Mohon tunggu...
Linggar Rimbawati
Linggar Rimbawati Mohon Tunggu... Guru - Tidak punya jabatan

Penulis kelahiran Jambi yang selalu rindu Solo. Manulis cerpen, puisi, dan esai ringan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Cerita Wangi: Pada Petang Itu Bapak Tak Pulang (Bag.2)

26 Juli 2024   17:25 Diperbarui: 26 Juli 2024   17:39 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu saja, ya. Aku ndak ikutan. Mbok pikir enak punya suami pembangkang seperti kamu? Kamu sudah jadi bahan omongan di kampung sini. Mereka menyebut kamu, apa itu, provokator?"

Tak terdengar jawaban Bapak untuk beberapa jenak.

"Setiap saat aku tratapan kalau ada orang mencari kamu ke rumah ini. Nggak tahunya tukang kredit panci."

Bapak pun meledak dalam gelak. Ibu juga susul tertawa terkekeh-kekeh.

"Tukang panci sialan. Kok nggak bosen nagih ke sini."

Pada malam-malam tertentu saya mendengar sesuatu yang bukan kata-kata dari kamar orang tua saya. Sesuatu yang diselingi suara derit ranjang besi orang tua saya. Sesuatu itu membuat saya malu, jijik tetapi juga sekaligus -- entah bagaimana -- bahagia. Saya bersyukur mendapati kedua orang tua saya tetap bersama-sama dan tidak akan terpisah. Saya bersyukur mendapati mereka tetap mesra.

Jika ada hal yang saya takutkan itu adalah imajinasi buruk kanak-kanak tentang kehilangan orang tua. Salah satu, atau lebih buruk lagi, keduanya.

Teman sebaya saya yang rumahnya di gang belakang baru tahun lalu kehilangan ibunya. Ibunya mati karena sakit tifus dan rumah sakit membiarkannya meregang nyawa di bangsal bersama kere-kere lain. Sejak saat itu teman saya yang sering dipanggil Mbik itu, hidup seperti yatim piatu meski dia masih punya bapak dan seorang bibi.

Seorang anak laki-laki di kelas saya tak punya bapak karena sebuah kecelakaan kerja pada proyek pembangunan hotel di Jakarta. Jenazah ayahnya diantar pada suatu siang bolong oleh dua laki-laki berperawakan tegap dengan wajah dingin seolah membuang bangkai seekor kucing. Sepatu bot mereka menginjak-injak lantai ubin rumah teman saya itu dengan semena-mena.

Teman satu gang saya, Dahlia, setengah tak terurus setelah kedua orang tuanya bercerai. Ayahnya menikah lagi dengan wanita penyanyi dangdut dari Utara. Ibunya sibuk bekerja di salon hingga larut malam.

Saya tak sudi bernasib seperti kedua teman saya. Menjadi yatim atau piatu. Saya juga tak bisa membayangkan jika Bapak dan Ibu bertengkar lalu berpisah. Sebab hidup saya pasti akan berjalan pincang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun