Mohon tunggu...
Marcellinus Vitus
Marcellinus Vitus Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa STF Driyarkara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merdeka itu Peduli

18 Agustus 2016   12:12 Diperbarui: 18 Agustus 2016   12:25 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam telaahnya, Gadamer menyebutkan bahwa dalam proses pemaknaan (penafsiran) terjadi penyatuan (fusi) horizon dalam diri pembacanya. Fusi horizon terjadi karena adanya kaitan dalam fungsi interpretasi (kebermaknaan konteks masa lalu dan masa sekarang). Dialog antara konteks masa lalu dan masa sekarang lah yang menjadikan maknanya berbeda dan selalu diperbarui. Adanya dialog ini mengandaikan adanya kesadaran sejarah dalam diri seseorang.

Dalam pembicaraan kita, konteks masa lalu adalah “kemerdekaan” ala Soekarno (yang merupakan bagian dari fakta sejarah – bebas dari penjajahan). Sementara itu, konteks masa kininya adalah situasi kehidupan kita saat ini. Kesadaran sejarah yang dimaksud adalah kita diminta unutk “melek” dengan situasi yang ada di sekitar kita. Dengan sadar situasi-kondisi-keadaan di sekitar, kita memungkinkan adanya pemaknaan baru “kemerdekaan” kita.

Merdeka macam apa?

Dalam pidato keenegaraannya tahun ini (16/8), Presiden Jokowi menyebutkan kata “pembangunan” (46 kali) sebagai pilihan kata yang paling banyak digunakan. Kalau kita mau searah dengan presiden, maka kemerdekaan masa kita perlu diarahkan ke arah pembangunan. Namun, pembangunan macam apa? Relevan dan dapatkah dilakukan oleh semua masyarakat warga di Indonesia?

Saya kok memiliki pandangan yang agak berbeda. Titik tolak saya adalah “melek” dan peduli pada lingkungan di sekitar kita. Momentum “melek politik” perlu dijaga apinya agar kita, sebagai warga pun, ikut berpartisipasi dalam pemerintahan kita. Begitu pula dengan momentum “kesadaran ekologis” yang akhir-akhir ini tidak sekadar menjadi isu lingkungan hidup, melainkan juga ekonomi dan politis. Masih menjadi pertanyaan, merdeka macam apa?

Di sini saya ingin kembali pada makna kebebasan, sebagai “bebas untuk...”. Merdeka sebagai “bebas untuk...” menekankan keaktifan kita kepada pihak lain dalam bertindak sesuai dengan kaidah dan aturan moral kemanusiaan yang ada. Dari sini kita dapat menarik benang merahnya, merdeka berarti mengajak kita untuk peduli pada keadaan sesama di sekitar kita. Bagaimana mungkin kita begitu berlimpah makanan, sementara saudara kita sangat kesulitan mendapatkan makanan untuk hidup. Bagaimana mungkin kita dapat dengan mudahnya menggunakan uang rakyat seenak jidatnya sendiri, sementara uang tersebut digunakan untuk pembangunan daerah-daerah terpencil yang kesulitan fasilitas umum (jalan, jembatan, sekolah, dsb).

Oleh karena itu, saya ingin mengajukan usul – sejauh dengan pemaknaan saya dalam fusi horizon saya – kemerdekaan kali ini perlu dimaknai sebagai tindakan konkret untuk membangun dan menjadikan sesama kita semakin manusiawi. Caranya dapat dilakukan dalam beribu rupa. Namun, apinya adalah merdeka berarti kita mau mengulurkan tangan untuk sesama kita yang kesulitan. Tidak perlu yang muluk-muluk. Bisa kita mulai dari menghargai martabat dan pribadi sesama kita manusia (keluarga, teman, saudara, karyawan, guru, buruh pabrik, dsb.). MERDEKA!!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun