Mohon tunggu...
LINTA NALURITA ANWAR
LINTA NALURITA ANWAR Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis, Membaca, memasak dan menonton film.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anak Bunuh Ibu dan Aniaya Ayah: Pola Asuh Orang Tua, Pengaruh Nature-Nurture Pada Kepribadian Individu

14 Desember 2023   20:30 Diperbarui: 15 Desember 2023   18:36 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
animationolpor.weebly.com

Anak merupakan anugerah yang Tuhan berikan dan menjadi hadiah paling berharga untuk para orang tua. Kehadiran anak menjadi moment yang paling dinantikan oleh para orang tua, menjadi moment yang paling diharapkan oleh sepasang insan selepas pernikahan. Bagi orang tua, “anak” bagaikan bunga-bunga yang tumbuh bermekaran di taman kehidupan mereka, mewarnai, melengkapi dan menjadikannya semakin hidup.

Kehadiran seorang anak juga menjadi amanah yang Tuhan titipkan, mengemban kepercayaan yang Tuhan berikan dan sebagai insan yang menerima kepercayaan tersebut, tentu harus mampu menjalankannya dengan baik. Mendidik anak bukan hanya tentang akademiknya, namun juga mengarahkannya untuk menjadi pribadi yang baik, sebab adab lebih tinggi dari pada ilmu. Orang yang beradab sudah pasti berilmu, tetapi orang yang berilmu belum tentu beradab.

Mendidik anak bukan perkara mudah, maka dari itu ada banyak hal yang perlu kita siapkan sebelum menjadi orang tua. Mulai dari mengenal diri kita lebih jauh, menjalin kerja sama yang baik dengan pasangan, memilih keputusan berdasarkan hasil kesepakatan berdua, kesiapan mental, finansial yang baik, mampu mengelola emosional dalam diri, hingga belajar ilmu parenting dan masih banyak lagi. Tujuannya tak lain untuk menjadikan kita sebagai orang tua yang siap dari berbagai aspek, menjadi orang tua yang bijak, serta mampu menjadi sahabat bagi anak. Belajar ilmu parenting juga sangat diperlukan, sebab orang tua adalah sekolah pertama bagi anak-anak mereka.

Ibaratkan sebuah pisau bermata dua, akan banyak memberikan kemudahan dan beragam manfaat bila dipergunakan dengan baik, namun juga bisa melukai (bila kita lalai menggunakannya). Layaknya seorang anak, akan berkembang menjadi pribadi yang baik dan berguna bagi sesama bila kita didik dengan tepat, namun juga dapat menjadi ancaman dan melukai diri, bila kita salah mendidiknya.

Seperti permasalahan yang sering terjadi di sekitar kita, dimana seorang anak berani memaki orang tuanya, menganiaya orang tuanya bahkan hingga membunuh orang tua. Kejadian tersebut juga baru-baru ini terjadi pada 10 Agustus 2023 di Kota Depok, seorang anak tega aniaya Ayah dan bunuh Ibu kandung lantaran sakit hati karena sering dimarahi.

Keterangan dari penyidik, pelaku pembunuhan adalah seorang laki-laki berinisial RA (23) yang merupakan anak dari korban pembunuhan dan penganiayaan. RA membunuh ibunya (SW) dengan menggunakan pisau dapur dan menusuknya sebanyak 50 kali, lalu membacok ayahnya (AM) dengan golok hingga mengalami luka serius. Kejadian bermula ketika (RA) sakit hati atas perkataan sang ayah yang mengatakan bahwa pelaku (RA) hanya membuatnya susah dan hingga detik ini tidak ada hal yang dapat dibanggakan dari RA.

Lontaran amarah sering diterima oleh RA dari orang tuanya sejak RA kecil, puncak amarahnya meluap saat kejadian perselisihan hari itu. RA kemudian melampiaskan amarahnya dengan menusuk sang Ibu yang tengah duduk di meja makan menggunakan pisau, menusuknya pada bagian leher, dada, paha dan organ vital lainnya. Selepas itu, RA mengunci ayahnya (BA) di kamar lalu membacoknya.

Ditinjau dari sisi psikologisnya, banyak anak yang dengan lantang berani menggertak orang tua hingga melakukan perbuatan keji itu mencontoh dari apa yang ia dapat di lingkungannya. Ibarat senjata makan tuan, kadang kali kita tidak menyadari bahwa apa yang kita terapkan pada anak itu pula yang akan anak tiru. Misalnya pada pola asuh otoriter, orang tua cenderung menerapkan standar pada anak-anaknya yang dimana standar tersebut harus mampu dicapai sang anak, tak jarang disertai hukuman/ancaman bila sang anak tidak mematuhinya. Seperti perkataan “kamu jadi anak tidak pernah melakukan hal yang dapat membuat kami bangga”, secara tidak langsung itu merupakan standar yang harus dicapai anak dan menarik kesimpulan secara garis besar bahwa anak adalah “alat” untuk dapat memenuhi standar orang tuanya.

Tuntutan demi tuntutan yang diberikan kepada sang anak tanpa menyesuaikan dengan perkembangannya akan sangat mengganggu tumbuh kembang anak. Perkembangan emosional pada anak dengan pola asuh otoriter cenderung membentuk anak menjadi pribadi yang lebih sering memendam, tidak berani berpendapat, banyak murung, tidak lebih bahagia bahkan kesejahteraan psikologisnya terganggu. Manusia yang lebih sering memendam amarah atau kesedihan, sewaktu-waktu ia akan sampai pada puncaknya, dimana emosi yang dipendamnya akan meluap.

Begitu pula yang mungkin terjadi pada RA, kesedihan dan amarah yang diterima akibat teguran dari orang tuanya itu, ia pendam hingga pada hari kejadian tersebut menjadi puncak emosinya. Tetapi apapun alasannya, tindakan yang dilakukan RA tetaplah bersalah, tidak dapat dibenarkan.

Perkembangan kognitif, moral, psikososial, hingga emosional pada anak tidak terlepas dari bagaimana pola asuh orang tuanya. Pola asuh yang digunakan pada tiap orang tua tentu berbeda-beda dan hal ini pula yang menjadikan tiap anak memiliki kepribadian yang berbeda.

Pola asuh yang diterapkan pada tiap anak akan berpengaruh pada proses tumbuh kembangnya, khususnya dalam membentuk kepribadian anak. Setiap pola asuh tentu memiliki dampaknya masing-masing. Dalam hal ini, anak yang berada dibawah pola asuh otoriter menuntut tiap anak untuk patuh dan tunduk pada setiap aturan dan perintah yang ditetapkan oleh orang tuanya dan anak cenderung tidak diberi kebebasan untuk berpendapat. Orang tua juga cenderung menghukum fisik, memaksakan kehendak, dan bersikap keras untuk membuat anak tunduk padanya. Alhasil pola asuh ini akan membentuk anak menjadi tempramental, sulit mengontrol dirinya, cenderung bersikap egois dan memaksa, anak juga sering merasa tidak berharga karena tidak pernah diberi ruang untuk bersuara dan tingkat percaya dirinya rendah.

Anak akan cenderung meniru orang tuanya, karena anak adalah cerminan dari orang tua. Bagaimana anak dididik hari ini akan menentukan bagaimana anak berperilaku di masa depan. Seperti sikap kasar atau sifat temprament pada anak bisa jadi ia dapatkan dari hasil meniru orang tuanya, meniru bagaimana perlakuan orang tua kepada dirinya. Anak dengan pola asuh seperti ini juga cenderung ambisius untuk keinginan pribadinya tercapai, misalnya ia ingin HP baru, maka ia akan memaksa dan bisa jadi menghalalkan segala cara untuk keinginannya terwujud. Hal seperti ini ia dapatkan dari pengalamannya saat dituntut untuk memenuhi keinginan-keinginan pribadi orang tuanya, jadi cenderung berpikir “aku sukses kalau aku bisa wujudin mimpi aku dan aku bodoh kalau aku gak bisa gapai impian aku”. Anak akan terbentuk menjadi pribadi yang egois dan mengedepankan kepentingan pribadinya seperti orang tua yang menuntut anak harus berhasil agar dapat membanggakan orang tua.

Pada RA sendiri, perasaan “harus dipenuhi” itu selalu muncul dalam dirinya sebagai bentuk pemenuhan pribadi dan berpengaruh besar dalam kepribadiannya, dilihat saat ia harus memenuhi hasratnya (membunuh) untuk melampiaskan emosinya.

Kemudian dalam teorinya, Jean Piaget berpendapat bahwa ada 4 tahapan perkembangan kognitif pada anak hingga dewasa, salah satunya adalah tahapan Operasi Formal yang berlangsung dalam usia 11-15 tahun dan berkembang hingga masa dewasa. Pada tahap ini, anak akan melakukan operasi-operasi konkretnya untuk berpikir logis dan memecahkan masalah yang abstrak. Anak mulai mengembangkan gambarannya mengenai kehidupan yang ideal, berpikir bagaimana orang tua yang ideal. Dapat kita lihat pada kepribadian yang terbentuk selama masa perkembangan di hidup RA, mengantarkannya pada pemikiran untuk menciptakan kehidupan yang ideal, bebas dari perlakuan orang tua yang menindasnya (mengatur), bersikap berani dan egois. Karena dalam pemikirannya, hal ini merupakan bentuk dari kehidupan ideal menurut standarnya dan mulai berpikir orang tuanya tidaklah orang tua yang ideal.

Kepribadian anak juga didukung oleh pengaruh lingkungan sosial. Selain menjadikan orang tua sebagai role model, anak juga akan cenderung menjadikan lingkungannya sebagai tolak ukur dalam berperilaku. Lingkungan juga ikut membentuk kepribadian anak, pengalaman-pengalaman yang ia dapatkan dalam lingkungannya turut seta membentuk pemahamannya pada dunia. Nature-Nurture saling mempengaruhi satu sama lain dalam pembentukan kepribadian anak. Nature merupakan faktor biologis yang melekat pada diri seseorang (karakteristik genetik/hereditas) dan nurture merupakan faktor yang berasal dari lingkungan, bagaimana ia memperoleh pengalamannya di lingkungan dan kemudian diimplementasikan dalam hidupnya. Faktor nature merupakan faktor yang diturunkan dari orang tua kepada anak, bahwa hereditaslah yang sepenuhnya mengendalikan anak. Misalnya tempramental adalah sebuah sifat yang diwariskan dari orang tua kepada anak, sifat ini akan ia gunakan saat ia berinteraksi dengan sosialnya. Dan faktor nurture hanyalah faktor yang mendukung anak dalam berperilaku. Layaknya sebuah tanaman yang diberi pupuk, diberi sinar matahari, disiram air dan dibersihkan dari rumput-rumput liar disekitarnya, yang dimana hal ini akan menunjang potensi untuk tumbuh pada tanaman tersebut. Seorang anak pun dalam perkembangannya akan bergantung pada bagaimana stimulus lingkungan yang ia dapatkan.

Begitu pun yang terjadi pada RA, dimana karakteristik genetiknya telah dibawa melalui pewarisan kromosom dan gen-gen dari orang tuanya, kemudian bertemu dengan lingkungan yang mendukung sifat-sifat tersebut berkembang.

Kepribadian yang terbentuk juga akan mempengaruhi seseorang dalam perkembangan emosional dan psikososialnya. Oleh karena itu, penting bagi kita para calon orang tua dan para orang tua untuk lebih menyiapkan segala hal, mulai dari kesiapan finansial hingga kesiapan mental sebelum memiliki anak, agar anak yang lahir dapat berkembang secara optimal dengan stimulus lingkungan yang baik. Selain itu, kesiapan mental para orang tua juga sangat dibutuhkan, dengan harapan agar anak mendapatkan kesejahteraan psikologis, tidak dibawah tekanan orang tua yang hanya akan membunuh karakter pada anak. Parenting atau pola asuh juga perlu dipelajari matang-matang, agar anak merasa berada di tempat yang aman, menjadikan orang tua sebagai rumah ternyaman, tumbuh menjadi pribadi yang baik dan tidak menjadi boomerang (ancaman) dalam kehidupan di masa yang akan datang.

Meskipun manusia pasti memiliki kekurangan, contohnya memiliki sikap tempramental, para orang tua dan calon orang tua tidak perlu khawatir anaknya menjadi tempramental juga, sebab lingkungan akan memupuknya tumbuh menjadi pribadi yang seperti apa. Manusia akan memiliki pemahaman pada dunia dari pengalaman-pengalaman yang didapatnya pada lingkungan. Meskipun sikapnya tempramental, tetapi bila dibesarkan dalam lingkungan penuh kelembutan, maka anak akan tumbuh menjadi anak yang lembut dan penyayang. Mari ciptakan lingkungan yang aman dan sehat bagi tumbuh kembang anak. Tidak ada anak yang terlahir nakal, yang ada hanyalah anak yang belum cukup mengerti dalam mengendalikan diri.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun