Sarwo Edy Lewier
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan
Universitas Sebelas Maret
------------------------
Masalah resistensi antibiotik pada tubuh seseorang yang diakibatkan oleh mikroba atau antimicrobial resistance (AMR) disebut sebagai Silent Pandemic. Permasalahan ini di Indonesia pada akhirnya akan menjadi bom waktu, mengingat saat ini negara kita merupakan negara berkembang dengan jumlah penduduk terbanyak nomor 4 di dunia. Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun pertengahan 2024 jumlah penduduk Indonesia adalah dengan total 281.603,8 jiwa. Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia ini jika diikuti dengan lemahnya pengawasan serta tidak adanya tindakan tegas dari pemerintah terhadap penggunaan antibiotik secara tidak bijak/rasional, maka akan bertambah pula peluang munculnya Silent Pandemic dengan cepat, dimana bakteri memiliki peluang lebih besar untuk beradaptasi dan mengembangkan mekanisme pertahanan yang membuat mereka kebal terhadap obat antibiotik tersebut, yang berarti infeksi pada tubuh individu/hewan/tumbuhan tidak dapat disembuhkan dengan menggunakan antibiotik yang sudah ada saat ini.
Masalah resistensi antibiotik (AMR) kini menjadi isu kesehatan global yang semakin mengkhawatirkan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), resistensi antibiotik diperkirakan akan menyebabkan lebih dari 10 juta kematian setiap tahun pada 2050 jika tidak ditangani dengan serius. Resistensi antibiotik tidak hanya mengancam kesehatan setiap individu masyarakat, tetapi juga memiliki dampak besar terhadap kesehatan lingkungan. Salah satu contoh faktor yang memperburuk masalah ini adalah sanitasi lingkungan yang buruk, yang sering kali menjadi tempat penyebaran bakteri resisten terhadap antibiotik. Hal ini tentunya dikarenakan kondisi mikroorganisme seperti bakteri, jamur, atau parasit menjadi kebal atau tidak terpengaruh oleh antibiotik yang sebelumnya efektif untuk mengobati infeksi yang mereka timbulkan. Hal tersebut mengakibatkan infeksi yang terjadi bisa semakin parah, lebih sulit diobati, meningkatkan kematian, dan meningkatkan resiko dalam operasi medis.
Menurut (Coragem, Serrano, Chambel, & Oliveira, 2024), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan tingginya tingkat resistensi antibiotik di negara-negara berkembang dan beberapa negara Afrika, yaitu faktor sosial dan ekonomi. Masyarakat pada umumnya memiliki pengetahuan yang terbatas tentang antibiotik dan bagaimana resistensi antibiotik bisa menyebar. Banyak antibiotik digunakan untuk mempercepat pertumbuhan pada ternak, unggas, ikan, dan sering kali ditambahkan ke produk susu untuk memperpanjang masa simpan. Rumah tangga, ternak, dan unggas sering berbagi habitat, ditambah dengan kebiasaan kebersihan yang buruk, dapat memperburuk situasi tersebut. Air yang digunakan bersama oleh manusia dan hewan, kepadatan penduduk di daerah perkotaan serta masalah antibiotik palsu dan penjualan bebas obat-obatan (antibiotik) juga berperan dalam penyebaran resistensi antibiotik. Masalah resistensi antibiotik dapat terjadi oleh beberapa faktor, faktor utamanya berkaitan dengan pencemaran lingkungan dan sanitasi yang buruk. Pencemaran lingkungan seperti limbah rumah sakit, limbah pabrik farmasi atau limbah industri lain yang mengandung antibiotik atau mikroorganisme resisten memiliki peran yang cukup besar dalam masalah ini. Hal ini terjadi karena limbah-limbah tersebut dibuang ke lingkungan tanpa pengolahan yang baik dan sesuai sehingga mencemari air dan tanah, yang menyebabkan penyebaran bakteri resisten ke lingkungan dan manusia. Selain itu, resistensi antibiotik juga dapat disebabkan oleh sanitasi yang buruk, dimana sanitasi sangat berperan penting dalam kesehatan karena mengacu pada pemeliharaan higienis. Sanitasi berhubungan erat dengan kebersihan, karena terdapat beberapa penyakit yang diakibatkan oleh lingkungan atau gaya hidup yang kurang bersih.
Indonesia saat ini jika dilihat dari produksi dan penggunaan antibiotik sampai saat ini belum dilakukan pengawasan dengan baik oleh pemerintah melalui badan pengawasan obat-obatan, begitu pula pemahaman masayarakat yang masih belum memahami dampak jangka panjang akibat penggunaan antibiotik yang tidak rasional. Di Indonesia Penggunaan antibiotik digunakan pada bidang usaha peternakan, pertanian dan bidang kesehatan medis, dimana dengan kebutuhanan antibiotik yang tinggi pada bidang usaha tersebut akan membuat produksi antibiotik dari bidang usaha kefarmasian semakin banyak sesuai permintaan pasar. Dampak produksi antibiotik yang tinggi otomatis dan tidak dikelola limbah cair hasil produksi akan berpeluang meningkatan resistensi antibiotik jika tidak dikendalikan penggunaannya dan diberi pemahaman cara penggunaan antibitok secara rasional.
Selain itu masih untuk kesehatan medis, masih banyak masyarakat yang bisa membeli antibiotik dengan jenis oral (Super Tetra, Ampicillin, dan Amoxicillin) dengan mudah di Apotek tanpa resep dokter. Mirisnya lagi di luar Pulau Jawa sendiri, seperti di Maluku, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua, antibiotik ternyata bisa didapatkan di toko klontong atau pasar dan pembelian antibiotik ini bisa dibeli dengan jumlah 1 atau 2 tablet/kapsul, merujuk dari data Hasil Survei Kesehatan Indonesia 2023 yang dikeluarkan dari Kementerian Kesehatan lebih dari 60% masyarakat mendapatkan antibiotik tanpa resep di apotek atau toko obat berizin, dan selebihnya diperoleh dari berbagai sumber termasuk dari pembelian online. Jika hal ini terus menerus terjadi dan tidak dapat dikendalikan dengan baik oleh pemerintah dengan tindakan tegas, maka Silent Pandemic tak terelakan dapat terjadi di Indonesia sebelum tahun 2050, mengingat bencana ini sangat masif dan berdampak sangat besar bagi kesehatan secara nasional, jika sudah terjadi maka akan sangat sulit dikendalikan Silent Pandemic ini. Hal yang sama seperti pandemi Covid -19 yang terjadi secara global tahun 2019, dimana banyak pasien-pasien yang tidak sembuh akibat infeksi dari virus Covid -19 yang telah resisten terhadap penggunan obat antivirus yang ada saat itu, dimana para peneliti di bidang farmasi membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menemukan antivirus berupa vaksin – vaksin yang dapat membunuh virus tersebut.
Pengawasan dan pengendalian penggunaan antibiotik di Indonesia jika tidak dikendalikan dengan ketat tentang penggunaannya sedini mungkin, maka dampak Silent Pandemic ini akan meningkat tajam dan menghasilkan angka kematian yang tinggi di Indonesia sesuai prediksi dari WHO. Adapun beberapa  hal terkait antibiotik dapat beredar dengan bebas di Indonesia, sebagai berikut :
- Murahnya obat antibiotik yang dijual dimulai dari harga Rp. 5.000/strip.
- Biaya konsultasi jasa dokter umum/spesialis yang dimulai dari harga Rp. 50.000/pasien.
- Masih terdapat penjualan obat antibiotik tanpa dengan resep dokter dan penjualan antibiotik bukan pada tempatnya seperti di pasar/toko klontong.
- Belum dipahaminya dampak tidak langsung dari penggunaan antibiotik oleh masyarakat, peternak dan petani dalam penggunaan antibiotik secara terus menerus tanpa dosis yang ditentukan.
- Banyak kegiatan usaha kefarmasian dan kesehatan  medis yang belum melakukan pengelolaan limbah cair yang masih mengandung antibiotik dengan maksimal.
- Lemahnya pengawasan dari pemerintah melalui badan pengawasan obat-obatan, instasi- instasi kesehatan, instansi lingkungan hidup (Pusat, Provinsi,Kabupaten/Kota) dan tidak ada pemberian sanksi tegas terhadap pelanggar aturan di bidang lingkungan hidup, kefarmasian dan kesehatan terkait antibiotik yang digunakan tidang dengan rasional dan terjadinya pencemaran lingkungan.
Kesehatan lingkungan yang buruk, terutama terkait dengan sanitasi yang tidak memadai, menjadi penyumbang utama dalam perkembangan resistensi antibiotik, terutama di daerah yang padat penduduk. Limbah medis yang tidak dikelola dengan baik, penggunaan antibiotik yang berlebihan di sektor pertanian dan peternakan, serta pencemaran air dan tanah oleh bakteri resisten semakin memperburuk situasi ini. Limbah medis yang mengandung antibiotik dapat memasuki sistem perairan dan tanah, menciptakan kondisi yang ideal bagi bakteri untuk berkembang dan menyebar resistensinya. Jika limbah cair tersebut tidak dikelola dengan baik, maka akan mengakibatkan pencemaran air permukaan dan airtanah yang nantinya akan membawa resistensi antibiotik dengan skala besar ke seluruh mayarakat, hewan dan tanaman yang menggunakan air tersebut. Perlunya pengelolaan limbah cair dari kegiatan usaha tersebut bertujuan agar air limbah yang telah dikelola sebelum dibuang ke lingkungan (badan air/penyiraman) dapat memenuhi syarat baku mutu yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Oleh karena itu, masalah ini harus segera diatasi oleh berbagai pihak termasuk pemerintah dengan langkah tegas dan serius demi penyelesaian masalah Silent Pandemic ini dari sumbernya. Karena tanpa penanganan yang tepat, kita akan menghadapi ancaman kesehatan yang lebih besar dimasa depan khususnya di tahun 2050. Diharapkan negara kita Indonesia bisa menjadi negara maju dan kuat karena memiliki sumber daya alam yang dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat serta memiliki sumber daya manusia yang sehat dan memliki daya tahan tubuh yang kuat terhadap bakteri-bakteri pembawa penyakit, sehingga pada tahun 2050 Indonesia akan menjadi negara maju dan tidak terdampak dari Silent Pandemic.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu mengambil langkah cepat dan efektif untuk memperbaiki hal tersebut, antara lain seperti dibawah ini :
- Peningkatan akses terhadap sanitasi yang baik dan cara hidup sehat
- Sanitasi yang buruk menjadi saluran penyebaran penyakit dan bakteri resisten. Oleh karena itu, peningkatan akses terhadap sanitasi yang layak, termasuk air bersih dan fasilitas pengelolaan limbah yang tepat, harus menjadi prioritas kebijakan pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat secara bersama-sama sesuai amanat dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sedini mungkin menggaungkan cara hidup sehat kepada masyarakat secara menyeluruh, seperti mencuci tangan dengan sabun sebelum makan/setelah beraktivitas lainnya dan memasak air hingga mendidih sebelum dikonsumsi dalam rangka pencegahan akan penyaluran mikroba resisten masuk ke tubuh.
- Meningkatkan pengelolaan limbah medis dan limbah industri farmasi
- Pemerintah harus menetapkan regulasi yang lebih ketat untuk pengelolaan limbah medis dan limbah industri farmasi, termasuk limbah antibiotik pada sektor swasta yang memproduksi antibiotik, agar pelaku usahan dapat berperan dalam pengembangan teknologi pengolahan limbah yang inovatif dalam pengelolaan limbah yang dihasilkan dengan sistem pengolahan yang memadai untuk menghindari pencemaran lingkungan.
- Penelitian pada bidang kefarmasian dan pengawasan peredaran antibiotik
- Pemerintah harus mendukung penelitian dan pengembangan dibidang kefaramasian tentang resistensi antibiotik dalam rangka membuat antibiotik baru yang berfungsi dalam mengatasi mikroba yang resisten terhadap antibiotik saat ini, serta mengawasi secara penuh penyaluran dan penggunan antibiotik dengan pengawasan ketat agar sesuai dengan peruntukannya.
- Edukasi publik tentang penggunaan antibiotik yang rasional
- Mengedukasi masyarakat dan para pelaku usaha tentang bahaya penyalahgunaan antibiotik, agar masyarakat lebih sadar akan pentingnya menggunakan antibiotik secara rasional dan memahami dampak buruk dari resistensi antibiotik pada kesehatan. Edukasi ini secara menyeluruh dimulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi serta kalangan masyarakat pada umumnya baik secara langsung atau menggunakan media publik sebagai sarana penyebaran informasi edukasi tersebut. Pemerintah perlu mengimplementasikan kebijakan yang mendorong penggunaan antibiotik yang rasional dan hanya sesuai dengan kebutuhan medis, serta mengurangi penggunaan antibiotik pada hewan ternak dan tanaman secara berlebihan.
- Jaminan Kesehatan gratis, pembatasan penggunaan antibiotik dan Sanksi
- Biaya jasa konsultasi dokter yang berkaitan dengan penggunaan obat antibiotik haruslah gratis bagi para pasien dikarenakan biaya konsultasi dokter ini merupakan salah satu faktor yang membuat masyarakat membeli antibiotik tanpa resep karena obat antibiotik yang dianggap lebih murah dibandingkan jasa konsultasi dokter. Pemerintah juga harus memastikan obat antibiotik tidak dijual secara umum tanpa resep dokter di apotek atau antibiotik hanya dapat diperoleh di Rumah sakit/Puskesmas/Klinik Kesehatan. Pemerintah wajib melakukan pembatasan penjualan antibiotik dan membuat neraca penggunaan antibiotik sehingga dapat diketahui jumlah antibiotik yang diproduksi dan digunakan setiap bulan dan tahun di Indonesia. Pemerintah harus memberikan sanksi tegas (sanksi pidana, perdata dan administrasi) bagi para pelanggar aturan penyaluran dan penggunaan antibiotik, sesuai dengan aturan yang berlaku agar tercipta efek jera terhadap para pelanggar aturan tersebut.
Dengan tindakan yang tepat dan terkoordinasi, kita dapat mencegah penyebaran resistensi antibiotik dan memastikan lingkungan yang lebih sehat bagi generasi mendatang. Disisi lain, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat diperlukan untuk menciptakan sistem penggunaan antibiotik yang rasional serta pengelolaan limbah yang mengandung antibiotik yang efektif dan berkelanjutan.
-----(Sarwo Edy Lewier - Desember 2024)-----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H