Secara harafiah, batas dalam Keppres tersebut adalah garis yang menjadi perhinggaan suatu bidang (ruang, daerah dan sebagainya) atau suatu pemisah antara dua bidang. Sehingga jika disebutkan batas sebelah Utara adalah Laut Jawa, itu berarti batasnya adalah garis pantai yang memisahkan antara daratan yang notabene adalah milik KBN dan perairan Laut Jawa yang merupakan milik negara.
Febrinaldy Darmansyah, Pengamat hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma, juga menilai gugatan KBN error in objecto. Kawasan laut yang diurug menjadi dermaga adalah mutlak wilayah kewenangan Kemenhub RI sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang. Maka tidak mengherankan jika KCN mengajukan Kasasi atas putusan pengadilan tersebut.
Akan tetapi, KBN tidak tinggal diam saja menunggu hasil Kasasi. Untuk mempengaruhi opini yang berkembang dalam masyarakat, KBN melalui kanal resminya di Youtube memposting sebuah video bertajuk Upaya KBN Selamatkan Aset Negara. Hanya saja, Juniver menemukan banyak kejanggalan karena tidak sedikit fakta yang tidak disebutkan sehingga rawan memelintir informasi.
Fakta KBN telah gagal bayar untuk menyetorkan modal dalam rangka peningkatan saham dari 15% ke 50%. Masih ada fakta bahwa KBN mengirimi surat KTU dan KCN berisi pembatalan andendum peningkatan saham dari 15% ke 50% dan kembali ke perjanjian awal yang tentunya juga tidak disebutkan.
Padahal, dalam Laporan Tahunan 2014, 2015, 2016, dan 2017 yang "dibuat sendiri" oleh KBN selalu mencantumkan dan mengakui bahwa kepemilikan saham KBN di KCN adalah sebesar 15%. Tetapi, dalam laporan tahunan 2018, KBN sudah menuliskan kepemilikan saham di KCN sebesar 50% untuk 2 juta lembar saham.
Klaim perubahan itu berpatokan dari hasil RUPSLB 28 nov 2017 yg menyetujui adendum 3, jadi mestinya sudah ada perubahan di laporan tahunan 2017. Tetapi kenapa baru dimasukkan pada laporan tahunan 2018? Jika saja hasil RUPSLB itu sah, persetujuan prinsipnya perlu ada tindak lanjut penyetoran modal terlebih dulu. Nah, kalo ga ada, brarti info yg tertera di laporan tahunan 2018 masuk kategori info bohong.
Video tersebut juga mencantumkan KTU belum melakukan kewajiban penyetoran modal sebesar Rp174 miliar rupiah. Padahal dalam kontrak ada kalimat lanjutan yang "lupa" disampaikan: Setoran atas penyertaan modal pihak kedua (dalam hal ini adalah KTU) adalah dalam bentuk pembangunan pelabuhan tahap I yang bernilai sebesar Rp.174.636.900.000.
Yang paling lucu, informasi dalam kurun 2004-2018 KBN hanya menerima pembagian deviden 3,1 miliar rupiah. KBN seharusnya tahu bahwa dalam kurun 2004-2012, tidak ada pembagian deviden karena perusahaan KCN belum beroperasi sehingga tidak ada keuntungan. Untuk mengurus perijinannya saja KCN baru selesai pada tahun 2011.
Tentu saja KBN tidak menyebutkan fakta bahwa dalam perjanjian kerja sama memiliki kewajiban untuk mengurus segala izin yang berkaitan dengan pelabuhan KCN. Pada kenyataannya, KBN sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengurus segala izin yang berkaitan dengan pelabuhan KCN.
Semoga saja pihak-pihak yang terkait dapat melihat semua faktanya dengan jernih dan dapat memberikan keputusan yang adil. Polemik gugatan lewat tipu muslihat seperti ini rasanya patut menjadi sorotan semua pihak. Jangan sampai ada korban calon investor lainnya yang mengalami nasib seperti KCN.
Sumber: medcom ; kabar24 ; kontan ; inilah