Jalan Srikana merupakan sebuah sumber mata pencaharian bagi pedagang yang berada disekitarnya, tetapi pemerintah kota menganggap pedagang yang berada di jalan Srikana menganggu tata kota yang seharusnya bisa lebih rapi. Harga yang terjangkau dan tempat yang berada di dekat kampus Universitas Airlangga, itulah alasan para mahasiswa lebih memilih untuk nongkrong di warung jalan Srikana. Mayoritas warung yang berada di sekitar Jalan Srikana adalah bekas warung yang terkena penggusuran di jalan Airlangga.
Seiring dengan berjalanya waktu jalan Srikana dipenuhi oleh pedagang kali lima. Tak hanya sebatas warung namun juga dengan berbagai permasalahan yang ada. Adanya isu penggusuran oleh pemerintah menyebabkan masyarakat pedagang yang ada di jalan Srikana menjadi was-was.Â
Menurut beberapa narasumber, mereka menyebutkan bahwa penggusuran pedagang di jalan Srikana akan sangat merugikan jika tidak ada follow up untuk merelokasi pedagang yang terdampak penggusuran.Â
Solusi terbaik dari pemerintah kota sangat diharapkan oleh pedagang yang berada dijalan Srikana sendiri, karena berdagang di jalan tersebut merupakan pekerjaan utama bagi sebagian besar dari mereka.Â
Pandemi juga menyebabkan penghasilan jam berjualan berkurang yang mengakibatkan menurunnya pendapatan perhari para pedagang. Tak hanya mahasiswa beberapa pekerja TPS juga ikut istirahat di warung yang berada di jalan Srikana, mereka juga menganggap warung tersebut menjadi basecamp mereka sewaktu beristirahat.
Menurut salah satu narasumber, yaitu Pak Jumawan, beliau menyebutkan bahwa beliau sudah menempati tempat ini sejak 2004, beliau alih profesi dari ahli foto kilat hitam putih menjadi pedagang kaki lima karena pada waktu itu teknologi sudah mulai beralih kepada cetak foto yang memiliki warna.Â
Hubungan para pedagang dengan penduduk ataupun mahasiswa yang berada disekitar lingkungan jalan Srikana sudah cukup kental, sehingga beberapa mahasiswa dari fakultas Hukum dan Ilmu Politik turut membantu agar para pedagang di jalan Srikana tidak terdampak penggusuran. Jikalaupun mereka masih terdampak penggusuran mereka sudah menyiapkan rencana yang hendak mereka lakukan.Â
PKL seputar Airlangga dan Srikana, melakukan pembelaan yang sama dengan PKL Menur dan Karangmenjangan. Bahwa mereka telah lama berjualan, dan terpaksa dilakukan untuk menyambung hidup.Â
Memenuhi kebutuhan keluarga, sandang, pangan dan papan. Namun semua itu tak berarti ketika berbenturan dengan peraturan yang jauh dari konsepsi Hak Asasi Manusia dan Hak Warga Negara.
Dimana pada setiap kondisi apapun, baik stakeholder maupun PKL harus ditemukan untuk menentukan solusi bersama. Namun dalam realitasnya aturan tersebut tak pernah berlaku, PKL sebagai warga negara selalu dibenturkan dengan Satpol PP dan aparatur terkait. Mereka diusir semena-mena dari ruang penghidupannya, tanpa dialog dan solusi terkait.Â
Seperti penyediaan sarana ekonomi yang sesuai dengan kondisi awal, berkaitan dengan laba. Rata-rata relokasi kebanyakan ditolak PKL, ialah akses pada pengunjung yang tidak terjangkau, sepi dan kios-kios yang disediakan relatif mahal. Sehingga mereka para PKL mempunyai argumentasi penolakan, karena di tempat biasa mereka cukup sementara di tempat baru kurang.Â
Kembali pada akses ekonomi, kebutuhan dasar. Indikator berjalannya demokrasi ialah, baik Pemkot dan stakeholder terkait dapat bermusyawarah. Namun ini tidak terjadi dalam praktiknya, mereka harus rela melakukan aksi terlebih dahulu baik aksi ke jalan, hingga mengirim audiensi ke kantor DPRD Surabaya yang hingga kini masih belum terjawab.
Persoalan-persoalan tersebut merupakan contoh nyata, bagaimana secara realitas mereka dipinggirkan dari tanahnya, alat produksinya dengan dalih kepentingan umum.Â
Sementara mereka yang mempunyai modal dilindungi bahkan ketika melanggar peraturan. Perampasan hutan kota, waduk hingga ruang terbuka hijau masih dibiarkan. Namun warga kota yang hidup dari bawah, hak-haknya masih dirampas tanpa pengecualian.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI