Jakarta, 26 Desember 2022
Kutinggalkan kamar hotel ini dengan perasaan entah. Akan selalu kuingat tempat ini, aku bersumpah. Edelweis, kamar nomor 339. Tanggal hari ini. Dan hati yang kosong serta langkahku yang terseok.
Satu tahun terakhir ini, ternyata bukan apa-apa bagi Raka. Seharusnya, aku sedikit lebih pintar. Seharusnya aku tak membiarkan diriku berada dalam situasi busuk ini.
Taksi membawaku ke pintu sebuah gedung apartemen. Aku pulang. Dalam keadaan masih perawan.
"Jadi, kalian nggak ngapa-ngapain? Lagi?"
Va menyodorkan jahe merah panas andalannya. Minuman itu yang biasa dia buat untuk mengusir pengar di kepala.
"Boro-boro mau ngapa-ngapain. Dia aja nggak datang," keluhku nelangsa. Aku menatap tanaman entah apa di luar jendela yang selalu Va rawat dengan sayang.
Va memindahkan bantal ke pangkuannya.
"Padahal gue udah beliin morning pills buat lu. Lu kan nggak mau ada sekat apapun dengan dia," Va menatapku prihatin.
Aku menatap balik Va dengan air mata mengembang. Tangisku pecah akhirnya.
"Mungkin bukan dia orangnya, Du. Bukan dia orang yang layak. Lagian, hubungan kalian salah. Lu tahu itu," Va merengkuhku dalam pelukannya.
"Kalau kalian jadi melakukannya dan itu hanya terjadi sekali, terus lu baper? Lu yakin hidup lu nggak akan hancur?"
Sialnya, Va benar. Mungkin, Raka nggak datang karena tahu aku tidak terlalu siap dengan apapun konsekuensi yang harus kuhadapi seandainya dia jadi meniduriku.
Ponselku masih sepi dari dering pesan Raka. Tidak ada pesan apapun di ruang manapun darinya sejak semalam. Benda itu sunyi belaka, sesunyi hatiku saat ini. Meski kepalaku tidak.
Jahe panas buatan Va memberi efek bagi tubuhku. Setidaknya badanku sedikit menghangat setelah tadi sesaat dihajar udara dingin pagi hari. Kusesap sedikit demi sedikit minuman itu sembari kepalaku riuh berpikir.
Va sudah kembali ke kamarnya. Dengan penuh pengertian, ia memberi waktu untukku sendiri setelah cukup menguatkanku dengan pelukan hangat bersahabat yang selalu ada untukku.
Aku masih tak berani membuka ponsel. Aku takut dengan rasa sakit yang menyerangku lagi jika mendapati tak ada siapapun yang menghubungiku. Tidak juga Raka.
Air jahe dalam gelas telah tandas. Pusing di kepalaku berangsung memudar. Aku jatuh dalam tidur singkat. Sialnya, aku masih membawa Raka ke dalam alam bawah sadarku itu.
Dalam mimpiku itu kami seperti berada di ruangan serba putih. Sebentar, bukan ruang. Melainkan sebuah hamparan serba putih. Mungkin hamparan salju. Hamparan itu sangat luas, seolah tak bertepi.
Aku menggenggam sebelah tangannya. Tangan yang kuhapal benar buku-buku jarinya, rambut halus di jemarinya dan urat-urat yang menonjol di sana. Sepotong tangan yang berwarna tembaga.
"Lepasin aku, Du," ujar Raka dalam mimpi itu.
Aku tersentak bangun tepat di saat Raka menghempaskan aku hingga genggamanku terlepas. Aku telah kembali ke dunia nyata. Aku yang sekarang ini terbaring dengan tubuh sekidit miring di sofa.
Aku tertawa kecil, dengan getir. Bahkan di dalam dunia mimpi, dia juga selalu menyakitiku. Maaf, jika aku mengeluh.
***
"Va, kita makan malam di luar aja, yuk. Gue bosen," ajakku pada Va seusai mandi sore. Aku harus memaksakan diri untuk bergerak meskipun rasanya malas sekali.
"Lu yakin udah nggak apa-apa?" Va memberiku tatapan tak yakin.
"Ya, nggak usah jauh-jauh. Makan di kafe bawah aja. Gue traktir lu kopinya, lu traktir gue tongseng kambingnya," kataku asal.
"Untung di elu, tekor di gue," kata Va sambil menoyor bahuku.
Tapi Va selalu baik di saat-saat aku sedang rapuh seperti ini. Dia bukan saja membayari tongseng kambing yang kupesan, tapi juga kopi dan lava cake untuk pencuci mulut. Malam itu kami nongkrong di kafe di lingkungan apartemen tempat kami tinggal.
Pengunjung tak sebanyak biasanya. Mungkin orang-orang masih di luar kota untuk liburan akhir tahun. Bicara mengenai liburan, terbersit ide di kepalaku.
"Va, liburan yuk. Ke mana, kek. Bali, Sumba, Padang, Yogya? Bosan di Jakarta terus. Lu masih ada sisa cuti, nggak?"
Va mengacak-acak rambut kriwilnya dengan kalut. Matanya membulat sesaat. Diseruputnya es teh leci hingga minuman itu nyaris tandas.
"Atau ke Raja Ampat? Labuan Bajo?" ujarku penuh semangat.
"Lu lupa gue ngabisin cuti buat jagain nyokap gue Agustus lalu?"
Ah. Aku membulatkan mata. Ya, aku ingat pernah melewatkan seminggu penuh di aparteman tanpa Va. Saat itu dia tengah pulang ke kampungnya di Jawa Barat untuk merawat ibunya yang sedang sakit.
Jatah cuti karyawan kantoran memang dua belas hari dalam setahun. Va sudah menghabiskan setengahnya untuk berbakti pada ibunya. Setengahnya lagi sudah dia habiskan untuk foya-foya di Bangkok beberapa bulan sebelum ibunya sakit.
"Nggak ada sisa lagi, ya," keluhku lirih.
"Lu liburan sendiri aja. Yang deket-deket gitu."
"Yang deket mah Puncak, dong?" kelakarku.
"Ya nggak apa-apa. Sekalian lu kawin kontrak ama Arab," kata Va tak kalah ngaco.
Aku gantian menoyor bahu Va dengan agak keras kali ini. "Sialan, lu."
Va melambaikan tangannya di udara untuk meminta jeda sesaat. Dikeluarkannya ponsel dari saku dan ia mulai menggulirnya. Beberapa saat kemudian Va menunjukkan sesuatu padaku.
"Kamu bisa ke sini. Ubud. Bali, bok.Nginap di sini," kata Va antusias. "Bali lagi butuh banyak kunjungan wisatawan lokal untuk recovery."Â
"Selaras Ecolodge? Namanya terdengar ..."
Aku tak menemukan kata yang tepat. Tetapi, entah bagaimana aku merasakan sesuatu ketika menyebut atau mendengar kata 'selaras.'
"Iya. Ini penginapan lama sih di Ubud. Tapi diskonna gila-gilaan. Teman kantorku  baru saja ada tugas di Sumbawa dan dia mampir ke Bali untuk jalan-jalan. Dia nginep di tempat ini. Konsepnya spiritual balance gitu. Lihat kan, banyak patung goddess gitu?"
Kutekan tombol follow pada akun Instagram @selarasecolodge begitu aku menemukannya di media sosial paling populer itu. Seperti kata Va, penginapan ini mengusung konsep 'keseimbangan spriritual'. Bahkan para tamu bisa ikut kelas meditasi dan dipandu untuk melukat di sebuah petirtaan.
Sifat impulsifku tertantang untuk melakukan petualangan di sini. Malam itu juga aku memesan sebuah kamar deluxe untuk tiga hari di Selaras. Va membantu menemukan penerbangan paling pagi dengan harga miring.
"Dari Denpasar ke ubud itu makan waktu berjam-jam, Va. Belum kalau travelnya ngaret atau jalanan macet. Percaya sama gue, lu akan sampe di Selaras tepat saat jam check in," ujar Va berbusa-busa.
Aku mengangkat bahu sambil membongkar koper yang kemarin kubawa ke hotel untuk rencana berbuat dosa dengan Raka. Koper itu tadinya berisi banyak koleksi lingerie dan baju-baju seksi.
"Setidaknya cuti gue nggak sia-sia, sih. Nggak apa-apa masih perawan, yang penting liburan," kataku asal.
"Eh, jangan keluarin semua lingerie lu gimana? Bawa satu atau dua gitu?"
Aku menatap Va heran. Sedang Va memberiku tatapan jahil.
"Lu pikir gue mau one night stand sama apaan? Semprotan toilet?"
"Heh! Sapa tahu ketemu cowok asyik di bandara, atau ekspatriat muda yang lagi healing di sana? Who knows! Rejeki nggak ada yang tahu," kata Va tak mau kalah.
"Ah, ngaco, lu!" Kukeluarkan semua baju haram dari koper dan menggantinya dengan pakian-pakaian kasual untuk liburan.
***
Seharusnya aku tidur usai berkemas. Menyimpan energi untuk besok pagi. Tetapi, kepalaku terlalu riuh untuk bisa terlelap. Alhasil yang kulakukan adalah menggulir media sosial untuk membunuh bosan. Lupakan tentang membaca novel tipis untuk menghadirkan kantuk. Sudah tiga tahun aku tak membaca buku apapun kecuali modul perusahaan.
Pada satu titik, kadang aku merasa kehilangan diriku yang dulu. Aku tak tahu lagi siapa diriku saat ini. Tiga tahun menyelami dunia korporasi membuatku menjadi manusia robot.
Tidak ada lagi waktu untuk bengong pagi-pagi sambil menyeruput kopi di balkon apartemen. Aku tak pernah lagi berlama-lama di kamar mandi sambil menyenandungkan puisi.
Aku berubah jadi makhluk terjadwal dan serba cepat. Bangun sebelum subuh setiap hari untuk memasak sarapan dan bekal makan siang. Mengejar jadwal kereta atau bus kota kalau tak mau terlambat sampai kantor dan mendapat teguran keras. Menghadiri rapat demi rapat dan mengerjakan laporan hingga lewat jam kerja.
Semuanya demi apa?
"Orang sukses itu ya dilihat dari nominal gajinya, jabatan di tempat kerja, rumah dan keluarga untuk pulang," kata Mbak Ratih suatu kali.
"Kita ini sekolah sampai jadi sarjana kan tujuannya untuk dapetin itu semua, kan, Du. Jangan bilang kuliah itu untuk iseng-iseng," tambahnya sambil mengaduk tumis cumi di wajan.
Aku sedang pulang kampung waktu itu. Skripsiku macet satu semester dan aku kehabisan stok minat untuk meneruskannya. Aku pulang dalam rangka mengisi ulang baterai semangatku.
"Lihat Mbak, lihat kehidupan yang Mbak miliki. Menjadi guru PNS di desa. Itu udah bagus banget. Meskipun suami Mbak bukan sarjana, tapi setidaknya punya kebun yang dia garap. Mau cari apalagi?"
"Setelah lulus nanti, kamu mau balik ke sini dan cari kerja di sini, kan, Du? Cari suami orang sini aja. Nggak ribet. Banyak kok, yang nanyain ke Ibu. Kamu tinggal tunjuk aja mau yang mana," kekeh Mbak Ratih.
Entahlah. Aku merasa semua yang ditawarkan kakakku itu terlalu mudah. Kakakku tidak salah memilih cara aman untuk membentuk kehidupannya. Tetapi, aku punya keinginan berbeda. Meskipun aku belum tahu seperti apa warna dan bentuknya.
Aku ingat pernah menyabotase sesuatu yang mungkin menentukan masa depanku. Aku sengaja tak mengerjakan soal-soal pada seleksi masuk perguruan tinggi. Waktu itu apa, ya, namanya? SPMB?
Sudah lama aku berimajinasi pergi ke tempat yang tak pernah kukunjungi sebelumnya. Tinggal di kota yang tak seorangpun kenal denganku. Ide menjadi manusia baru sudah memenuhi kepalaku sejak kelas dua SMA.
Akan tetapi, lahir sebagai anak bungsu di keluarga, aku terbiasa dikhawatirkan, diremehkan sekaligus dimanjakan. Keluarga menghendaki aku kuliah di kota provinsi saja. Di Palembang. Hanya tiga atau empat jam dari rumah. Orang tua bisa dengan mudah mengunjungiku di kost dua minggu sekali. Membawakan kering tempe dan kentang yang bisa disimpan berhari-hari. Dan hal-hal semacam itu.
Itu mengerikan buatku. Itu bukan bayangan kehidupan mahasiswa yang kuinginkan. Aku ingin bebas. Aku ingin bisa mengendalikan hidupku. Aku ingin pergi ke manapun yang kumau. Aku ingin melakukan apapun yang kusuka. Tanpa rasa khawatir dan bersalah.
Aku menang sebab namaku tak ada dalam daftar calon mahasiswa yang diterima di peguruan tinggi negeri di Palembang. Terang saja, aku memang sengaja mengosongkan jawaban beberapa soal. Tetapi, pertarungan belum usai.
"Ya sudah, kampus swasta di Palembang kan banyak. Kalau mau, kamu bisa coba lagi tes masuk PTN tahun depan. Kalau masih gagal, paling nggak kuliah kamu udah jalan dua semester," lagi-lagi Mbak Ratih mendikteku.
Aku lupa bagaimana caranya menang berdebat lawan Mbak Ratih waktu itu. Yang jelas, Bapak ada di pihakku. Ia menyetujui permintaanku kuliah di kampus swasta di Solo. Dan menanggung segala biayanya, tentu saja.
Di kota dengan dua nama itu aku benar-benar menemukan kehidupan baru. Kehidupan yang menantang dan membebaskan. Sekaligus membuatku tersesat.
Ya, kebebasan rupanya bisa menyesatkan seseorang.
Karena jauh dari pengawasan orang tua, aku suka-suka saja menjalani kehidupan kuliahku. Jangankan berkegiatan di organisasi kampus, datang ke kampus saja aku malas. Aku banyak menghabiskan waktuku untuk membaca novel-novel yang kusukai.
Aku menamatkan semua serial Harry Potter hanya dalam hitungan minggu, melanjutkan petualangan bersama Sherlock Holmes dan Agatha Christie tanpa peduli tugas-tugas presentasi.
Semester pertama hingga ketiga aku seperti bukan mahasiswa, melainkan hantu perpustakaan yang tersesat di dunia fiksi dan lupa jalan pulang pada kenyataan.
Kisah-kisah detektif dan novel fantasi telah membosankanku. Aku mulai membaca novel-novel percintaan. Pilihan jatuh pada sekuel Empress Orchid. Sayangnya, novel itu menginspirasiku untuk menjadi selir yang penuh intrik.
Jiwa impulsive dan petualangku menemukan medannya saat aku bertemu Prof. Erlangga. Ia mengajar pada mata kuliah-mata muliah sastra. Seharusnya aku bertemu dia di semester dua pada mata kuliah Introduction to Literature.
Namun, aku melewatkan mata kuliah itu dan baru mengambilnya di semester empat. Profesor Erlangga memenuhi imajinasiku akan sosok sugar daddy berpenampilan parlente dan cerdas.
Aku jatuh cinta padanya, tanpa aba-aba dan secara konyol. Untung saja usahaku untuk flirting itu mendapat sambutan yang menyenangkan.
"Gila, kamu, Du. Jangan macam-macam deh dengan suami orang. Kamu siap disemprot istrinya, emang?"
"Ya kali aku mau bikin pengumuman kalau jadi selingkuhan Prof. Erlangga," sanggahku saat sahabatku, Yulia mengkhawatirkan sepak terjangku.
Sebenarnya istilah selingkuhan atau simpanan tidak terlalu tepat disematkan pada namaku. Sekian tahun berelasi, aku hanya menyerahkan ciuman pertama pada dosen pembimbingku itu.
"Lima tahun lu berhubungan sama dia, cuma cipokan aja? Rugi lu. Apa yang membuat kalian nggak benar-benar melakukan itu?" Va bertanya saat suatu kali kuceritakan kisahku.
Aku sekadar mengangkat bahu sebagai jawaban. Kalau saja aku sendiri tahu kenapa. Kalau saja aku sendiri tahu kenapa bercinta dengan orang yang kusuka tak bisa sesederhana yang dilakukan orang-orang.
Va, misalnya. Ia bercinta kali pertama pada usia 18 tahun. Itu dia lakukan setelah satu minggu merantau di Jakarta sebagai mahasiswa. Tidak ada ketakutan, tidak ada penyesalan. Hanya nikmat dan senang. Dan kelegaan.
Sementara aku, hingga umur kepala tiga aku masih menjadi petualang yang cupu.
*Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H