Sejak 2014, saya sudah aktif ikut komunitas malam puisi di Bandung. Dari situ, saya paham permasalahan mengapa kota asal saya, Mojokerto, tidak punya ruang gerak literasi yang luas, pertama karena kurangnya komunitas, dan kedua karena komunitas yang ada sudah terlalu eksklusif untuk dimasuki oleh pembaca-pembaca baru.
Di tahun 2022, setelah dihubungi oleh seorang kawan, kami akhirnya berhasil membuat klub baca kecil-kecilan, namanya, Mendadak Klub Buku, dengan kegiatan-kegiatan yang tentunya juga diadakan secara mendadak.Â
Namun, dari situ saya sadar, ternyata banyak yang punya hobi sama, membaca, tetapi mereka jarang merasa memiliki ruang yang sama, entah hanya untuk sekedar membaca bareng atau menuangkan apa yang ada di benak mereka setelah membaca buku.
Komunitas kecil ini terinspirasi dari Silent Book Club, yang pertama kali muncul di luar negeri, dan sudah diterapkan di Indonesia sejak lama, dengan seorang inisiator bernama Hestia Istiviani, yang membentuk komunitas bernama bacabareng.sbc.Â
Dari sini saya sadar, bahwa untuk membesarkan pengaruh literasi itu tidak perlu dengan hal yang muluk-muluk, cukup dengan membuat gerakan kecil yang membuat orang merasa ikut ambil bagian, atau setidaknya menjadi bagian dari sesuatu yang kecil. Setiap orang tentu akan senang jika kegemarannya disirami, dan dihidupi.
Kemarin, saya juga menyimak diskusi yang diadakan oleh Perpusnas dengan Maman Suherman sebagai pembahasnya. Beliau bilang, "Negara belum hadir untuk buku dan perpustakaan," dan entah mengapa saya sedikit percaya dengan pernyataan tersebut.
Negara memang tidak bisa hadir sepenuhnya untuk menghidupkan kecintaan pada buku. Namun, perasaan optimistis itu akan tetap ada pada ruang-ruang komunal yang selama ini sudah tercipta, bergerak secara independen, dan menghasilkan hal-hal yang meski tidak cukup besar dan riuh, tetapi cukup mampu menepis anggapan bahwa Negara kita tidak melek literasi.
Ada Ubud Writers and Readers Festival, begitu pula Makassar dengan penulis puisi seperti Aan Mansyur dan Faisal Oddang yang terus menghidupinya dengan festival-festival tiap tahun yang terus ada. Kedua event tingkat dunia ini saya yakin awalnya juga datang dari inisiasi di ruang-ruang komunal, yang tercipta dari diskusi-diskusi panjang yang terus ada dan menjadi pemantik bagi para penulis dan pembaca untuk ikut berkontribusi menjaga, melestarikan, dan merawat kecintaan pada buku.
Indonesia tidak kekurangan pembaca, tidak pula rendah kualitas literasinya. Jadi mari,sama-sama menepis anggapan tersebut karena ruang-ruang komunal ini akan selalu hadir dan tidak berhenti memeluk para penulis dan pembaca dengan erat. Kita boleh pesimistis dan menganggap bahwa negara atau pemerintah belum hadir sepenuhnya, tetapi mari meletakkan kepercayaan yang saya yakin tidak akan sia-sia pada ruang-ruang komunal yang mencintai buku ini.
Mereka yang akan terus menyalurkan pelita tersebut, menjaga nyalanya agar tidak mati, dan pelan-pelan meniup harapan pada literasi di Indonesia - yang tidak hanya berdiri sebagai ruang baca dan menyampaikan teori, tetapi membuat gerakan, menyentuh ruang-ruang personal, ruang-ruang yang hadir menyelamatkan, dan akan terus membawa perubahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H