Mohon tunggu...
Nusantara Link
Nusantara Link Mohon Tunggu... Buruh - Pegawai Pasar
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Reintegrasi Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money

Polemik Kelanjutan Pelabuhan Marunda

13 Juni 2019   18:41 Diperbarui: 13 Juni 2019   19:01 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demi mencapai tujuannya, pengusaha atau perusahaan pasti memiliki etika, terlebih jika melibatkan pihak lain. Apa yang dilakukan oleh KBN terhadap KCN Marunda patut dipertanyakan tujuannya karena menghalalkan segala cara.

Hampir 15 tahun PT Karya Tekhnik Utama (KTU) menjalin kerja sama dengan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) dalam mengembangkan kawasan Marunda melalui perusahaan patungan bernama PT Karya Citra Nusantara (KCN). 

Selama hampir satu windu, kerja sama ini berlangsung tanpa ada masalah yang berarti. Akan tetapi ditengah perjanjian, tetiba KBN mengajukan perubahan komposisi saham.

Siapa lagi kalau bukan Sattar Taba, Direktur Utama KBN yang baru menjabat waktu itu, yang mengagendakan perubahan ini. Hanya saja, melalui berbagai aksi dan percobaan, pretensi yang dilancarkan oleh KBN pun tidak dapat terwujud. Melihat tidak ada lagi persoalan yang membelit, KCN pun tancap gas dengan melanjutkan pengoperasian dan pembangunan Pelabuhan Marunda.

Tak berselang lama, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menunjuk KCN untuk melakukan konsesi kegiatan pengusahaan jasa kepelabuhan di Marunda. Bagi KCN, pemberian izin ini tentu saja menjadi penambah semangat karena menggambarkan restu pemerintah terhadap KCN untuk segera merampungkan proyek strategis ini.

Namun, pemberian izin oleh Kemenhub justru menjadi celah yang langsung dimanfaatkan oleh KBN. Dengan alibi wilayah konsesi tersebut adalah haknya, perusahaan pelat merah itu menggugat KCN, KTU, dan Kemenhub ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Merasa kurang, KBN juga mempermasalahkan penandatanganan konsesi yang dilakukan oleh Direksi KCN yang tak melalui restu Rapat Umum Pemegang Saham, padahal konsesi KCN adalah suatu turunan perizinan.

Melihat hal ini, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pun ikut merespon melalui Kelompok Kerja (Pokja) IV Satgas Percepatan dan Efektivitas Kebijakan Ekonomi. Pokja IV pun sudah memanggil kedua pihak, tapi dalam pertemuan itu KBN tidak hadir. Hasil berita acara rapat mengatakan bahwa KCN merupakan Proyek Strategis Nasional.

Tidak terima hasil POKJA IV, KBN menggugat KCN dan Kemenhub. Anehnya, hanya dalam jangka waktu beberapa bulan, proses pengadilan rampung. Hasilnya, PN Jakut memenangkan gugatan KBN. Putusan PN membatalkan konsesi, meletakkan sita jaminan Pier I, II dan III, menghukum KCN dan Kemenhub sebesar Rp 773 M secara tanggung renteng. Sehingga KCN tak berhak lagi melakukan operasi, pembangunan dan pengelolaan Terminal Umum Pelabuhan Marunda.

Investasi lebih dari Rp.3 triliun Non APBD/ APBN yang dikucurkan terancam hangus begitu saja. Padahal, Pendirian  KCN dilaksanakan sesuai prosedur dan kasus ini telah diverifikasikan oleh seluruh instansi negara di Indonesia. Juniver Girsang, Kuasa Hukum KCN pun menilai jika sebenarnya KBN-lah yang bermasalah dan menjadi mitra bisnis yang tidak profesional, bukan prosedurnya.

Keputusan Presiden (Keppres) No 11 tahun 1992 yang dijadikan KBN sebagai landasan hukumnya ditafsirkan sesuai dengan kepentingan yang ingin dicapai. 

Secara harafiah, batas dalam Keppres tersebut adalah garis yang menjadi perhinggaan suatu bidang (ruang, daerah dan sebagainya) atau suatu pemisah antara dua bidang. Sehingga jika disebutkan batas sebelah Utara adalah Laut Jawa, itu berarti batasnya adalah garis pantai yang memisahkan antara daratan yang notabene adalah milik KBN dan perairan Laut Jawa yang merupakan milik negara.

Febrinaldy Darmansyah, Pengamat hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma, juga menilai gugatan KBN error in objecto. Kawasan laut yang diurug menjadi dermaga adalah mutlak wilayah kewenangan Kemenhub RI sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang. Maka tidak mengherankan jika KCN mengajukan Kasasi atas putusan pengadilan tersebut.

Akan tetapi, KBN tidak tinggal diam saja menunggu hasil Kasasi. Untuk mempengaruhi opini yang berkembang dalam masyarakat, KBN melalui kanal resminya di Youtube memposting sebuah video bertajuk Upaya KBN Selamatkan Aset Negara. Hanya saja, Juniver menemukan banyak kejanggalan karena tidak sedikit fakta yang tidak disebutkan sehingga rawan memelintir informasi.

Fakta KBN telah gagal bayar untuk menyetorkan modal dalam rangka peningkatan saham dari 15% ke 50%. Masih ada fakta bahwa KBN mengirimi surat KTU dan KCN berisi pembatalan andendum peningkatan saham dari 15% ke 50% dan kembali ke perjanjian awal yang tentunya juga tidak disebutkan.

Padahal, dalam Laporan Tahunan 2014, 2015, 2016, dan 2017 yang "dibuat sendiri" oleh KBN selalu mencantumkan dan mengakui bahwa kepemilikan saham KBN di KCN adalah sebesar 15%. Tetapi, dalam laporan tahunan 2018, KBN sudah menuliskan kepemilikan saham di KCN sebesar 50% untuk 2 juta lembar saham.

Klaim perubahan itu berpatokan dari hasil RUPSLB 28 nov 2017 yg menyetujui adendum 3, jadi mestinya sudah ada perubahan di laporan tahunan 2017. Tetapi kenapa baru dimasukkan pada laporan tahunan 2018? Jika saja hasil RUPSLB itu sah, persetujuan prinsipnya perlu ada tindak lanjut penyetoran modal terlebih dulu. Nah, kalo ga ada, brarti info yg tertera di laporan tahunan 2018 masuk kategori info bohong.

Video tersebut juga mencantumkan KTU belum melakukan kewajiban penyetoran modal sebesar Rp174 miliar rupiah. Padahal dalam kontrak ada kalimat lanjutan yang "lupa" disampaikan: Setoran atas penyertaan modal pihak kedua (dalam hal ini adalah KTU) adalah dalam bentuk pembangunan pelabuhan tahap I yang bernilai sebesar Rp.174.636.900.000.

Yang paling lucu, informasi dalam kurun 2004-2018 KBN hanya menerima pembagian deviden 3,1 miliar rupiah. KBN seharusnya tahu bahwa dalam kurun 2004-2012, tidak ada pembagian deviden karena perusahaan KCN belum beroperasi sehingga tidak ada keuntungan. Untuk mengurus perijinannya saja KCN baru selesai pada tahun 2011.

Tentu saja KBN tidak menyebutkan fakta bahwa dalam perjanjian kerja sama memiliki kewajiban untuk mengurus segala izin yang berkaitan dengan pelabuhan KCN. Pada kenyataannya, KBN sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengurus segala izin yang berkaitan dengan pelabuhan KCN.

Semoga saja pihak-pihak yang terkait dapat melihat semua faktanya dengan jernih dan dapat memberikan keputusan yang adil. Polemik gugatan lewat tipu muslihat seperti ini rasanya patut menjadi sorotan semua pihak. Jangan sampai ada korban calon investor lainnya yang mengalami nasib seperti KCN.

Sumber: medcom ; kabar24 ; kontan ; inilah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun