Untuk pertama kalinya, saya ingin terbebas dari masalah. Masalah ada, karena kita menganggapnya masalah itu ada. Dunia perkoasan mengajari saya banyak hal, dan inilah salah satu apa yang saya dapat.
Alasan mengapa universitas tercinta saya mengutus saya ke rumah sakit umum daerah di Slawi, Jawa Tengah, adalah karena belum memiliki rumah sakit pendidikan sendiri. Ada plus minusnya berkaitan dengan itu. Plusnya, kami harus berpindah-pindah ke rumah sakit mana saja, yang artinya pengalaman koas menjadi berwarna. Beragam pasien kami temui, beragam bahasa dan adat istiada kami lakoni. Dan itu memperkaya kami. Minusnya, kami tidak tahu stase apa dan di mana akan kami dapat setelah ini, karena universitas kami tidak menentukan jadwal seluruh stase koas dari awal. Kami dibayang-bayangi ketidakpastian dan ketakutan mendapat stase yang tidak enak.
Setiap akhir periode satu stase adalah minggu yang menegangkan bagi kami karena satu,:kami harus ujian, dan dua: kami mendapat pengumuman stase berikutnya. Kalau dapat stase yang hell (sebutan untuk stase yang tidak enak seperti neraka) yaa walahualam, harus diterima apa adanya. Namun kalau dapat stase yang heaven (stase yang,, yaa lumayan lah dibandingkan neraka walau tidak seenak surga)Â kami akan menikmatinya senikmat mungkin.
Saya pernah tentunya dapat stase yang hell. Dan saya stres. Saya capek. Saya menggerutu. Bagi saya, masalah apa saja ada setiap hari. Masalah mood konsulen berubah, masalah dapat penguji yang killer, masalah konsulen marah karena manajemen rumah sakit yang tidak benar (hey, padahal itu bukan salah saya), bahkan konsulen menelepon pun menjadi masalah bagi saya.Â
Saya juga pernah dapat stase yang 'katanya' heaven. Dan saya senang, karena saya bisa ditempatkan di stase seperti itu.. awalnya. Tapi kok, setelah dijalani, ternyata tidak seperti yang saya bayangkan. Tidak seenak dan sesantai katanya orang, karena saya tetap sama seperti ketika saya berada di hell.
Lalu saya mulai bertanya-tanya. Apa yang membuat orang-orang mengatakan stase saya ini heaven, sedangkan saya menjalaninya seperti di neraka? Mana heaven-nya? Ah, mereka saja yang terlalu santai, makannya bisa mengatakan stase ini enak. Ah, mereka saja yang terlalu pintar 'menjilat' konsulen. Ah, mungkin mereka ada yang punya mobil, makannya bisa dapat hati konsulen yang suka diantar-jemput. Ah, mungkin mereka begini, mungkin begitu, dan segala kemungkinan-kemungkinan lain memenuhi pikiran saya.
Saya mulai terjebak dengan pemikiran saya sendiri. "Mengapa ini terjadi padakuu!?" adalah pertanyaan setiap hari kepada Tuhan. Tingkat stres koas terlalu tinggi untuk saya sampai saya pernah berucap: "Ma, aku ingin berhenti koas". Dan mama saya hanya menjawab: "Nak, mama hanya berharap kamu bertahan".
Saya ingin bebas dari masalah. Sekarang pertanyaannya, apa itu masalah? Konsulen telpon jadi masalah? Tidak. Banyak hal kecil yang bukan masalah menjadi masalah. Sampai akhirnya saya menyadari, masalahnya ada di kepala saya ini. Masalah ada karena saya mengaggapnya itu masalah.
Dulu, saya seperti ini:
Konsulen: "Lingkan, berapa dosis Midazolam?"
Saya: (diam seribu bahasa, karena saya tidak pernah mendengar nama obat itu sebelumnya, tapi saya harus jawab. Aduh.. Ya ampun, Tuhan, kenapa aku sih yang harus ditanya? Kenapa gak teman-teman saya saja? Lagian, perasaan dari kemaren aku terus yang ditanya? Kena--)
Konsulen: "Ayo, dong Lingkan! Jangan diam saja! Kamu nih gimana sih?"
Saya: "Ma..maaf dok"
Konsulen: "Belajar lagi sana! Koas, kok, otaknya nol!"
Lalu malam itu saya menangis sejadi-jadinya karena otak saya dikatakan nol.
Saya harus bebas dari pikiran negatif saya ini. Saya harus! Cukup dengan pikiran bermasalah ini!
Lalu, sudah sekitar seminggu saya mencoba menjalani dengan pikiran yang baru. Saya mencoba menjadi...legowo. Let it go. Kalo dapat ini itu, ya sudah jalani saja. Tidak perlu ditanya mengapa, karena toh nggak ada jawabannya. Hasilnya, beban pikiran saya sedikit berkurang. Dan,, yaa sepertinya akan sering saya lakukan terutama kalau dihadapkan dengan keadaan kepepet.
Oleh karena itu, sekarang:
Konsulen: "Lingkan, berapa dosis Midazolam?"
Saya: (memakai jurus yang saya pelajari dari teman: senyam-senyum saja) "Emm... sekitar.. yaa..ehem.. yaaa.. kurang lebih 1-2 mg/kgBB ya dok kalau gak salah?" (sambil cengar-cengir)
Konsulen: "Ah, terlalu besar itu. Kamu tuh gimana sih! Gitu aja gak tahu. 0,04-0,05 mg/kgBB!!" (Wow, dia jawab sendiri!)
Saya: "Ooh, iya dok. Baik dok." (sambil mencatat dosis obat yang baru pertama kali saya dengar)
Begitulah, tidak semuanya harus dipikir. Pikiran kita harus disaring, karena kasihan otak ini menampung semua pikiran negatif, yang cenderung mematikan sel otak daripada membuatnya sehat.Â
Betapa kuat pikiran mempengaruhi hidup kita. Yang tidak ada jadi ada, yang ada jadi tidak ada. Kalau saya berpikir saya bisa menikah tahun depan, mugkin bisa terwujud kali yah.Â
:P
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI