Sebuah Catatan Kecil tentang Pedihnya Perjuangan Buruh Migran di Negeri Orang
Oleh: Lintang Anis Bena Kinanti *)
Perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) dan buruh migran Indonesia (BMI) yang memiliki mata pencaharian di luar negeri tengah menjadi perhatian publik. Dalam Jambore Nasional Buruh Migran yang digelar selama tiga hari (23-25 November 2015) di Jember menghadirkan ribuan buruh migran dalam berbagai seminar dan sosialisasi mengenai program-program pemerintah dalam perlindungan buruh migran.
Tragis, nasib buruh migran masih dipandang sebelah mata di masyarakat. Proses yang dijalani pun terkesan rumit dan berbelit-belit. Tak heran banyak WNI yang lebih memilih bekerja di luar negeri tanpa mencatatkan diri ke instansi terkait. Bahasa kerennya: non-prosedural. Banyak juga yang mengatakan ilegal. Padahal resikonya sangat besar, hingga mempertaruhkan nyawa.
Belum hilang dari benak warga domestik, kasus kecelakaan kapal di perairan Sabak Bernam, 10 mil di luar pantai Johor yang terjadi 3 September 2015 silam. Kapal naas tersebut berangkat dari Sabak Bernam menuju Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara. Sebanyak 65 korban tewas tenggelam sementara 20 lainnya berhasil diselamatkan. Kebanyakan penumpang kapal tersebut berasal dari Aceh, Sumatera Utara, dan Jawa Timur.
Ironisnya, setelah diadakan penelusuran ditemukan fakta bahwa kecelakaan tersebut tak diketahui oleh aparat yang berwenang. Hal ini kerap terjadi dikarenakan statusnya yang ilegal. Mereka berlayar dalam upaya kembali ke Indonesia untuk mengembalikan status kesejahteraan mereka yang teerombang-ambing di luar negeri.
Pertanyaannya, kenapa ada saja warga negara Indonesia yang bersikeras menjadi TKI meskipun harus melalui jalan ‘haram’?
Dalam pembukaan Jambore Nasional Buruh Migran 23 November 2015 lalu, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid menyebutkan bahwa setiap tahun angkatan kerja di Indonesia selalu bertambah 2,8 juta orang per tahun, sementara pertumbuhan ekonomi hanya meningkat lima sampai enam persen. Setiap satu persen peningkatan ekonomi hanya menyerap tenaga kerja sebesar 250 ribu orang.
Efeknya, angkatan kerja baru yang bisa mendapat pekerjaan hanya 1,25 hingga 1,5 juta orang per tahun. Dan potensi pengangguran yang muncul mencapai 1,3 hingga 1,5 juta orang. Yang terjadi selanjutnya adalah migrasi besar-besaran baik itu ke luar kota, luar pulau, hingga ke luar negeri.
Seluruh aktivitas migrasi, baik dari maupun ke luar negeri, untuk mendapatkan pekerjaan adalah sah dan hak bagi semua warga negara. Hal ini termaktub dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Di dalamnya tertulis bahwa setiap tenaga kerja mepunyai hak dan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, baik di dalam negeri maupun di luar negeri sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan.
Namun faktanya, masih banyak para TKI atau buruh migran yang belum mendapatkan kesejahteraan di negara rantau. Ancaman hukuman, baik dari aparat penegak hukum negara yang bersangkutan maupun dari majikannya sendiri, masih membayangi para pejuang devisa yang tingga di luar negeri. Ambil contoh para imigran di Taiwan. Mereka terpaksa menjalani kontrak selama tiga tahun tanpa sanggup menikmati gaji mreka selama sepuluh bulan. Alasannya: ada potongan ini-itu, biaya ini-itu, yang hampir seluruhnya berkaitan dengan birokrasi.