Lama sejak surat terakhirnya di ujung teteg Malioboro, Aning tak terdengar lagi kabarnya. WA, SMS, e-mail, dan message inbox via FB di malam hari yang diam pun gagal tersisipkan di lekuk nyanyian jangkrik. Dia yang unik, Â berbinar tenggelam dalam gelap berita yang hilang; dan malam kembali nglangut seperti ujung-ujung batu candi sebelum bulan tua tersengal tanpa sebab. Ngungun...Â
[Meski ada di group WA SMP dia selalu menghindar untuk mereply commentku. Seperti pesannya tiga tahun lalu melalui e-mail, Â "Jauh di mata dekat di rasa". Sejak itu tak sekalipun aku mengiriminya pesan. Â Sama sekali. Terlebih setelah aku putuskan keluar dari grup alumni]Â
Namun di saat waktu bergulir landai, sebuah Spam message di daftar tunggu pesan tanpa sadar terbuka. E-mail tak dikenal yang mestinya otomatis terdelete. Hanya seminggu sebelum reuni ke-2 SMP.Â
"Lin.... Ijinkan aku menghapusnya ya ?"Â
Aku terdiam..  Ini siapa kok ujug-ujug menyapa "Lin". Nama panggilan lama dan terasa jau.....uuh, tapi tiba-tiba bergegas ingin kembali. Panggilan itu hanya satu orang yang tahu, karena nama Lintang hanyalah nama samaranku di kumpulan puisi ketika SMP.
"Kamu siapa ?" tanyaku memastikan.Â
Dengan sengaja replay itu aku CC ke alamat e-mail lamanya, karena alamat baru terasa asing. Seperti biasa, dirinya adalah misteri yang beku. Biru yang redup di ujung pertanyaan-pertanyaan yang terjawab dengan sederhana. Â Setelah hilang seminggu kemudian melalui e-mail dia menyapa
"Reuninya sukses ya ? Foto-fotonya banyak tuh di FB dan grup WA... Hii"Â
Seruan "hii" kembali mengingatkanku pada bola mata itu. Pringisan cerdas yang lugas dan  kerjap bulu mata yang lentik.  Lalu bergegas kubuka beberapa foto galery FB dan tumpukan kenangan pudar teman-teman SMP.  Aku jawab,Â
"He...he... kok nggak datang ? Banyak yang kangen lho"
"Kamu kangen nggak ?" tanyanya memojokkan. Ada yang lembut mengalir. Ada suara masa lalu yang kembali mengalun. Segera saja kualihkanÂ
 "Sering kontak dengan Bam sepupumu ?"
Tak ada jawaban dan hingga larut pesan itu tidak terbaca. Tiga hari e-mailnya kembali bungkam. Aning lebih suka menggunakan e-mail daripada WA. Sia-sia puluhan kali kemalasanku kusingkirkan hanya untuk membuka e-mail, dan berhitung mungkin ada celotehannya yang lain. Seperti kerlingannya semasa ketrampilan bersama dulu. Dialah satu-satunya anak perempuan yang ikut kegiatan elektronika..... Sementara WA-pun sepiÂ
"Liiin..... tang,"Â
Hanya sapaan itu di messenger....dan stiker gadis lucu.
Kertas draft Tesis mahasiswa kutanggalkan. Ingatanku sembab. Waktu kembali berputar di lorong-lorong semasa sekolah. Seruan itu identik dengan penghuni bangku tengah di kelas pojokan. Di ujung jendela, di mana PR matematika bukan lagi momok hanya karena di suruh keluar atau  ditampar guru gara-gara tidak mengerjakan.Â
Yang ku tahu senyummu mekar dan tawamu nggligis. Itu jelas kamu. Yang menunggu berminggu-minggu hanya untuk menggangguku.Â
"Apa kabar ? Lama nggak bisa silaturahmi," balasku. Seperti purnama yang tumbuh sebelum waktunya.
"Heeh... Lin...he...he. Boleh nggak yang dulu kuhapus ?"Â
"Aning ini ngomongin apa ? "Â
Lalu di ruang chatting tertulis bait lagu Â
"Bintang kecil di langit yang tinggi, amat banyak menghias angkasa, aku ingin terbang dan menari, jauh tinggi ke tempat kau berada"Â
Aku ingat lagu itu sering kami nyanyikan di sela praktek ketrampilan elektronika. Aku terkesiap. Di depan Laptop tanpa sadar aku nyungir. Jika kenangan itu sempurna terputar, sebenarnya saat SMP dulu dialah "teman" yang lembut dan lengkap. Dia bisa nyinyir, bisa imut kekanakan, tapi juga bisa dewasa melampaui usianya.Â
[Hal itu juga yang membuatnya dengan berbisik  berkata kepadaku sambil cengengesan, bahwa tepat setelah pengumuman kelulusan SMP dia membuat tatto mungil di salah satu mata kakinya. Sayangnya hingga perpisahan sekolah kami, mata kakinya yang jenjang selalu tertutup kaos kaki. Bahkan setahun kemudian seusai dia pindah ke Jakarta]Â
"Eh... aku nggak pernah tahu lo." Â Aku masih tetap tak merasa pastiÂ
"Halah.... Dulu aku serius. Masih ada, " Dia tetep ngeyel. Mungkin benar dia melakukannya.Â
"Lha kamu aneh. Kaki bagus-bagus malah ditato. "
"Boleh ya ?"Â
"Kok minta ijin aku ? Gambar apa ta An ? " rasanya kepo jugaÂ
"He...he... he..., "Â
Aku bayangkan  dia cengengesan sambil menggosoki ujung hidungnya yang mancung dan jemari tangan satunya iseng memilin rambutnya yang keriting kecil.  Persis seperti saat kami berpapasan di lorong sekolah yang membentuk huruf U.... Duluu sekali. Bedanya saat sekolah rok warna drilnya tak jarang dikibas-kibaskan sambil menjauhiku.Â
Dan sejak itu tak ada lagi pesan yang terkirim. Persis seperti terminal tua yang dulu pernah menjadi halaman belakangnya, dimana aku biasa melihat kaca jendela kost-kostannya dan berharap siluetnya terbayang di temaram lampu belajarnya. Tidak lebih.Â
[Seminggu sebelum Lebaran Qurban tiba-tiba HP-ku menerima WA. Hanya ada satu foto, dua kalimat, dan satu permintaan, yaitu foto tatto huruf "L" mungil di mata kaki dan kalimat, "Itu sudah kuhapus sebelum berangkat. Do'akan ya. Aku sudah di depan Ka'bah"]Â
An... aku bisa menduga "L" itu siapa, sebagaimana curahan hati di sampul bukuku selepas kelas 2 SMP, yang dengan jelas terbaca tulisan siapa, "Lin andai engkau tahu. Aku mencintaimu". Meski waktu naik ke kelas 3 engkau tak mengakuinya saat hal itu kutanyakan padamu. Maafkan aku.Â
Selamat berhijrah. Semoga Mabrur!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H