Mohon tunggu...
Karina Lin
Karina Lin Mohon Tunggu... profesional -

Seorang manusia biasa yang suka menulis. Mencintai dan hidup untuk menulis.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

BPJS Kesehatan dan Asa bagi Odapus

30 Agustus 2015   23:52 Diperbarui: 30 Agustus 2015   23:52 1196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

“LUPUS !” Ceplosan dari dokter Resati, menghentak bibir saya yang sedang bercerita. Dokter spesialisasi kulit yang berusia akhir 30 tahunan ini lantas bertanya, “ rambutnya rontok nggak ?” Saya spontan menjawab,” iya, rontok ! Ini sampai pitak, dok.” Saya menjawab pertanyaan bu dokter sambil menyibakkan bagian rambut di dekat telinga kanan. Rupanya bu dokter bertanya soal rambut rontok guna lebih memastikan diagnosanya kepada saya. Sebab usai mendengar jawaban rambut rontok, ia mengulang kembali diagnosa lupus tadi ke saya.

“Lupus ? Haah apaan itu ya dok ?” tanya saya, agak terbengong. Sebelum-sebelumnya saya pernah mendengar dan penyakit yang satu ini. Namun berhubung sudah agak lama (membacanya) – maka secara periodikal – lupalah saya. Dokter Resati pun menjelaskan kepada saya – yang saya tangkap secara samar. Lalu ia mengatakan atau tepatnya (berupaya) menenangkan hati saya pada saat menjawab pertanyaan apakah penyakit lupus ini terkategori penyakit berat, sedang, ringan ? Dia mengatakan, “tidak apa-apa.”

Tiba di kost-an, kepala saya masih dipenuhi kata lupus dan lupus; dan mungkin karena tekanan yang amat sangat maka saya pun sesunggukan menangis. Seolah derita yang harus saya alami tiada berujung akhir. Tangisan saya makin menjadi usai mengetahui bahwa lupus ternyata merupakan penyakit berbahaya.

Mengutip laman web alodokter.com, Lupus merupakan penyakit inflamasi kronis yang disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh yang keliru sehingga mulai menyerang jaringan dan organ tubuh sendiri. Lupus yang nama resminya ialah Systematic Lupus Erythematosus (SLE) dapat disebut pula sebagai penyakit autoimun dan sampai saat ini – belum ada obat penyembuhnya. Pengidap penyakit lupus (SLE) disebut odapus (orang dengan lupus).

Oh ternyata lupus bukan penyakit tak apa-apa. Lupus adalah penyakit apa-apa. Oh membanjirlah airmata saya di malam itu yang sampai membikin heboh orang seisi kost-an. Teringatlah saya pada peristiwa 16 Januari, enam tahun yang lalu (2009). Pada tanggal itu dan tahun itu, saya juga menangis. Sebuah tangisan haru karena berhasil menjalani ujian komprehensif sarjana dengan sempurna.

Kini atau enam tahun kemudian, saya di tanggal yang sama – juga menangis. Bedanya saya menangis dalam kenestapaan harapan karena diagnosa atas penyakit yang bercokol di tubuh saya. Entah apakah ini memang takdir saya ataukah sebagai bentuk cobaan terhadap nasib. Entah hasil diagnosa tadi patut disyukuri ataukah patut dibenci. Ah, entahlah. Singkatnya berawal dari diagnosa lupus tadi lah saya jadi bersentuhan dengan program BPJS Kesehatan yang digagas oleh Pemerintah Indonesia sejak 2014 lalu.

*

“Sudah punya Kartu BPJS ?” Masih tergiang percakapan dengan dokter Resati, dokter yang mendiagnosa saya berpenyakit lupus. “Belum, dok,” jawab saya (lagi-lagi) sambil diliputi oleh kebingungan. Biarpun program kesehatan yang digelontorkan oleh pemerintah kita ini telah setahun berjalan – tepatnya dari sejak Januari 2014 – terus terang saya masih belum sepenuhnya tahu dan paham mengenai program kesehatan ini.

Memang di televisi cukup sering saya menonton iklan masyarakat mengenai program BPJS Kesehatan ini. Iklan ini memberi informasi sekaligus anjuran supaya seluruh masyarakat Republik Indonesia (RI) memanfaatkan program kesehatan ini secara maksimal.

Kembali ke soal percakapan dengan bu dokter, jadilah dia menjelaskan tentang program BPJS ini. Dikatakan olehnya bahwa saya memerlukan mendaftar terlebih dahulu. Nantinya setelah mendaftar dan mendapatkan kartu BPJS Kesehatan, saya bisa menggunakan kartu tersebut untuk berobat sesuai kebutuhan kesehatan dan penyakit yang saya idap. “Bikin kartu BPJS dulu. Terus dari setelah jadi ke puskesmas, minta surat rujuk ke rumah sakit. Disana baru dilakukan pemeriksaan lebih lanjut,” samar-samar yang saya ingat mengenai penjelasan dari bu dokter. Ia juga menjelaskan sembari menggambarkan alur yang harus saya lalui dalam program BPJS Kesehatan ini.

Bertekad mengurus pembuatan kartu BPJS Kesehatan secepatnya, nyatanya baru seminggu lebih saya baru menuntaskan tekad tersebut. Saya mencatat persyaratan yang harus dipersiapkan bagi para calon pendaftar kartu BPJS Kesehatan. Pertama ialah Kartu Tanda Pengenal Diri KTP). Kedua ialah Kartu Keluarga (KK), bisa aslinya atau fotokopinya. Ketiga ialah pas photo berukuran 3x4 cm sebanyak satu lembar. Saat melakukan pendaftaran, saya membawa pas photo lebihan dan dalam berbagai ukuran. Berjaga-jaga saja, siapa tahu pas photo yang diperlukan jumlahnya lebih dari yang dipersyaratkan secara umum.

Lalu keempat, fotokopi buku tabungan. Cukup halaman pertamanya saja yang berisi keterangan pemilik tabungan, alamat dan nomor rekening pemilik tabungan. Fotokopi buku tabungan ini diperlukan sebagai bukti bahwa kita, calon pedaftar BPJS Kesehatan telah memiliki akun di bank yang nantinya untuk memudahkan proses pembayaran iuran bulanan dari BPJS Kesehatan.

Menggunakan angkutan umum (angkot) saya pun menuju ke kantor pusat Bank Mandiri di Lampung, alamatnya di Jalan Laksamana Malahayati, Teluk Betung. Setibanya disana, saya langsung bertanya ke Pak Satpam mengenai loket dan cara serta persyaratan pembuatan kartu BPJS Kesehatan. “Loket pendaftarannya sudah pindah, bu,” kata Pak Satpam menginformasikan ke saya.

“Lho, pindah kemana pak ? Bukannya di depan itu ya ?” Kata saya sambil menunjuk gedung kecil berwarna putih yang berada di bagian depan dari area kompleks Bank Mandiri. Pak Satpam yang berusia sekitar 35-40 tahun menjawab lagi,”Iya, dulu memang disitu bu. Tapi sekarang sudah dipindah. Soalnya loket pendaftaran BPJS yang disini tempatnya kurang luas.” Penekanan pada kata kurang luas itu, saya mahfumi. Apa yang dikatakan oleh Pak Satpam ini memang benar. Seringkali ketika melewati Bank Mandiri ini, dari dalam angkot yang saya tumpangi – terlihat kumpulan orang di sekitar loket pendaftaran BPJS Kesehatan dalam area bank.

Ramainya warga yang hendak mendaftar BPJS Kesehatan itu juga yang menjadi penyebab urungnya saya mendaftar program ini di tahun 2014 atau tahun awal program diadakan. Jika sudah ramai, maka sudah pasti harus mengantre. Ini sempat mengkhawatirkan diri saya ketika tiba di Bank Mandiri yang berlokasi di Jalan Cut Meutia, pengajaran, Teluk Betung. Ya, ke situlah – lokasi loket pendaftaran BPJS Kesehatan di pindah. Pak Satpam di Bank Mandiri Jalan Cut Meutia dengan ramah menunjukkan loket pendaftaran BPJS yang terletak di lantai dua dari gedung tersebut.

Saat tiba disana, waktu telah menunjukkan hampir pukul 14.00 WIB – yang merupakan jadwal tutup loket pendaftaran BPJS. Tetapi syukurlah kekhawatiran saya mengantre – sirna. Pasalnya hanya seorang ibu yang saat itu melakukan pendaftaran BPJS Kesehatan. Si ibu ini mendaftarkan dirinya plus seluruh anggota keluarganya. Kok tahu ? Soalnya saya memperhatikan kala dia melengkapi formulir pendaftaran Kartu BPJS Kesehatan sih.

Petugas yang melayani pendaftaran, cukup gesit. Seorang wanita muda berhijab berusia pertengahan 20 tahunan. Usai melayani si ibu tadi, ia pun melayani saya mendaftar. Ia menanyakan kelengkapan identitas diri (KTP dan KK) dan fotokopi halaman pertama buku tabungan serta pas photo. Setelah saya berikan kepadanya, ia memberi selembar formulir calon pendaftar Kartu BPJS Kesehatan dan meminta saya melengkapi data-data sesuai yang diminta dalam formulir tadi.

Setelah setengah jalan mengisi formulir, petugas pendaftaran menyarankan saya untuk membayar biaya iuran awal dari program BPJS Kesehatan. Lantaran saya memilih fasilitas kesehatan (faskes) tingkat satu, maka iuran yang wajib saya bayarkan setiap bulannya adalah Rp 59.500.

Menurut penjelasan mbak petugas, pembayaran iuran bisa dilakukan melalui transfer ATM atau autodebet dari rekening. Para peserta yang telah terdaftar secara resmi dalam program BPJS Kesehatan, nantinya akan mendapatkan kartu BPJS-nya dan virtual account yang digunakan untuk membayar (apabila memilih cara pembayaran transfer via ATM) iuran BPJS setiap bulannya. Jadi itu sebabnya dalam persyaratan pendaftaran Kartu BPJS dicantumkan fotokopi buku rekening. Adapun pembayaran iurannya dilakukan paling lambat tanggal 10 setiap bulannya. Apabila melewati tanggal tersebut, maka peserta BPJS Kesehatan dikenakan denda 2% dari jumlah iuran yang dibayarkannya setiap bulan.

Kemudian patut dicatat, kita baru bisa mengaktifkan kartu BPJS Kesehatan yang telah jadi itu seminggu setelah tanggal pembuatan atau cetak kartu. Mengenai hal yang satu ini, saya memiliki pengalaman sedikit lucu. Ceritanya saya datang ke Puskemas Simpur, Pasar Tamin. Puskemas ini merupakan faskes pilihan pertama saya. Datang ke Puskesmas Simpur, saya mendaftar lalu menyampaikan problem kesehatan saya, yakni didiagnosa lupus (SLE) dan memerlukan perawatan lebih lanjut. Dokter yang bertugas di puskesmas (saya nggak nanya siapa namanya, hanya ingat dokternya perempuan dan masih muda) lantas segera memberikan surat rujuk ke rumah sakit kepada saya.

Bergegas saya menuju ke rumah sakit yang dirujuk dalam surat tadi. Sewaktu ditanya oleh dokter, saya minta dirujuk ke Rumah Sakit Advent (RSA), Bandar Lampung. Jadilah saya ketika ke sana langsung menuju ke loket pendaftaran pasien BPJS Kesehatan. Cukup lama ibu petugas di loket pendaftaran mencari data saya (mungkin) dalam file peserta BPJS Kesehatan. Si ibu petugas kembali mencermati Kartu BPJS saya karena dia nampaknya tidak berhasil menemukan nama Karina Eka Dewi Salim (nama saya) tercantum dalam file peserta BPJS Kesehatan.

“Mbak, kartu BPJS-nya belum bisa dipakai. Ini baru bisa dipakai tanggal 27 Januari 2015,” ibu petugas berucap sembari menunjukkan angka berupa tanggal yang tercetak di bawah barcode kartu BPJS saya. Saya pun melongokkan kepala melihat angka tanggal tadi. “Jadi belum bisa dipakai ya, bu ? Masih harus nunggu seminggu lagi ya untuk mengaktifkannya ?” tanya saya supaya lebih meyakinkan.

Ibu petugas menjawab iya. “Surat rujuk dari puskemasnya nggak apa-apa. Ntar pas minggu depan kesini masih bisa dipakai,” tambahnya lagi. Seminggu kemudian, sesuai dengan tanggal pengaktifan yang tercantum di kartu, saya kembali lagi ke RSA dan kali ini, proses pendaftaran BPJS saya lancar. Tapi, saya baru tahu jika di RSA tidak memiliki fasilitas laboratorium untuk mengecek darah yang berhubungan dengan diagnosa penyakit lupus (SLE). Seorang dokter, kenalan saya yang bekerja di RSA-lah yang menginformasikan hal tersebut kepada saya.

Ia mengatakan bahwa di rumah sakit tipe B-lah baru bisa dilakukan pengecekan darah untuk kepentingan diagnosa sakit lupus (SLE). Rumah sakit tipe B yang ada di Bandarlampung hanya dua, yaitu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abdoel Moeloek dan Rumah Sakit Urip Sumaoharjo (RSUS). Sisanya, termasuk RSA merupakan rumah sakit tipe C. Mendapati informasi itu, yang tercetus dalam hati ialah kalimat “waduh, ternyata di RSA nggak bisa ya. Kalau dirujuk ke Abdoel Moeloek, saya tidak mau.”

Sepertinya kenalan saya yang dokter di RSA itu membaca kekhawatiran yang meliputi wajah saya. Dia pun berkata demikian,”Pakai BPJS kan ? Gini aja. Nggak apa-apa minta periksa disini, terus nanti dari internis di Advent minta surat rujuk ke internis di Urip.”

“Oh ya, ya. Begitu bisa ya om ?” Tanya saya guna lebih menyakinkan akan solusi tersebut. Kenalan saya, yang saya panggil Om Lisal menyatakan bisa. Ia pun memberi kode supaya saya mengikutinya ke meja informasi; disitu, ia menanyakan internis yang sedang praktek kepada perawat yang bertugas. Setelah mendapatkan nama internis yang praktek, ia mewanti-wanti sekali lagi ke saya begini; “Internisnya dokter Yuni. Ntar kamu bilang soal diagnosa SLE-nya terus minta surat rujuk ke Urip.” Saya pun menggangguk, pertanda paham.

Ada satu jam saya menunggu, sebelum dipanggil masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Dokter Yuni, internis yang memeriksa – lebih dulu bertanya mengenai keluhan penyakit yang saya alami. Ketika saya sampaikan bahwa saya didiagnosa lupus, ia pun bertanya lebih lanjut sambil menjelaskan mengenai gejala-gejala lupus. Kata dia, ada 11 macam gejala lupus dan apabila seseorang mengidap atau mengalami 4 dari 11 gejala tadi, kemungkinan besar orang tersebut menderita penyakit lupus. Dokter Yuni menjelaskan hal tersebut kepada saya, supaya lebih memastikan agar pengecekan darah yang saya lakukan (guna memastikan diagnosa lupus tadi positif atau negatif) tidaklah sia-sia. “Tes darah untuk lupus itu harganya lumayan mahal,” terangnya kepada saya.

“Tapi kalau memang mau tes darah ini, ya tak apa-apa. Supaya lebih jelas hasilnya,” Sambungnya sembari menuliskan sepucuk surat rujuk ke RSUS. Ucapan dokter Yuni mengenai tes darah untuk memastikan diagnosa lupus – yang tidak murah itu memang benar. Saat saya pada akhirnya menjalani (juga) cek darah tadi, saya diberitahu dulu oleh petugas laboratorium di RSUS mengenai prosedur termasuk biaya yang harus saya bayarkan.

Selama di RSUS, internis yang menangani saya ialah dokter Ridhuan Irawan, Sp. PD. Dia merujuk saya untuk menjalani cek darah imunoserologi yang bernama anti DS-DNA. Guna kepentingan kepastian diagnosa lupus ini, sebenarnya ada tiga jenis cek darah yang saya jalani dimana dua jenis cek darah – dengan menggunakan kartu BPJS Kesehatan – saya tidak dibebankan biaya. Sedangkan untuk satu jenis cek darah (imunoserologi), saya diwajibkan membayar karena rupanya untuk satu jenis cek darah itu – tidak dicover oleh program BPJS Kesehatan.

Yah; berhubung ini soal kepastian diagnosa penyakit, soal kesehatan tubuh saya, soal nyawa saya – maka ayolah. Saya sanggupi membayar biaya cek darah imunoserologi tadi di laboratorium RSUS sebesar hampir Rp 500 ribu. “Hasil cek darahnya baru bisa diketahui seminggu kemudian. Jadi ibu datang ke sini (RSUS) seminggu (Senin pekan depan) lagi,” Si petugas laboratorium menjelaskan. Dokter Ridhuan juga menyatakan hal yang sama dan sebelum pulang, saya menerima diagnosa SLE darinya plus saya diresepkan tiga macam obat untuk penyakit tersebut. Nama ketiga macam obat itu masih saya ingat hingga detil ini, antara lain: Methylprendisolon, Natrium Diklofenac, dan Rebamipid. Khusus Natrium Diklofenac, saya takkan melupakannya. Ukuran obatnya bulat kecil namun ketika menyentuh lidah, segera tercecap rasa pahit. Obat-obatan yang diresepkan olehnya (dokter Ridhuan) tadi, saya peroleh secara gratis karena menggunakan kartu BPJS Kesehatan.

*

Seminggu kemudian, sebagaimana yang telah diinformasikan oleh petugas laboratorium RSUS dan dokter Ridhuan, saya kembali datang ke RSUS guna mengetahui hasil cek darah imunoserologinya. Seminggu yang galau menanti tibanya hari Senin itu. Ada rasa cemas yang menjalar disekujur tubuh dan saraf saya. Bagaimana jika begini, bagaimana jika hasilnya tak sesuai yang saya harapkan, bagaimana jika…. Aah, pokoknya bagaimana-bagaimana yang lain. Tak terhindarkan pula pikiran mengenai masa depan saya seandainya…. Aah, saya berusaha menepis jauh-jauh pikiran dan perandaian-perandaian negatif tadi.

Saya sedang menunggu di kursi ruang tunggu yang merangkap koridor RSUS. Saya menunggu dipanggil ke dalam ruang pemeriksaan. Butuh waktu hingga hampir dua jam menunggu giliran saya dipanggil dan diperiksa. Kala sedang menunggu itu, saya putuskan untuk ke laboratorium RSUS guna mengambil hasil cek darah imunoserologi-nya. Petugas bagian adminitrasi laboratorium mencari amplop bertuliska nama saya diantara banyak amplop pasien yang juga melakukan cek darah disana.

Hanya butuh dua menit, si petugas telah menemukan amplop yang dimaksud dan segera menyerahkannya kepada saya. Tak langsung saya buka amplop hasil cek darah tadi. Saya putuskan untuk kembali duduk di ruang tunggu dan baru membukanya. Saya menghela nafas dan perlahan mengintip kertas di dalam amplop. Sembari mengucap doa dan harapan, saya beranikan untuk melihat hasil cek darah imunoserologi, dan hasilnya…

“Jadi gimana, dok ?” Tanya saya saat berada dalam ruang pemeriksaan. Dokter berkacamata itu menelusuri secara cepat hasil cek darah imunoserologi saya. Terus terang, saya nggak tahu apa yang sedang dipikirkannya sekarang. Namun sekejap kemudian, sulas senyum tersungging di bibirnya. Ya, menurut hasil cek darah imunoserologi itu, saya dinyatakan negatif lupus. Sebenarnya saya masih belum yakin ketika membaca sendiri hasil cek darah ini pasca menerimanya dari petugas laboratorium RSUS.

Saya baru yakin ketika internis saya, mengatakan sendiri bahwa hasil cek darah tersebut negatif. Tak terkatakan bagaimana meluapnya kebahagiaan yang menyesak di hati saya kala itu. Saya jabat tangan pak dokter cukup erat dan masih juga saya mengulang pertanyaan kepadanya demikian: “jadi saya negatif kan, dok ?”

Walau saya dinyatakan negatif, ia tetap meresepkan obat kepada saya. Tiga jenis obat yang diresepkan dalam pemeriksaan pertama, ia resepkan kembali. Ditambah satu jenis multivitamin. Dalam menebus resep obat-obatan dari pemeriksaan yang kedua ini, saya tidak menggunakan biaya sendiri. Saya tidak menggunakan kartu BPJS Kesehatan. Total biaya yang harus saya bayarkan dalam pemeriksaan yang kedua ini lebih dari 200 ribu rupiah.

*

Mengalami bagaimana rasanya didiagnosa lupus atau SLE sungguh memberikan hikmah tersendiri bagi saya. Terutama pada pentingnya menjaga kesehatan dan bergaya hidup sehat. Pada sisi lain, saya jadi mengenal yang namanya BPJS Kesehatan. Terus terang, selama menjalani pemeriksaan dan pengobatan terhadap diagnosa penyakit lupus atau SLE ini, saya cukup terbantu. Seperti dalam pasal obat-obatan. Sudah menjadi rahasia umum jika uang yang harus dikeluarkan untuk satu kali berobat ke rumah sakit bisa lebih dari seratus ribu rupiah.

Sementara kita, dalam mengobati suatu penyakit biasanya tak cukup satu kali berobat saja. Bisa dua hingga tiga kali, bahkan pada level penyakit yang berat, bisa berkali-kali. Selain itu, tipe rumah sakitnya pun berpengaruh. Setelah cukup akrab dengan program BPJS Kesehatan ini, saya baru tahu ternyata rumah sakit memiliki tipe-tipe. Penetapan tipe terhadap sebuah rumah sakit dilandaskan pada kelengkapan fasilitas penanganan penyakit, ukuran rumah sakit, dan sebagainya. Perbedaan tipe antara rumah sakit yang satu dengan rumah sakit yang lain, sudah pasti berbeda pula dalam tarif pengobatan dan perawatannya.

Saya dalam hal penanganan diagnosa lupus ini awalnya dirujuk ke RSA yang bertipe C. Kemudian berbekal surat rujuk pengantar, diteruskan ke RSUS yang bertipe B. Seandainya saya tidak menggunakan kartu BPJS Kesehatan kala melakukan penangan terhadap diagnosa penyakit ini, sudah pasti dana yang harus saya keluarkan mencapai ratusan ribu bahkan mungkin satu jutaan.

Tetapi, dengan menggunakan kartu BPJS Kesehatan – saya (tetap) mengeluarkan biaya. Hanya saja, biayanya tak sampai berdigit enam-lah. Artinya biaya untuk check-up dan obat-obatan bisa diminimalkan.

Meskipun demikian, program BPJS Kesehatan bukan tanpa kekurangan. Saya mencoba fair – berimbang ketika sedari awal memutuskan untuk berbagi pengalaman seputar menggunakan kartu BPJS Kesehatan selama penanganan diagnosa penyakit lupus saya. Paling terasa ialah mengenai cek darah imunoserologi, yang mana pasien yang bersangkutan harus membiayai sendiri cek darah tersebut dan biayanya memang tidak murah.

Lebih jauh lagi mengenai lupus atau SLE, faktanya penyakit satu ini sesungguhnya tergolong penyakit mematikan. Tingkat keganasannya setara dengan penyakit kanker yang menggerogoti tubuh bagian dalam dari pengidapnya. Perbedaannya, penyakit kanker telah akrab dikalangan masyarakat kita. Mereka tahu bahwa penyakit kanker ialah penyakit kelas berat. Biaya pengobatan untuk penyakit kanker tidaklah ringan. Namun, seorang pengidap kanker masih memiliki kans untuk menyembuhkan penyakitnya itu.

Sebaliknya dengan penyakit lupus atau SLE. Masih banyak masyarakat kita yang tidak tahu mengenai penyakit ini. Lalu berbeda dengan kanker, lupus atau SLE sampai detik ini masihlah belum bisa disembuhkan. Sehingga yang bisa dilakukan oleh odapus ialah mengontrol dirinya untuk tetap seimbang. Dalam artian seimbang dalam hal fisik, psikis dan jiwa.

Menurut penuturan seorang teman yang kerabatnya seorang odapus (ringan), untuk satu kali kontrol ke dokter plus menebus obat-obatannya memerlukan biaya sekitar Rp 900 ribuan. Jika telah mencapai tahap parah – yang saking parahnya sampai harus menjalani operasi dan diopname di rumah sakit – bisa dibayangkan betapa besar biaya yang harus ditanggung oleh keluarga si pengidap lupus tadi. Penyakit lupus atau SLE, dalam fasenya yang parah – sampai menyerang organ tubuh seperti ginjal dari si penderita sendiri.

Jadi inilah sedikit saran dari saya mengenai program BPJS Kesehatan. Supaya bisa memberi perhatian lebih kepada penyakit lupus atau SLE; meningkatkan dan memperlengkapi serta mengcover pembiayaan cek penyakit dan pengobatan dari penderita odapus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun