Mohon tunggu...
Linggar Kharisma
Linggar Kharisma Mohon Tunggu... Politisi - Political Scientist In Digital Creative Industry

Political Scientist

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Partai Solidaritas Indonesia, Antara Ide Liberal dan Ego Elektoral

11 Maret 2019   16:55 Diperbarui: 12 Maret 2019   09:43 1770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alih-alih melawan segala bentuk politisasi agama dengan ide-ide dan aksi revolusioner, PSI dengan bergabung menjadi koalisi pendukung Jokowi-Ma'ruf, justru turut serta melanggengkan calon-calon pemimpin dengan gagasan konservatif masuk ke wilayah publik.

Ilustrasi Politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) / Sumber Gambar: asumsi.co
Ilustrasi Politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) / Sumber Gambar: asumsi.co
Dilema Elektoral

Dalam beberapa temuan survei termutakhir, misalnya, nama PSI, merupakan satu dari beberapa partai politik yang diprediksi gagal untuk lolos ke Senayan. Hal ini menjadi logis jika mengingat angka 4% yang dijadikan patokan parliamentary threshold, terbilang cukup tinggi untuk partai baru sekelas PSI.

Hasil riset PolMark Indonesia pada Februari 2019 lalu bisa kita jadikan contoh. Menurut lembaga survei milik Eep Saefulloh Fatah ini PSI pada perhelatan pemilu legislatif April mendatang hanya akan menduduki posisi lima partai terbawah dengan perolehan suara tak lebih dari 1% (0.6%). 

Melalui survei berbeda yang dilakukan oleh Indikator pada Januari 2019, misalnya, perolehan suara PSI juga diprediksi masih menduduki peringkat terendah, dengan capaian 0.4%, satu strip di atas Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang mendapat suara 0.3%.

Adanya beban elektoral yang tinggi, memang merupakan salah satu tantangan terbesar bagi PSI. Hidup di tengah iklim politik yang menurut Dan Slater didominasi oleh kartel yang gemar bagi-bagi jabatan (spoils of office) dengan mengesampingkan ideologi dan konsep kebijakan hidup-mati PSI dalam kancah politik bukan lagi sekadar ditentukan oleh lahirnya ide-ide progresif semata, melainkan juga karena adanya lobi-lobi yang menghasilkan pragmatisme politik.

Walhasil, hari-hari belakangan ini PSI seolah mengalami dilema psikologis yang kemudian menjadikannya sebagai partai politik serba tanggung. Terkesan kurang matang dalam menyiapkan citra, finalisasi ide, dan juga kalkulasi aksi. 

Di satu sisi ingin melabeli diri sebagai partai politik yang mengusung ideologi tertentu dan diisi kelompok muda progresif dengan gagasan-gagasan revolusioner. Namun pada sisi yang lain, masih bersandar pada berbagai pertimbangan yang sifatnya konservatif.

Tentu semua pilihan itu berpulang kembali pada prioritas politik PSI, sebagai sebuah partai. Andai saja kemudian ia memilih untuk berkompromi dengan realitas politik yang ada dengan banyak melakukan lobi-lobi dan oportunisme politik PSI mungkin akan kehilangan daya tarik "kemudaan" mereka sebagai pembeda. 

Namun apabila ia dengan segera berani untuk mengambil risiko elektoral dan mementingkan kualitas nilai yang ditawarkan mungkin saja PSI akan menjadi the real partai alternatif terbaik di tengah kepenatan dan kebisingan politik beberapa tahun terakhir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun