Mohon tunggu...
Marcellinus Vitus
Marcellinus Vitus Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa STF Driyarkara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sokrates: Hidup, Ajaran, dan Tanggapan Kritis

17 Februari 2014   19:02 Diperbarui: 15 Oktober 2015   21:46 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sokrates: Hidup, Ajaran, dan Tanggapan Kritis

 

Kehadiran Sokrates dalam ranah filsafat Yunani klasik memberikan kontribusi besar bagi perkembangan sejarah filsafat Yunani klasik. Ia tidak pernah menulis sebuah karya pun, bahkan satu kalimat pun tidak. Segala hal yang diketahui tentangnya hanya dapat diketahui melalui berbagai sumber dari para muridnya, seperti Platon, Aristophanes, dan Xenophon, yang rentan akan penambahan dan pengurangan. Ia menjadi filsuf sekaligus non-filsuf sehingga ia pun mengajarkan dan juga tidak. Pengajarannya memberikan warna baru bagi perkembangan dunia filsafat. Manusia menjadi objek dan subyek berfilsafatnya. Tujuan hidup manusia adalah mencari kebaikan dan kebenaran hidup.

 

Riwayat Hidup Sokrates.

 

Sokrates lahir pada tahun ± 469 SM di Athena dan terdaftar sebagai masyarakat distrik Alopece. Ia tumbuh dan berkembang pada masa keemasan Athena. Athena maju dalam bidang perekonomian sehingga menjadi magnet bagi banyak orang untuk datang. Akan tetapi, Sokrates tidak berasal dari keluarga yang kaya. Keluarganya merupakan sebuah keluarga yang sederhana. Ayahnya bernama Sophroniskus, seorang ahli patung (pematung), sementara sang ibu, bernama Phaenarete, merupakan seorang bidan.

 

Ia dikisahkan sebagai seorang yang buruk rupanya. James Miller menggambarkan Sokrates sebagai seorang pria yang berkepala botak, berperut besar, mata yang melotot, dan berbibir bawah tebal. Ia juga sering disamakan dengan Silenus seorang tokoh legenda Yunani yang buruk rupa (satyr). Akan tetapi ia tidak pernah berusaha menutupi kekurangan dirinya dengan mencari berbagai pakaian yang menutupi dirinya. Ia selalu menggunakan pakaian yang sama dan berjalan-jalan dengan kaki telanjang. Ia juga terkenal sebagai seorang yang memiliki kekuatan ”super”. Ia selalu menggunakan pakaian yang sama dalam berbagai cuaca. Ia pun juga mampu berjaga semalaman selama perang dan berpuasa.

 

Sokrates merupakan warga yang sangat taat pada hukum polis-nya. Sesuai dengan ketentuan polis Athena, Sokrates ikut dalam membela polis-nya berperang dan mempertahankan kekuaasaan Athena melawan polis-polis lain yang ingin berkuasa. Ia tergabung sebagai hoplit (infanteri, pasukan darat). Pada tahun 432 SM Sokrates ikut serta dalam penyerangan Potidaea. Ia pun juga ikut serta dalam pertempuran di Peloponesos pada tahun 431 SM, yang berakhir dengan kekalahan Athena, dan ketika melawan Thebes di Delion pada 424 SM.

 

Sejak kecil Sokrates dapat mendengar suara-suara aneh yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Suara aneh itu berisi larangan-larangan untuk dirinya dalam melakukan suatu hal. Akan tetapi, suara ini tidak pernah menyatakan hal-hal apa yang harus ia lakukan. Keputusannya untuk tidak menjadi seorang pematung, seperti sang ayah, juga merupakan hasil bujukan dari suara aneh tersebut. Ia mendedikasikan dirinya untuk mencari kebenaran (kebaikan)  hidup ”the good of life”.

 

Ketika mencapai masa keemasannya (great fifty years), Athena mulai dipenuhi dengan kaum Sofis yang mengajarkan banyak hal baru. Beberapa kaum Sofis ini adalah Anaxagoras dan Gorgias. Kaum sofis menarik bayaran dalam pengajarannya. Tujuan hidup mereka adalah mencari kesuksesan hidup (secara materiil) melalui retorika (seni berbicara). Mereka juga berpendapat bahwa kebenaran itu bersifat relatif. Sokrates tidak senang dengan kehadiran mereka dan tidak sependapat dengan mereka. Sokrates mempunyai pandangan yang lain, yakni mencari bagaimana cara terbaik untuk hidup.

 

Dalam mencari kebenaran Sokrates banyak bertanya kepada banyak orang. Ia menegaskan bahwa ia tidak tahu apa-apa. M. Hatta menggambarkan kegiatan Sokrates sehari-hari sebagai berikut: “Ia berbicara dengan segala orang, menanyakan apa yang dibuatnya. Ia selalu bertanya karena ia  mau tahu.” Tindakan inilah yang menjadikan namanya terkenal di Athena. Ia dianggap sebagai orang yang memiliki kebijaksanaan. James Miller mengisahkan Chaerophon, teman masa kecil Sokrates, sempat bertanya di Kuil (Orakel) Delfi akan seseorang yang bijaksana. ”Apakah ada orang yang lebih bijak dari Sokrates?” Jawaban yang ia terima adalah ”tidak”. Kata ”tidak” ini memberi arti bahwa Sokrates adalah seorang yang paling bijaksana pada masa tersebut. Jawaban dari Orakel Delfi menjadi berita besar maka dari itu Sokrates makin terkenal. Sokrates merasa dirinya tidak memiliki kebijaksanaan. Ia beranggapan bahwa Orakel Delfi membawa suatu pesan tertentu dari dewa. Ia merasa dirinya diutus oleh sang dewa untuk mencari makna sesungguhnya dari pesan tersebut.

 

Sokrates mempunyai banyak murid dan pengikut. Akan tetapi, ia tidak pernah meminta bayaran apa pun dari para muridnya. Bebeberapa muridnya berada pada basis politik yang berbeda-beda. Nikias dan Lakhes merupakan pendukung demokrasi, sementara Karmides dan Kritias merupakan pendukung Sparta dan sistem pemerintahan Oligarki. Alkibiades, sang penghianat, pun adalah muridnya. Selepas mengikuti proses pemuridan dari Sokrates, murid-murid Sokrates kemudian tumbuh menjadi orang-orang penting dalam pemerintahan, terutama dalam pihak musuh Athena.

 

Pada tahun 399 SM, seorang penyair bernama Meletus bersama kedua temannya Likon dan Anitus membuat tuduhan kepada Sokrates dan meminta agar polis menghukumnya. Polis akhirnya menjatuhkan hukuman mati kepadanya dengan hukuman menenggak racun.

 

Sokrates: Menghadapi Hukuman Mati.

 

Meletus dan teman-temannya menuntut Sokrates dengan tiga tuduhan, yakni (1) Tidak percaya pada dewa-dewi yang dipercaya oleh polis; (2) Memperkenalkan dewa-dewi baru; (3) Memberi pengaruh buruk pada kaum muda. Adanya hubungan guru-murid antara Sokrates dengan Alkibiades dan Kritias menjadikan posisi Sokrates semakin terjepit. Lakon ”The Clouds” yang diciptakan Aristophanes juga semakin menghimpit posisi Sokrates. Aristophanes menggambarkan Sokrates sebagai sosok pembuat rencana (think-tanker) yang mengajarkan hal-hal yang buruk kepada para muridnya.

 

Di hadapan para petinggi polis, Sokrates mengajukan (beberapa) pembelaan diri (Apologia-Platon). Pertama, ia menyangkal bahwa dirinya tidak patuh dan mempercayai dewa-dewi polis Athena. Ia menjelaskan bahwa segala hal yang ia lakukan selama ini adalah untuk mencari arti sesungguhnya pesan dari Orakel Delfi. Tindakannya ini mencerminkan kepercayaannya pada dewa-dewi. Kedua, mengenai memperkenalkan dewa-dewi baru. Ia mengatakan bahwa yang selama ini ia ikuti adalah suara misterius yang ia dengar sejak kecil - yang kemudian dinamai daimonion. Orang Yunani mempunyai kepercayaan bahwa setiap manusia mempunyai daimonion yang senantiasa mengikutinya. Ketiga, mengenai pemberian pengaruh buruk pada anak muda. Sokrates membela diri bahwa ia tidak pernah mengajarkan hal-hal yang buruk kepada mereka. Para muridnya yang hadir bisa dimintai keterangan perihal apa yang mereka bicarakan. Ia pun juga bersumpah bahwa ia tidak pernah bermaksud mengajarkan apa pun .

 

Pembelaannya ini memberi pengaruh besar pada jalannya proses pengadilan. Dari pemungutan suara didapatkan perbedaan tipis antara pihak setuju dan tidak setuju dalam penjatuhan hukuman. Sesuai tradisi Sokrates diijinkan untuk memilih sendiri hukuman bagi dirinya. Akan tetapi, Sokrates kemudian berbicara secara arogan menolak segala hukuman dan menyatakan bahwa seharusnya ia dihargai karena segala hal yang telah ia perbuat. Tindakannya ini  membuat geram para peserta sidang sehingga kemudian menjatuhkan hukuman mati pada Sokrates. Sokrates mematuhi keputusan polis dan menolak ajakan teman-temannya untuk melarikan diri. Sokrates menerima dan menjalani hukumannya sebagai bukti dan bentuk ketaatannya pada polis Athena.

 

Ajaran Sokrates.

 

Bagi Sokrates, kebaikan hidup adalah tujuan hidup manusia. Jiwa manusia pada dasarnya mencari kebaikan hidup. Manusia harus mengusahakan jiwanya untuk menjadikan jiwa sebaik mungkin. Ajarannya ini menambah kedalaman arti jiwa dalam budaya Yunani. Jiwa kini tidak hanya sebatas sesuatu yang meninggalkan manusia ketika ia mati, baik itu nafas atau pun hidup itu sendiri. Jiwa adalah sesuatu yang immaterial dan imortal. Jiwa adalah intisari kepribadian manusia, suatu hal yang mengatur hidup manusia dan mengajaknya mencapai kebaikan hidup.

 

Cara untuk mencari kebenaran adalah dengan bertanya kepada mereka yang ”merasa tahu”. Ia tahu bahwa dirinya tidak tahu sehingga ia terus berusaha mencari untuk tahu. Ia akan bertanya kepada setiap orang dengan menjejalinya berbagai pertanyaan sehingga orang tersebut mengakui bahwa dirinya tidak tahu. Metodenya ini disebut dialektika. Akan tetapi, Sokrates lebih senang menamai metodenya ini sebagai maieutike (ilmu kebidanan). Ia tidak mengajarkan melainkan menumbuhkan api semangat dalam muridnya untuk mencari kebenaran itu sendiri. Seperti seorang bidan, ia membantu para muridnya untuk menemukan pengetahuan. Dalam Euthyphro Sokrates berbincang dengan Euthyphro mengenai arti dari kesalehan. Euthyphro menyatakan dirinya tahu tentang kesalehan. Setelah melalui perbincangan dengan Sokrates akhirnya Euthyphro mengakui bahwa dirinya tidak tahu tentang kesalehan. Ia tidak hanya merasa tidak tahu, melainkan juga dituntun untuk menemukan arti sejati dari kesalehan melalui dialognya dengan Sokrates.

 

Bagi Sokrates pengetahuan dan keutamaan adalah suatu hal yang sama. Jika panggilan manusia adalah ”menjadikan jiwa sebaik mungkin”, maka satu hal yang harus diketahui adalah apa yang menjadikan jiwa itu baik. Kebaikan dan pengetahuan mempunyai kaitan yang erat. Menjadi pertanyaan mendasar: ”Apa itu kebaikan?” Sokrates mengatakan untuk tahu tentang kebaikan adalah dengan melakukan tindakan kebaikan itu sendiri. Menurut Sokrates, setiap manusia juga mempunyai hasrat (jiwa) untuk mencari kebahagiaan (eudaimonia). Manusia dalam bertindak mempunyai harapan mendatangkan kabahagiaan padanya. Kebahagiaan manusia adalah berbuat baik.  Dalam budaya Yunani kebahagiaan atau eudaimonia adalah keaadaan obyektif dan tidak bergantung pada keadaan subyektif. Eudaimonia berarti mempunyai daimonion (jiwa) yang baik, dengan kata lain kebahagiaan adalah suatu keadaan well-being (keadaan yang baik).

 

Perbuatan jahat atau salah adalah sebuah kemalangan bagi manusia. Perbuatan salah terjadi karena konsekuensi dari perkiraan yang tidak tepat atas tindakan baik, atau lebih tepatnya karena ketidaktahuan atas suatu hal yang dapat menghasilkan kebahagiaan. Manusia selalu bertindak dengan landasan segala tindakannya berakibat baik untuk dirinya sendiri. Dalam konteks perbuatan jahat (salah), manusia melakukannya juga dengan harapan mencapai kebaikan. Akan tetapi, ia mengikuti kebaikan yang semu (partikular) sehingga yang terjadi adalah suatu perbuatan jahat. Pengetahuan memampukan manusia membedakan apa yang memberi dan arti sesungguhnya kebahagiaan.

 

Dari semua hal ini dapat disimpulkan mengenai ajaran Sokrates, yakni (1) Jiwa adalah intisari kepribadian manusia; (2) Pengetahuan adalah keutamaan; (3) Mencapai kebaikan adalah kodrat manusia sebagai makhluk yang baik; dan (4) Perbuatan jahat terjadi karena ketidaktahuan manusia bahwa tindakannya menghasilkan kejahatan.

 

Tanggapan Kritis: Relevansi Ajaran Sokrates Menghadapi Realitas Zaman.

 

Ajaran Sokrates yang terkenal adalah pengetahuan sebagai keutamaan (knowledge is virtue). Akan tetapi, pengetahuan dalam pengajaran Sokrates tidak hanya sebatas banyak-tidaknya informasi yang dimiliki oleh seseorang. Kurang pengetahuan (informasi) dapat ditanggulangi dengan banyak mencari informasi. Pengetahuan Sokrates adalah bagaimana manusia menimbang dan menilai suatu hal (terutama bagaimana ia harus bertindak) yang akan dilakukan. Pengetahuan memampukan manusia menjadikan jiwanya sebaik mungkin. Jiwa baik, maka segala tindakannya baik dan menghasilkan kebahagiaan. Dengan pengetahuan ia mampu mencapai “the goodness of life”.

 

Apa yang diajarkan Sokrates sangat relevan hingga saat ini. Bagaimana mencapai kebaikan tidak hanya sebatas bagaimana seseorang ”tahu banyak informasi”. Banyak orang yang ”tahu banyak” (kaum terdidik) melakukan tindak korupsi, melakukan penipuan, dll. Kemajuan zaman memberikan banyak tawaran yang menggiurkan bagi manusia. Tawaran ini mengaburkan manusia dalam melihat, memilih, dan mengikuti kebaikan sejati. Kebaikan merujuk pada bagaimana manusia mampu ”memilih”. ”Memilih” yang terbaik sehingga dari segala keputusan yang dipilih juga menghasilkan hal yang baik pula (kebaikan yang lebih besar dan tidak partikular ”untuk dirinya sendiri”). Manusia diajak untuk mampu membedakan antara kebaikan sejati dan kebaikan semu. Ajaran Sokrates mengajak manusia untuk melihat secara jeli kebaikan sejati di tengah kebaikan semu yang menguasai dunia sekarang ini, mengajak dan menuntun manusia untuk menjadikan jiwanya sebaik mungkin.

 

Kesimpulan.

 

Kehadiran dan ajaran Sokrates memberikan terang baru bagi dunia dan filsafat hingga saat ini. Ajarannya sangat relevan untuk menghadapi berbagai tantangan yang hadir pada masa ini. Ia sangat memegang teguh apa yang ia ajarkan dan berani menanggung risiko akibat ajarannya. Ia menjadikan manusia sebagai sumber berfilsafatnya. Metode pengajarannya memberikan semangat dan menumbuhkan gairah dalam jiwa para murid untuk menemukan sendiri pengetahuan. Jiwa manusia adalah untuk menjadikan jiwanya sendiri sebaik mungkin. Menjadikan jiwa baik adalah dengan melakukan tindakan baik itu sendiri. Mengejar kebaikan juga mengajak manusia untuk mengenali diri sendiri. Mengenali diri sendiri dengan tahu hasrat melakukan kebaikan (dan kejahatan) yang ia miliki. Mengenal hasrat membawa manusia pada pertobatan (conversion) dan pemurnian  (purifikasi) jiwa. Jiwa adalah intisari kepribadian manusia. Jiwa yang baik merupakan sebuah pengetahuan dan pengetahuan adalah keutamaan.

 

 

James Miller, The Philosopical Life (Oxford: Oneworld), 20.

A. Setyo Wibowo, Mari Berbincang Bersama PLATON: Keberanian (Lakhes) (Jakarta: Ipublishing),  8.

Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: Tintamas), 74.

James Miller, The Philosophical Life (Oxford: Oneworld), 17.

Karmides menjadi salah satu dari 30 Tiran yang menindas Athena dengan keji, Kritias menjadi pemimpin dari negara boneka yang dibentuk oleh Sparta, dan Alkibiades menghianati Athena dan berbelot ke Sparta.

James Miller, The Philosophical Life (Oxford: Oneworld), 21.

What does the god mean? What is his riddle? I am very conscious that I am not wise at all; what then does he mean by saying that I am the wisest? For surely he does not lie; it is not legitimate for him to do so” Ibid., 27.

Tom Griffith, Plato: Symposium and the death of Socrates (Hertfordshire: Wordsworth Editions Limited), 104.

Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: Tintamas),76-80.

“to know the good is to do the good” Samuel Enoch Stumpf. Philosophy History and Problems, (New York: McGraw-Hill Inc.), 40.

[x]i Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius), 89.

 

Daftar Pustaka

 

Sumber Utama

Miller, James. The Philosophical Life. Oxford: Oneworld, 2011.

 

Sumber Pendukung

Bertens, Kees. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius, 1975.

Griffith, Tom. Plato: Symposium and the death of Socrates. Hertfordshire: Wordsworth Editions Limited, 1997.

Hatta, Mohammad. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: Tintamas, 1980.

Stumpf, Samuel Enoch. PHILOSOPHY History and Problems. New York: McGraw-Hill Inc., 1983.

Wibowo, A. Setyo. Mari Berbincang Bersama Platon: Keberanian (Lakhes). Jakarta: Ipublishing, 2011

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun