerdekaan sebagai “bebas dari...”.

Kedua, kebebasan diartikan sebagai “bebas untuk...”. dalam pengertian ini kebebasan diartikan secara positif-aktif. Ada makna kemandiran (independesi diri) yang bertanggung jawab. Tidak sekadar berbuat sesuka hati, melainkan berbuat secara bertanggungjawab dengan memperhatikan kaidah-kaidah moralitas yang ada dan berlaku umum. Dalam definsi kedua ini, penekanannya bukan pada pihak di luar diri, melainkan diri kita sendiri. Oleh karena itu, dalam konteks kemerdekaan Indonesia, “bebas untuk...” menekankan kemandirian bangsa Indonesia untuk bertindak sesuai dengan kaidah moralitas dan kemanusiaan yang ada.

Fusi Horizon

Mungkin kita bertanya-tanya,”mengapa ada perbedaan makna KEMERDEKAAN pada zaman Soekarno dan pada masa kita?” Kalau kita telaah dari perkataan Soekarno di atas, jawaban sederhannya adalah adanya perbedaan lawan bangsa Indonesia. Kalau pada masa Soekarno, lawannya adalah bangsa penjajah, pada masa kita lawan kita adalah bangsa dan saudara kita sendiri. Namun, sungguhkah demikian?

Saya ingin menggunakan teropong dan kacamata seorang filsuf kontemporer Jerman yang berfokus perihal penafsiran dan pemaknaan sesuatu. Dia adalah Hans Georg Gadamer. Pertanyaan dasar Gadamer adalah mengapa teks yang seorang baca dengan orang lain akan bermakna berbeda antara satu dengan yang lainnya. Apa yang membuat berbeda, sementara bacaannnya sama. Dalam konteks perbincangan kita, “apa yang membuat “merdeka” zaman Soekarno dan “merdeka” zaman kita menjadi berbeda?”

Dalam telaahnya, Gadamer menyebutkan bahwa dalam proses pemaknaan (penafsiran) terjadi penyatuan (fusi) horizon dalam diri pembacanya. Fusi horizon terjadi karena adanya kaitan dalam fungsi interpretasi (kebermaknaan konteks masa lalu dan masa sekarang). Dialog antara konteks masa lalu dan masa sekarang lah yang menjadikan maknanya berbeda dan selalu diperbarui. Adanya dialog ini mengandaikan adanya kesadaran sejarah dalam diri seseorang.

Dalam pembicaraan kita, konteks masa lalu adalah “kemerdekaan” ala Soekarno (yang merupakan bagian dari fakta sejarah – bebas dari penjajahan). Sementara itu, konteks masa kininya adalah situasi kehidupan kita saat ini. Kesadaran sejarah yang dimaksud adalah kita diminta unutk “melek” dengan situasi yang ada di sekitar kita. Dengan sadar situasi-kondisi-keadaan di sekitar, kita memungkinkan adanya pemaknaan baru “kemerdekaan” kita.

Merdeka macam apa?

Dalam pidato keenegaraannya tahun ini (16/8), Presiden Jokowi menyebutkan kata “pembangunan” (46 kali) sebagai pilihan kata yang paling banyak digunakan. Kalau kita mau searah dengan presiden, maka kemerdekaan masa kita perlu diarahkan ke arah pembangunan. Namun, pembangunan macam apa? Relevan dan dapatkah dilakukan oleh semua masyarakat warga di Indonesia?

Saya kok memiliki pandangan yang agak berbeda. Titik tolak saya adalah “melek” dan peduli pada lingkungan di sekitar kita. Momentum “melek politik” perlu dijaga apinya agar kita, sebagai warga pun, ikut berpartisipasi dalam pemerintahan kita. Begitu pula dengan momentum “kesadaran ekologis” yang akhir-akhir ini tidak sekadar menjadi isu lingkungan hidup, melainkan juga ekonomi dan politis. Masih menjadi pertanyaan, merdeka macam apa?

Di sini saya ingin kembali pada makna kebebasan, sebagai “bebas untuk...”. Merdeka sebagai “bebas untuk...” menekankan keaktifan kita kepada pihak lain dalam bertindak sesuai dengan kaidah dan aturan moral kemanusiaan yang ada. Dari sini kita dapat menarik benang merahnya, merdeka berarti mengajak kita untuk peduli pada keadaan sesama di sekitar kita. Bagaimana mungkin kita begitu berlimpah makanan, sementara saudara kita sangat kesulitan mendapatkan makanan untuk hidup. Bagaimana mungkin kita dapat dengan mudahnya menggunakan uang rakyat seenak jidatnya sendiri, sementara uang tersebut digunakan untuk pembangunan daerah-daerah terpencil yang kesulitan fasilitas umum (jalan, jembatan, sekolah, dsb).

Oleh karena itu, saya ingin mengajukan usul – sejauh dengan pemaknaan saya dalam fusi horizon saya – kemerdekaan kali ini perlu dimaknai sebagai tindakan konkret untuk membangun dan menjadikan sesama kita semakin manusiawi. Caranya dapat dilakukan dalam beribu rupa. Namun, apinya adalah merdeka berarti kita mau mengulurkan tangan untuk sesama kita yang kesulitan. Tidak perlu yang muluk-muluk. Bisa kita mulai dari menghargai martabat dan pribadi sesama kita manusia (keluarga, teman, saudara, karyawan, guru, buruh pabrik, dsb.). MERDEKA!!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun