Bahkan dalam taraf tertentu, kalau kondisi ini bertahan hingga tahun depan, bukan hal yang mustahil pemenang kontestasi seakbar Pilpres, dimenangkan oleh kelompok masyarakat yang tak menggunakan hak pilihnya.
Sebab data mengenai partisipasi pemilih di hajatan demokrasi seperti Pilpres, menujukkan tren yang cukup jelas. Adanya penurunan tingkat partisipasi di tiap Pemilu, tahun 2004 (84.1%), 2009 (71.17%), dan Pemilu 2014 (69.58%), juga berarti menandakan adanya kenaikan angka tidak memilih dari 15.9% di tahun 2004, ke 28.3% pada tahun 2009, hingga 30.42% saat Pemilu 2014.
Meskipun kita sama-sama menyadari, bahwa pilihan untuk tak memilih juga merupakan hak konstitusional setiap warga negara yang patut dihormati.
Oleh karena itu, sudah selaiknya publik (atau khususnya saya menyebut massa jenuh ini) diberikan varian calon alternatif. Agar kita tak terus menghardik kelompok tak memilih, dan meratapi hal itu karena jumlahnya yang kian banyak. Dengan terus mendorong aspirasi aktif masyarakat bawah, agar partai-partai politik yang ada dapat menghadirkan pilihan-pilihan tokoh baru untuk kontestasi tahun depan.
Semua hal itu dilakukan demi terus terawatnya iklim demokrasi yang sehat. Juga demi menghadirkan regenerasi kepemimpinan politik, yang mampu mewujudkan tokoh dengan rekam jejak prestasi mumpuni, dan mampu membawa gagasan-gagasan besar bagi bangsa, yang saya rasa kini sedang mengalami defisit pemikiran.
Jadi, bukan hanya sekadar untuk berupaya mencegah terpilihnya kembali pemimpin, yang hanya dapat mengucapkan mantra pembangunan, dengan topangan staf khusus dalam jumlah besar. Dan di saat yang sama, abai pada bersemainya akal sehat dalam mengelola negara cum pemerintahan, karena terbatasnya kosakata yang dimiliki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H