met siang warga kompaisana, apa kabar? semoga sehat selalu :d, izin nuangin tulisan di ruang ini ya, lagi bahasannya tentang "PKS" hehehhehe nggak apa-apa ya. :d
Secara aksiomatik, sesungguhnya perjalanan bangsa ini tidak bisa dipisahkan dari Islam dan umat Islam. Hampir bisa disebut bangsa ini 90% adalah peran umat Islam. Jadi sangatlah tidak mungkin yang 10% itu mampu mewarnai bangsa ini. Namun demikian janganlah dibangun dikotomi. Yang perlu dibangun kini sebuah rasa memiliki. Persoalan bangsa ini adalah persoalan umat Islam. Selebihnya adalah dinamika. Dinamika sebagai umat dan Dinamika sebagai bangsa.
Namun yang jelas Islam mempunyai kepedulian pribadi dalam wujud rukun Islamnya. Hal ini adalah sebuah komitmen pribadi dan komitmen keumatannya yang harus diwujudkan dalam membangun jaringan kerja umat. Dan ini pernah terjadi ketika zaman perjuangan kemerdekaan. Dalam tataran kebangsaan membela umat bangsa sama dengan membela agama. Sehingga semua pembangunan bangsa ini adalah  pembangunan keumatan. Ketika itu hampir semua perjuangan bersifat parsial dan kedaeraan. Ada Jong Sumatra, Jong Celebes dan banyak lagi gerakan dengan pikiran-pikiran promordial. Lalu lahirlah Jong Islamieten Bond yang bergerak dan mengatasi kedaeraan, mengatasi keprimordialan. Dan itu adalah visi Indonesia Raya. Visi yang dibentuk oleh Generasi Islam. Ada kesadaran yang besar sejak awal.
Jika Clifford Geertz membagi-bagi Muslim menjadi kelompok-kelompok tertentu, sungguh salah besar. Dulu ada Cong Avi, seorang Muslim Tionghoa di Medan yang menyembunyikan keislamannya, namun mendermakan harta untuk dakwah dan perjuangan. Lalu ada pula Soekarno yang selalu menggunakan pemahaman dan pemikiran Islam yang ditanamkan oleh guru-gurunya. Ia menggunakan slogan-slogan santri dalam banyak kesempatan. Disebut apa mereka dalam teori Geertz? Islam Abangankah? tentu tidak, karena mereka diilhami oleh semangat " Innallaha laa yughoyyiru maa biqaumin hatta yughoyyiru maa bianfusihim." Ayat yang menyelesaikan masalah Apatisme, pesimisme, yang ada dan mendorong orang berfikir merdeka.
Penjajah-penjajah khususnya Belanda, hampir-hampir saja putus asa menhgadapi efek ayat diatas. Berbelas tahun lembaga-lembaga pendidikan Belanda mendidik orang-orang seperti Soekarno dan kawan-kawannya, banyak investasi yang telah mereka keluarkan untuk meredam keinginan merdeka. Tapi toh penjajah tak pernah mampu, karena perinta Allah mengajurkan pada para pejuang itu untuk mengubah dan menentukan nasibnya sendiri.
Bangsa ini dibangun diatas jejak-jejak Islam. Banyak sejarawan mengatakan bahwa Islam tak memiliki akar yang kuat di negeri ini. Mereka menandai berdirinya Kerajaan-kerajaan Islam adalah juga tanda masuknya Islam. Betapa sulit mencerna teori yang demikian. Bagaimana mungkin sebuah suprastruktural terbangun begitu saja tanpa menyiapkan infrastrukur. Yang ada adalah basis sosial yang mengakar itulah yang mengantar suprastruktur. PARA SEJARAHWAN LEBIH BANYAK MELUKIS SEJARAH KETIMBANG MENCATATNYA.
Ini belum lagi jihad yang mempunyai peran dan telah menjadi elemen vital perjuangan banga Indonesia. Ruhul Jihad mempunyai posisi yang sangat sentral yang menginspirasikan kemerdekaan. Kalau kita lihat perjuangan Sultan Baabullah di Ternate, semangat apa yang menginspirasikan dia melawan? Bukankah Iman dan Kufur itu yang menjadi Pembedanya. semangat iman-lah yang mendorongnya.
Tapi ironisnya, sekali lagi, seringkali sejarahwan melukis sejarah dan bukan mencatat sejarah. Mereka melukis sejarah-sejarah yang abstrak dengan imajinasi mereka. Contohnya mereka mengatakan kepentingan pribadilah yang menggerakan Diponegoro melawan, tapi sesungguhnya  selain kepentingan pribadi, ada banyak faktor lain yang menentukan, dan itu adalah isu-isu agama yang diusung dalam perjuangannya. Semangat jihadlah yang mengilhami Diponegoro. Tapi mengapa semagat jihad itu hilang sama sekali? kemanakah perginya?
Pedih rasanya jika kita menyaksikan yang terjadi saat ini. Elit saling berselisih paham. Tak ada jiwa kepemimpinan. Semua berpecah belah tak tersatukan. Belanda benar-benar telah berhasil dengan baik menanamkan politik belah bambunya.
Apakah hal yang sama sedang terjadi pula diantara rakyat dan umat? Apakah begitu pula yang terjadi dengan ulama?
Dulu ulama memiliki tempat tersendiri ditengah-tengah masyarakat. Mereka saling menjaga jarak dengan kekuasaan. Namun dalam urusan Jihad ulama dan penguasa jalan bergandengan. Kita lihat Ibnu Taimiyah yang tak henti-hentinya mengoreksi penguasa. Namun ketika panggilan Jihad datang mereka jalan beriringan. Ulama memberi fatwa, Komando ditangan Sultan. Keduanya menggerakkan perjuangan dengan smooth dan lembut.