Sebagai sebuah kekuatan politik alternatif, lahirnya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam jagad politik nasional,memang memiliki kekhasannya tersendiri. Mendistingsi citra dengan partai politik lawas merupakan salah satu ciri dari partai yang acap "menjual" kelompok muda, sebagai bagian dari revolusi kaderisasi kepartaian yang lama dikenal kolot nan elitis.
Hadirnya PSI dalam gelanggang politik juga lekat dipengaruhi oleh akar-akar sosial yang sedang berlangsung. Di tengah fenomena surplus demografi yang kerap disanjung oleh beberapa pakar ekonomi nasional sebagai roda penggerak kemajuan dan meningkatnya jumlah kelas menengah di Indonesia (6.5% sejak 2011).
Upaya mewujudkan sebuah moda politik yang menyasar kelompok milenial dan mapan dalam hal ekonomi, merupakan sebuah keniscayaan yang mesti ditempuh para elite politik demi meraup suara. Namun seberapa efektifkah dua gejala tersebut dalam mendorong elektabilitas PSI di mata rakyat?
Partai Liberal Gagap
Berbeda dengan akronim pendahulunya (PSI: Partai Sosialis Indonesia) yang mengusung nilai-nilai sosialisme sebagai kredo partai, PSI yang eksis hari ini lebih condong untuk menyokong nilai-nilai liberal-sekuler sebagai dasar ideologinya.Â
Pendapukan Grace Natalie (yang memiliki status triple minority: wanita, tionghoa, kristen) sebagai ketua umum partai merupakan wujud nyata bahwa PSI adalah partai yang plural dan inklusif.
Slogan antikorupsi dan anti-intoleransi yang marak disosialisasikan oleh para kader PSI pun bisa kita jadikan acuan bahwa PSI berkomitmen penuh untuk taat dan patuh pada asas-asas hak asasi manusia dengan berperan aktif melindungi hak-hak kelompok minoritas tertindas (LGBTQ, Syiah, Ahmadiyah, kelompok aliran kepercayaan, dsb).
Di sektor ekonomi juga narasi yang dilantangkan PSI cenderung seragam. Mendukung upaya peningkatan ekspor, seraya abai pada proses distribusi kekayaan dan bahkan lahan.Â
Dalam kampanye dukungan terhadap industri sawit, misalnya, PSI lebih fokus pada kalkulasi untung-rugi devisa hasil sawit, yang ironisnya menurut catatan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) lebih banyak disimpan di negara-negara suaka pajak. PSI bahkan terkesan acuh, pada dampak lebih luas dari industri sawit bagi lingkungan, yang jelas menjadi penyebab kebakaran di berbagai kawasan ekosistem rawa gambut.
Pada contoh kasus lain, inkonsistensi gagasan liberal-sekuler yang samar-samar dipraktikan PSI menemui paradoksnya. Dukungan politik atas pendaulatan KH. Ma'ruf Amin, sebagai calon wakil presiden pendamping Joko Widodo merupakan sebuah antitesis dari nilai-nilai sekuler yang diusung oleh PSI.
Sudah barang tentu berkebalikan dengan slogan antipoligami dan antiperda syariat, sebagai upaya resistensi melawan konservatisme keagamaan masuk ke dalam ranah politik kenegaraan.Â
Alih-alih melawan segala bentuk politisasi agama dengan ide-ide dan aksi revolusioner, PSI dengan bergabung menjadi koalisi pendukung Jokowi-Ma'ruf, justru turut serta melanggengkan calon-calon pemimpin dengan gagasan konservatif masuk ke wilayah publik.
Dalam beberapa temuan survei termutakhir, misalnya, nama PSI, merupakan satu dari beberapa partai politik yang diprediksi gagal untuk lolos ke Senayan. Hal ini menjadi logis jika mengingat angka 4% yang dijadikan patokan parliamentary threshold, terbilang cukup tinggi untuk partai baru sekelas PSI.
Hasil riset PolMark Indonesia pada Februari 2019 lalu bisa kita jadikan contoh. Menurut lembaga survei milik Eep Saefulloh Fatah ini PSI pada perhelatan pemilu legislatif April mendatang hanya akan menduduki posisi lima partai terbawah dengan perolehan suara tak lebih dari 1% (0.6%).Â
Melalui survei berbeda yang dilakukan oleh Indikator pada Januari 2019, misalnya, perolehan suara PSI juga diprediksi masih menduduki peringkat terendah, dengan capaian 0.4%, satu strip di atas Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang mendapat suara 0.3%.
Adanya beban elektoral yang tinggi, memang merupakan salah satu tantangan terbesar bagi PSI. Hidup di tengah iklim politik yang menurut Dan Slater didominasi oleh kartel yang gemar bagi-bagi jabatan (spoils of office)Â dengan mengesampingkan ideologi dan konsep kebijakan hidup-mati PSI dalam kancah politik bukan lagi sekadar ditentukan oleh lahirnya ide-ide progresif semata, melainkan juga karena adanya lobi-lobi yang menghasilkan pragmatisme politik.
Walhasil, hari-hari belakangan ini PSI seolah mengalami dilema psikologis yang kemudian menjadikannya sebagai partai politik serba tanggung. Terkesan kurang matang dalam menyiapkan citra, finalisasi ide, dan juga kalkulasi aksi.Â
Di satu sisi ingin melabeli diri sebagai partai politik yang mengusung ideologi tertentu dan diisi kelompok muda progresif dengan gagasan-gagasan revolusioner. Namun pada sisi yang lain, masih bersandar pada berbagai pertimbangan yang sifatnya konservatif.
Tentu semua pilihan itu berpulang kembali pada prioritas politik PSI, sebagai sebuah partai. Andai saja kemudian ia memilih untuk berkompromi dengan realitas politik yang ada dengan banyak melakukan lobi-lobi dan oportunisme politik PSI mungkin akan kehilangan daya tarik "kemudaan" mereka sebagai pembeda.Â
Namun apabila ia dengan segera berani untuk mengambil risiko elektoral dan mementingkan kualitas nilai yang ditawarkan mungkin saja PSI akan menjadi the real partai alternatif terbaik di tengah kepenatan dan kebisingan politik beberapa tahun terakhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H