Mohon tunggu...
Lintang Prameswari
Lintang Prameswari Mohon Tunggu... Jurnalis - Content Writer

Bukan penulis, hanya menulis.

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Kisah Sepotong Burger dan Sebungkus Cokelat dari Go-Food

3 Juni 2018   23:58 Diperbarui: 4 Juni 2018   00:31 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dokumentasi pribadi

Sebagai mahasiswi yang sedang berproses menuju kelulusan, terkadang menyusun tugas akhir dan revisi merupakan salah satu hal yang menjadi alasan untuk tidak hidup sehat. Lupa makan, lupa tidur, dan lupa bahwa terkadang hidup itu harus disyukuri meski dengan berbagai rintangan yang disuguhkan oleh dosen pembimbing apalagi penguji.

Awal tahun 2018 menjadi tantangan yang amat berat bagi saya. Memasuki fase akhir dunia perkuliahan dimana kewajiban paling utama untuk menyusun skripsi harus saya hadapi, diperparah dengan masalah keuangan dari orang tua yang semakin lama semakin menipis dibarengi tuntutan untuk segera lulus agar cepat mendapat kerja. Di sisi lain, saya ingin segera menuntaskan perkuliahan, namun di sisi yang lainnya lagi, saya ingin penelitian yang saya lakukan memberikan dampak yang berarti, setidaknya bagi diri saya sendiri.

Jika boleh jujur, selama menyusun skripsi, kehidupan yang saya jalani, terutama soal makanan bisa dibilang sangat buruk. Kebutuhan gizi yang cukup saya abaikan demi menyelesaikan tuntutan tersebut. Saya pun bukan tipe gadis yang ketika mengalami stress langsung memutuskan untuk makan dengan porsi yang banyak. Sebaliknya, ketika stress melanda, nafsu makan saya berkurang drastis. Hal tersebut diperparah dengan kondisi kos yang terlampau nyaman untuk ditinggalkan. Ya, istilah keren anak muda zaman sekarang sih, mager, alias males gerak.

Setelah lama menatap langit-langit kos yang putih hampa dan sama sekali tak membuahkan inspirasi, saya kemudian ber-manuver pada layar gawai yang selalu terlihat lebih menggiurkan daripada lembar-lembar revisi. Disana kemudian saya membuka folder yang saya namai sebagai transportation. Niat awalnya, ingin mencari tiket di aplikasi penyedia layanan jasa travel untuk melihat harga tiket yang sekiranya mampu saya beli untuk liburan ke Bali, tentunya dengan promo-promo hebatnya. 

Namun yang terjadi justru keinginan yang sangat kuat untuk membuka aplikasi serba ada yang menyediakan jasa pesan-antar makanan bernama Go-Food, yang merupakan bagian dari aplikasi Go-jek. Ya, saya lapar, tapi mager. Terpujilah wahai abang Nadim Makarim yang menciptakan aplikasi serba bisa yang memudahkan mahasiswi seperti saya untuk melestarikan tingkat ke-mager-an ke level yang lebih tinggi.

Kemudian saya jatuh hati pada voucher-voucher yang bertebaran, lengkap dengan ciri khas warna yang menggoda: merah menyala. Dan, terdapat nama restoran-restoran cepat saji yang menawarkan harga promosi yang murah. Dengan hanya menukarkan 10 points voucher saja, saya bisa mendapatkan se-paket burger beserta kentang dan minum. Minimal pembeliannya memang lumayan, 50.000 rupiah, tetapi saya sudah bisa mendapatkan diskon 20.000 rupiah dengan membeli burger yang selama ini harganya terlampau tidak rasional bagi mahasiswa koret seperti saya.

Sumber: dokumentasi pribadi
Sumber: dokumentasi pribadi
Lalu tanpa berpikir panjang, saya segera menukarkan points tersebut, dan segera memesan. Hello, mana ada sih mahasiswi yang menolak promo-promo murah macam itu?

Setelah menunggu sekitar 20 menit, sampailah pesanan itu pada saya. Bapak pengantar yang sangat baik hati itu kemudian menulis pesan di aplikasi chat (terpujilah Nadim Makarim yang akhirnya berbaik hati menyiapkan fitur ini karena ya tahu lah mahasiswi itu terkadang malas menelepon karena tidak punya pulsa). Pesannya seperti ini:

"Teh saya ini udah di ujung babakan ciamis tiga, gang-nya di sebelah mana ya?"

"Oh bentar pak, saya yang kesana aja.", begitu balasku.

Sumber: dokumentasi pribadi
Sumber: dokumentasi pribadi
Well, sebetulnya itu adalah masalah prinsip. Sebagai mahasiswi kejawen (istilah untuk menyebut orang asli jawa yang memiliki sifat kejawa-jawaan) yang cenderung nggak-enakan dan nggak mau ngerepotin, setiap pengantar yang bingung dimana menemukan alamat saya, biasanya saya langsung tanggap mengutus bapaknya untuk diam saja di tempat dan sedikit berjuang untuk berjalan menghampirinya. Prinsip saya, dengan begitu, saya lebih bisa mengurangi beban kerjanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun