Di Sriwedari ada orang pincang. Kami memanggilnya Paman Sengkuni. Sebab itulah selalu peran yang dia dapat dalam pementasan wayang orang. Tokoh antagonis di kubu Kurawa. Jika sedang tidak ada jadwal manggung laki-laki separuh baya itu jaga loket karcis.
Di siang hari Paman Sengkuni membantu istrinya berjualan brambang asem dan tahu kupat di Pasar Gedhe. Dia mengangkut dagangan istrinya dengan becak yang dipancalnya dengan kaki yang panjangnya tak sama itu.
Saya sering dibawa Bapak ke warung brambang asem Mbokdhe Ginuk. Terutama saat-saat tanggal gajian. Saat-saat itulah Bapak punya sedikit uang setelah gajinya habis untuk bayar sewa bedeng dan menyicil utang di berbagai tempat. Kami menunggu Ibu yang berburu ikan yang belum lama mati di los bagian dalam. Ikan-ikan tersebut dijual murah dan biasanya penjualnya menunggu Ibu untuk mengambilnya.
Bapak jajan brambang asem atau tahu kupat selagi mengobrol dengan Paman Sengkuni, sementara saya asyik menekuni segelas wedhang gempol atau dawet ayu.
Suatu saat, kira-kira seminggu sebelum Bapak tak pulang pada suatu petang itu, saya melihat Bapak dan Paman Sengkuni mengobrol dalam suara pelan, seperti berbisik. Paman Sengkuni terlihat menoleh ke kiri dan ke kanan sesekali. Hari itu entah mengapa lebih banyak polisi dan tentara berkeliaran di pasar. Seperti ada sesuatu yang genting di kota kami.
"Kamu tau Parno, teman manggungku? Dia sudah habis. Kamu jangan gegabah. Kamu jangan ikut-ikutan penyair sinting itu. Dia sudah dalam pelarian. Lagi diburu," dagu Paman Sengkuni menunjuk polisi yang sedang berjaga di pos ketika mengucapkan kalimat terakhir.
"Saya dengar demikian. Kang Wi..."
"Husshh. Jangan sembarangan sebut namanya," bisik Paman Sengkuni dengan wajah panik. "Kamu bisa ikutan dicari."
Sebagai anak kecil, saya tidak tahu apa-apa mengenai apa yang tengah terjadi. Saya hanya tahu saat itu harga jajanan di sekolah sudah tak sama lagi. Jadi lebih mahal. Saya tak paham kenapa orang-orang lebih banyak berwajah masam akhir-akhir ini. Akan tetapi, saat itu, saat Paman Sengkuni tampak begitu mengkhawatirkan bapak saya, saya tahu ada yang tidak beres pada Bapak. Saya bisa merasakan bapak saya juga tengah ketakutan. Kecemasan itu dengan cepat menular pada saya.
Saya letakkan gelas dawet yang sudah kosong di lincak tempat saya dan Bapak duduk. Saya merapat pada Bapak. Bapak memeluk saya dengan sebelah lengannya.
Itu adalah pelukan terakhir dari Bapak sebab pada suatu petang ia tidak pulang. Tak pernah pulang. Waktu itu seingat saya tahun 1996 dan saya adalah anak perempuan sembilan tahun.Â