Ibu petugas menjawab iya. “Surat rujuk dari puskemasnya nggak apa-apa. Ntar pas minggu depan kesini masih bisa dipakai,” tambahnya lagi. Seminggu kemudian, sesuai dengan tanggal pengaktifan yang tercantum di kartu, saya kembali lagi ke RSA dan kali ini, proses pendaftaran BPJS saya lancar. Tapi, saya baru tahu jika di RSA tidak memiliki fasilitas laboratorium untuk mengecek darah yang berhubungan dengan diagnosa penyakit lupus (SLE). Seorang dokter, kenalan saya yang bekerja di RSA-lah yang menginformasikan hal tersebut kepada saya.
Ia mengatakan bahwa di rumah sakit tipe B-lah baru bisa dilakukan pengecekan darah untuk kepentingan diagnosa sakit lupus (SLE). Rumah sakit tipe B yang ada di Bandarlampung hanya dua, yaitu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abdoel Moeloek dan Rumah Sakit Urip Sumaoharjo (RSUS). Sisanya, termasuk RSA merupakan rumah sakit tipe C. Mendapati informasi itu, yang tercetus dalam hati ialah kalimat “waduh, ternyata di RSA nggak bisa ya. Kalau dirujuk ke Abdoel Moeloek, saya tidak mau.”
Sepertinya kenalan saya yang dokter di RSA itu membaca kekhawatiran yang meliputi wajah saya. Dia pun berkata demikian,”Pakai BPJS kan ? Gini aja. Nggak apa-apa minta periksa disini, terus nanti dari internis di Advent minta surat rujuk ke internis di Urip.”
“Oh ya, ya. Begitu bisa ya om ?” Tanya saya guna lebih menyakinkan akan solusi tersebut. Kenalan saya, yang saya panggil Om Lisal menyatakan bisa. Ia pun memberi kode supaya saya mengikutinya ke meja informasi; disitu, ia menanyakan internis yang sedang praktek kepada perawat yang bertugas. Setelah mendapatkan nama internis yang praktek, ia mewanti-wanti sekali lagi ke saya begini; “Internisnya dokter Yuni. Ntar kamu bilang soal diagnosa SLE-nya terus minta surat rujuk ke Urip.” Saya pun menggangguk, pertanda paham.
Ada satu jam saya menunggu, sebelum dipanggil masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Dokter Yuni, internis yang memeriksa – lebih dulu bertanya mengenai keluhan penyakit yang saya alami. Ketika saya sampaikan bahwa saya didiagnosa lupus, ia pun bertanya lebih lanjut sambil menjelaskan mengenai gejala-gejala lupus. Kata dia, ada 11 macam gejala lupus dan apabila seseorang mengidap atau mengalami 4 dari 11 gejala tadi, kemungkinan besar orang tersebut menderita penyakit lupus. Dokter Yuni menjelaskan hal tersebut kepada saya, supaya lebih memastikan agar pengecekan darah yang saya lakukan (guna memastikan diagnosa lupus tadi positif atau negatif) tidaklah sia-sia. “Tes darah untuk lupus itu harganya lumayan mahal,” terangnya kepada saya.
“Tapi kalau memang mau tes darah ini, ya tak apa-apa. Supaya lebih jelas hasilnya,” Sambungnya sembari menuliskan sepucuk surat rujuk ke RSUS. Ucapan dokter Yuni mengenai tes darah untuk memastikan diagnosa lupus – yang tidak murah itu memang benar. Saat saya pada akhirnya menjalani (juga) cek darah tadi, saya diberitahu dulu oleh petugas laboratorium di RSUS mengenai prosedur termasuk biaya yang harus saya bayarkan.
Selama di RSUS, internis yang menangani saya ialah dokter Ridhuan Irawan, Sp. PD. Dia merujuk saya untuk menjalani cek darah imunoserologi yang bernama anti DS-DNA. Guna kepentingan kepastian diagnosa lupus ini, sebenarnya ada tiga jenis cek darah yang saya jalani dimana dua jenis cek darah – dengan menggunakan kartu BPJS Kesehatan – saya tidak dibebankan biaya. Sedangkan untuk satu jenis cek darah (imunoserologi), saya diwajibkan membayar karena rupanya untuk satu jenis cek darah itu – tidak dicover oleh program BPJS Kesehatan.
Yah; berhubung ini soal kepastian diagnosa penyakit, soal kesehatan tubuh saya, soal nyawa saya – maka ayolah. Saya sanggupi membayar biaya cek darah imunoserologi tadi di laboratorium RSUS sebesar hampir Rp 500 ribu. “Hasil cek darahnya baru bisa diketahui seminggu kemudian. Jadi ibu datang ke sini (RSUS) seminggu (Senin pekan depan) lagi,” Si petugas laboratorium menjelaskan. Dokter Ridhuan juga menyatakan hal yang sama dan sebelum pulang, saya menerima diagnosa SLE darinya plus saya diresepkan tiga macam obat untuk penyakit tersebut. Nama ketiga macam obat itu masih saya ingat hingga detil ini, antara lain: Methylprendisolon, Natrium Diklofenac, dan Rebamipid. Khusus Natrium Diklofenac, saya takkan melupakannya. Ukuran obatnya bulat kecil namun ketika menyentuh lidah, segera tercecap rasa pahit. Obat-obatan yang diresepkan olehnya (dokter Ridhuan) tadi, saya peroleh secara gratis karena menggunakan kartu BPJS Kesehatan.
*
Seminggu kemudian, sebagaimana yang telah diinformasikan oleh petugas laboratorium RSUS dan dokter Ridhuan, saya kembali datang ke RSUS guna mengetahui hasil cek darah imunoserologinya. Seminggu yang galau menanti tibanya hari Senin itu. Ada rasa cemas yang menjalar disekujur tubuh dan saraf saya. Bagaimana jika begini, bagaimana jika hasilnya tak sesuai yang saya harapkan, bagaimana jika…. Aah, pokoknya bagaimana-bagaimana yang lain. Tak terhindarkan pula pikiran mengenai masa depan saya seandainya…. Aah, saya berusaha menepis jauh-jauh pikiran dan perandaian-perandaian negatif tadi.
Saya sedang menunggu di kursi ruang tunggu yang merangkap koridor RSUS. Saya menunggu dipanggil ke dalam ruang pemeriksaan. Butuh waktu hingga hampir dua jam menunggu giliran saya dipanggil dan diperiksa. Kala sedang menunggu itu, saya putuskan untuk ke laboratorium RSUS guna mengambil hasil cek darah imunoserologi-nya. Petugas bagian adminitrasi laboratorium mencari amplop bertuliska nama saya diantara banyak amplop pasien yang juga melakukan cek darah disana.