Saya adalah anak perempuan sembilan tahun waktu Bapak tak pulang pada suatu petang. Pagi itu dia berangkat kerja seperti hari-hari biasanya. Setelah sarapan dengan nasi putih lauk tempe goreng dan sambal korek dia jalan kaki ke muka gang untuk nyegat bus perusahaan. Bus itu melintas tiga kali dalam sehari, menurunkan dan menjemput para buruh di tepi jalan.
Bapak bukan satu-satunya buruh pabrik garmen di gang ini. Warga sini rata-rata ngglidhik di pabrik yang katanya milik pengusaha besar di Jakarta itu. Kata orang-orang, si empunya adalah pejabat tinggi di Senayan. Saya tak tahu di mana tepatnya Senayan itu, tapi pastilah itu sesuatu yang hebat, megah.
Dulu Ibu juga sempat jadi buruh di pabrik garmen itu. Mulanya dia berkerja jadi tukang bersih-bersih kantor dan membuatkan kopi untuk Pak Bos. Lalu, Ibu dipindah ke bagian pengemasan. Lama Ibu kerja di bagian itu. Saya ingat sering dititipkan pada tetangga kalau Ibu pulang malam untuk lembur dan kebetulan Bapak juga banyak lemburan di bagian produksi.
Namun karena hamil dan kemudian melahirkan, Ibu diberhentikan karena banyak bolos akibat sakit pendarahan dan mulai sibuk mengurus adik saya. Kelak saya tahu bahwa alasan Ibu berhenti bekerja di sana ternyata jauh lebih berat dari itu.
Saya masih ingat apa yang dikenakan Bapak di pagi terakhir saya melihatnya itu. Bapak mengenakan kaos putih berlogo perusahaan di bagian dada kiri dengan celana bahan warna abu-abu. Dia juga memakai topi yang biasa dikenakan tentara ketika gerilya. Topi berbentuk ember loreng-loreng. Sepasang sepatu bot lusuh menyembunyikan kaki yang kukunya jarang dipotong.
"Lihat, kaki bapakmu seperti kaki Cakil," begitu Ibu sering mengomel.
Kuku-kuku bapak saya adalah jenis kuku yang keras. Keras persis kemauannya. Seperti pendiriannya. Seperti giginya. Seperti harga dirinya.
Sudah berbulan-bulan ini saya mendengar pertengkaran Ibu dan Bapak. Lebih tepatnya keluhan atau omelan Ibu.
"Kamu bisa habis kalau begini terus. Melawan," suara Ibu terdengar seperti sedang menahan sesuatu.
"Cuma ini yang bisa kita lakukan. Kalau nggak melawan orang seperti kita akan terus ditindas. Ditindas sampai ke tulang-tulang," Bapak menjawab dengan dingin.
Saya yang waktu itu sedang mengerjakan PR di kamar berhenti sejenak. Saya tidak perlu menempelkan telinga ke sekat triplek yang membatasi kamar saya dengan kamar orang tua untuk menyimak apa yang sedang mereka bicarakan. Toh, dinding itu sudah setipis perut kami. Setipis peluang kami untuk lolos dari nasib buruk.
"Kamu saja, ya. Aku ndak ikutan. Mbok pikir enak punya suami pembangkang seperti kamu? Kamu sudah jadi bahan omongan di kampung sini. Mereka menyebut kamu, apa itu, provokator?"
Tak terdengar jawaban Bapak untuk beberapa jenak.
"Setiap saat aku tratapan kalau ada orang mencari kamu ke rumah ini. Nggak tahunya tukang kredit panci."
Bapak pun meledak dalam gelak. Ibu juga susul tertawa terkekeh-kekeh.
"Tukang panci sialan. Kok nggak bosen nagih ke sini."
Pada malam-malam tertentu saya mendengar sesuatu yang bukan kata-kata dari kamar orang tua saya. Sesuatu yang diselingi suara derit ranjang besi orang tua saya. Sesuatu itu membuat saya malu, jijik tetapi juga sekaligus -- entah bagaimana -- bahagia. Saya bersyukur mendapati kedua orang tua saya tetap bersama-sama dan tidak akan terpisah. Saya bersyukur mendapati mereka tetap mesra.
Jika ada hal yang saya takutkan itu adalah imajinasi buruk kanak-kanak tentang kehilangan orang tua. Salah satu, atau lebih buruk lagi, keduanya.
