Sokrates: Menghadapi Hukuman Mati.
Meletus dan teman-temannya menuntut Sokrates dengan tiga tuduhan, yakni (1) Tidak percaya pada dewa-dewi yang dipercaya oleh polis; (2) Memperkenalkan dewa-dewi baru; (3) Memberi pengaruh buruk pada kaum muda. Adanya hubungan guru-murid antara Sokrates dengan Alkibiades dan Kritias menjadikan posisi Sokrates semakin terjepit. Lakon ”The Clouds” yang diciptakan Aristophanes juga semakin menghimpit posisi Sokrates. Aristophanes menggambarkan Sokrates sebagai sosok pembuat rencana (think-tanker) yang mengajarkan hal-hal yang buruk kepada para muridnya.
Di hadapan para petinggi polis, Sokrates mengajukan (beberapa) pembelaan diri (Apologia-Platon). Pertama, ia menyangkal bahwa dirinya tidak patuh dan mempercayai dewa-dewi polis Athena. Ia menjelaskan bahwa segala hal yang ia lakukan selama ini adalah untuk mencari arti sesungguhnya pesan dari Orakel Delfi. Tindakannya ini mencerminkan kepercayaannya pada dewa-dewi. Kedua, mengenai memperkenalkan dewa-dewi baru. Ia mengatakan bahwa yang selama ini ia ikuti adalah suara misterius yang ia dengar sejak kecil - yang kemudian dinamai daimonion. Orang Yunani mempunyai kepercayaan bahwa setiap manusia mempunyai daimonion yang senantiasa mengikutinya. Ketiga, mengenai pemberian pengaruh buruk pada anak muda. Sokrates membela diri bahwa ia tidak pernah mengajarkan hal-hal yang buruk kepada mereka. Para muridnya yang hadir bisa dimintai keterangan perihal apa yang mereka bicarakan. Ia pun juga bersumpah bahwa ia tidak pernah bermaksud mengajarkan apa pun .
Pembelaannya ini memberi pengaruh besar pada jalannya proses pengadilan. Dari pemungutan suara didapatkan perbedaan tipis antara pihak setuju dan tidak setuju dalam penjatuhan hukuman. Sesuai tradisi Sokrates diijinkan untuk memilih sendiri hukuman bagi dirinya. Akan tetapi, Sokrates kemudian berbicara secara arogan menolak segala hukuman dan menyatakan bahwa seharusnya ia dihargai karena segala hal yang telah ia perbuat. Tindakannya ini membuat geram para peserta sidang sehingga kemudian menjatuhkan hukuman mati pada Sokrates. Sokrates mematuhi keputusan polis dan menolak ajakan teman-temannya untuk melarikan diri. Sokrates menerima dan menjalani hukumannya sebagai bukti dan bentuk ketaatannya pada polis Athena.
Ajaran Sokrates.
Bagi Sokrates, kebaikan hidup adalah tujuan hidup manusia. Jiwa manusia pada dasarnya mencari kebaikan hidup. Manusia harus mengusahakan jiwanya untuk menjadikan jiwa sebaik mungkin. Ajarannya ini menambah kedalaman arti jiwa dalam budaya Yunani. Jiwa kini tidak hanya sebatas sesuatu yang meninggalkan manusia ketika ia mati, baik itu nafas atau pun hidup itu sendiri. Jiwa adalah sesuatu yang immaterial dan imortal. Jiwa adalah intisari kepribadian manusia, suatu hal yang mengatur hidup manusia dan mengajaknya mencapai kebaikan hidup.
Cara untuk mencari kebenaran adalah dengan bertanya kepada mereka yang ”merasa tahu”. Ia tahu bahwa dirinya tidak tahu sehingga ia terus berusaha mencari untuk tahu. Ia akan bertanya kepada setiap orang dengan menjejalinya berbagai pertanyaan sehingga orang tersebut mengakui bahwa dirinya tidak tahu. Metodenya ini disebut dialektika. Akan tetapi, Sokrates lebih senang menamai metodenya ini sebagai maieutike (ilmu kebidanan). Ia tidak mengajarkan melainkan menumbuhkan api semangat dalam muridnya untuk mencari kebenaran itu sendiri. Seperti seorang bidan, ia membantu para muridnya untuk menemukan pengetahuan. Dalam Euthyphro Sokrates berbincang dengan Euthyphro mengenai arti dari kesalehan. Euthyphro menyatakan dirinya tahu tentang kesalehan. Setelah melalui perbincangan dengan Sokrates akhirnya Euthyphro mengakui bahwa dirinya tidak tahu tentang kesalehan. Ia tidak hanya merasa tidak tahu, melainkan juga dituntun untuk menemukan arti sejati dari kesalehan melalui dialognya dengan Sokrates.
Bagi Sokrates pengetahuan dan keutamaan adalah suatu hal yang sama. Jika panggilan manusia adalah ”menjadikan jiwa sebaik mungkin”, maka satu hal yang harus diketahui adalah apa yang menjadikan jiwa itu baik. Kebaikan dan pengetahuan mempunyai kaitan yang erat. Menjadi pertanyaan mendasar: ”Apa itu kebaikan?” Sokrates mengatakan untuk tahu tentang kebaikan adalah dengan melakukan tindakan kebaikan itu sendiri. Menurut Sokrates, setiap manusia juga mempunyai hasrat (jiwa) untuk mencari kebahagiaan (eudaimonia). Manusia dalam bertindak mempunyai harapan mendatangkan kabahagiaan padanya. Kebahagiaan manusia adalah berbuat baik. Dalam budaya Yunani kebahagiaan atau eudaimonia adalah keaadaan obyektif dan tidak bergantung pada keadaan subyektif. Eudaimonia berarti mempunyai daimonion (jiwa) yang baik, dengan kata lain kebahagiaan adalah suatu keadaan well-being (keadaan yang baik).
Perbuatan jahat atau salah adalah sebuah kemalangan bagi manusia. Perbuatan salah terjadi karena konsekuensi dari perkiraan yang tidak tepat atas tindakan baik, atau lebih tepatnya karena ketidaktahuan atas suatu hal yang dapat menghasilkan kebahagiaan. Manusia selalu bertindak dengan landasan segala tindakannya berakibat baik untuk dirinya sendiri. Dalam konteks perbuatan jahat (salah), manusia melakukannya juga dengan harapan mencapai kebaikan. Akan tetapi, ia mengikuti kebaikan yang semu (partikular) sehingga yang terjadi adalah suatu perbuatan jahat. Pengetahuan memampukan manusia membedakan apa yang memberi dan arti sesungguhnya kebahagiaan.
Dari semua hal ini dapat disimpulkan mengenai ajaran Sokrates, yakni (1) Jiwa adalah intisari kepribadian manusia; (2) Pengetahuan adalah keutamaan; (3) Mencapai kebaikan adalah kodrat manusia sebagai makhluk yang baik; dan (4) Perbuatan jahat terjadi karena ketidaktahuan manusia bahwa tindakannya menghasilkan kejahatan.
Tanggapan Kritis: Relevansi Ajaran Sokrates Menghadapi Realitas Zaman.