Sementara untuk kasus kedua, saya setuju dengan salah satu komentar yang menyarankan untuk membawa sepotong percakapan asusila itu ke bagian cyber crime di kantor polisi. Tentu untuk dilakukan penyelidikan mendalam apakah chat tersebut asli atau editan. Apalagi pengirim konten tersebut adalah orang di luar instansi yang bahkan tidak menggunakan foto profil, alias akun bodong. Hal sadis seperti ini bisa menimpa siapa saja, lho.
Ah, masak iya, keputusan rektorat dipengaruhi oleh komen-komen liar dari warganet yang nyeletuk; ah Pak Kae kan sudah terkenal genit sejak dulu, atau ih Pak Kui memang dari dulu suka goda-godain kita. Kalau memang benar seperti itu, apa bedanya dengan orang-orang yang main hakim sendiri gebukin maling, Bapak-Bapak? Masa manut saja dengan manipulasi akun lambe-lambean yang mabok exposure, sih, Pak?
Atau, suudzon saya, nih, pihak kampus tidak mau terkesan lamban dalam menangani kasus ini dan tidak mau nama baiknya tercoreng. Apalagi hari-hari pendaftaran dan penerimaan mahasiswa baru. Kan, sayang kalau jumlah mahasiswanya berkurang drastis. Harus ada yang ditumbalkan ya, Pak, agar dapur tetap ngebul? Btw, kalau Bapak-Bapak ada waktu silakan nonton film Budi Pekerti, gih. Siapa tahu hati nuraninya tergerak untuk melihat kasus ini dengan lebih adul, eh adil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H