Teman sebaya saya yang rumahnya di gang belakang baru tahun lalu kehilangan ibunya. Ibunya mati karena sakit tifus dan rumah sakit membiarkannya meregang nyawa di bangsal bersama kere-kere lain. Sejak saat itu teman saya yang sering dipanggil Mbik itu, hidup seperti yatim piatu meski dia masih punya bapak dan seorang bibi.
Seorang anak laki-laki di kelas saya tak punya bapak karena sebuah kecelakaan kerja pada proyek pembangunan hotel di Jakarta. Jenazah ayahnya diantar pada suatu siang bolong oleh dua laki-laki berperawakan tegap dengan wajah dingin seolah membuang bangkai seekor kucing. Sepatu bot mereka menginjak-injak lantai ubin rumah teman saya itu dengan semena-mena.
Teman satu gang saya, Dahlia, setengah tak terurus setelah kedua orang tuanya bercerai. Ayahnya menikah lagi dengan wanita penyanyi dangdut dari Utara. Ibunya sibuk bekerja di salon hingga larut malam.
Saya tak sudi bernasib seperti kedua teman saya. Menjadi yatim atau piatu. Saya juga tak bisa membayangkan jika Bapak dan Ibu bertengkar lalu berpisah. Sebab hidup saya pasti akan berjalan pincang.
Di Sriwedari ada orang pincang. Kami memanggilnya Paman Sengkuni. Sebab itulah selalu peran yang dia dapat dalam pementasan wayang orang. Tokoh antagonis di kubu Kurawa. Jika sedang tidak ada jadwal manggung laki-laki separuh baya itu jaga loket karcis.
Di siang hari Paman Sengkuni membantu istrinya berjualan brambang asem dan tahu kupat di Pasar Gedhe. Dia mengangkut dagangan istrinya dengan becak yang dipancalnya dengan kaki yang panjangnya tak sama itu.
Saya sering dibawa Bapak ke warung brambang asem Mbokdhe Ginuk. Terutama saat-saat tanggal gajian. Saat-saat itulah Bapak punya sedikit uang setelah gajinya habis untuk bayar sewa bedeng dan menyicil utang di berbagai tempat. Kami menunggu Ibu yang berburu ikan yang belum lama mati di los bagian dalam. Ikan-ikan tersebut dijual murah dan biasanya penjualnya menunggu Ibu untuk mengambilnya.
Bapak jajan brambang asem atau tahu kupat selagi mengobrol dengan Paman Sengkuni, sementara saya asyik menekuni segelas wedhang gempol atau dawet ayu.
Suatu saat, kira-kira seminggu sebelum Bapak tak pulang pada suatu petang itu, saya melihat Bapak dan Paman Sengkuni mengobrol dalam suara pelan, seperti berbisik. Paman Sengkuni terlihat menoleh ke kiri dan ke kanan sesekali. Hari itu entah mengapa lebih banyak polisi dan tentara berkeliaran di pasar. Seperti ada sesuatu yang genting di kota kami.
"Kamu tau Parno, teman manggungku? Dia sudah habis. Kamu jangan gegabah. Kamu jangan ikut-ikutan penyair sinting itu. Dia sudah dalam pelarian. Lagi diburu," dagu Paman Sengkuni menunjuk polisi yang sedang berjaga di pos ketika mengucapkan kalimat terakhir.
"Saya dengar demikian. Kang Wi..."
"Husshh. Jangan sembarangan sebut namanya," bisik Paman Sengkuni dengan wajah panik. "Kamu bisa ikutan dicari."
Sebagai anak kecil, saya tidak tahu apa-apa mengenai apa yang tengah terjadi. Saya hanya tahu saat itu harga jajanan di sekolah sudah tak sama lagi. Jadi lebih mahal. Saya tak paham kenapa orang-orang lebih banyak berwajah masam akhir-akhir ini. Akan tetapi, saat itu, saat Paman Sengkuni tampak begitu mengkhawatirkan bapak saya, saya tahu ada yang tidak beres pada Bapak. Saya bisa merasakan bapak saya juga tengah ketakutan. Kecemasan itu dengan cepat menular pada saya.
Saya letakkan gelas dawet yang sudah kosong di lincak tempat saya dan Bapak duduk. Saya merapat pada Bapak. Bapak memeluk saya dengan sebelah lengannya.
Itu adalah pelukan terakhir dari Bapak sebab pada suatu petang ia tidak pulang. Tak pernah pulang. Waktu itu seingat saya tahun 1996 dan saya adalah anak perempuan sembilan tahun.Â
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H