Tentu saya bayangkan hari-hari belakangan ini, perasaan seorang Ridwan Kamil sedang dilanda ketidaktentuan. Bunga tidurnya, tak seindah dekorasi taman-taman kota yang ia bangun. Pun dengan pikirannya yang sudah barang tentu tak sedingin udara khas bumi Pasundan yang menyejukkan itu.
Selain karena masih dipusingkan dalam menentukan bakal calon wakil gubernur dari masing-masing partai pengusungnya, kegalauan Emil, begitu ia kerap dipanggil, juga kian bertambah seiring solidnya kekuatan calon lawan-lawan politiknya di Pilkada Jawa Barat.
Hingga saat ini, secara hitung-hitungan kalkulasi dukungan, sebenarnya Emil sudah bisa diusung secara pasti sebagai calon gubernur Jawa Barat periode 2018-2023. Berbekal dukungan koalisi yang dibangun oleh Nasdem (5 kursi), PKB (7 kursi), PPP (9 kursi), dan juga Hanura (3 kursi), sebenarnya sudah cukup untuk menjadikan Ridwan Kamil melangkah mulus di Pilkada Jawa Barat. Mengingat untuk dapat diusung sebagai calon gubernur, Emil membutuhkan 20 kursi gabungan dari partai-partai pengusungnya di DPRD tingkat Provinsi.
Namun sayangnya, lobi-lobi politik yang terkesan alot dibangun Emil selama ini, nyatanya sekarang bisa menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Ancaman penarikan dukungan yang beberapa kali dikutip beberapa politisi PPP dan PKB, misalnya, menjadi rambu tanda bahaya yang perlu disikapi Emil secara hati-hati. Sebab andai itu benar terjadi, maka pengusungan Ridwan Kamil di kontestasi tahun depan terancam gagal terjadi.
Menanti Sikap PDI-P
Di saat dua koalisi kompetitor lainnya terlihat kompak, melalui deklarasi pencalonan Mayjen (Purn) Sudrajat - Ahmad Syaikhu, yang diusung Gerindra, PKS, dan PAN. Juga dengan kian niscayanya pencalonan pasangan duo D, Dedy Mizwar - Dedi Mulyadi, oleh Demokrat dan Golkar. Koalisi yang dibangun Ridwan Kamil, malah terkesan ogah-ogahan.
Hal ini juga mungkin, karena dukungan PDI-P, sebagai partai dengan perolehan kursi terbesar di tingkat Provinsi, belum menentukan sikap politiknya. Agak logis memang langkah PDI-P ini begitu ditunggu, mengingat partai-partai di belakang barisan Emil juga, merupakan deretan partai pendukung pemerintah. Sehingga, langkah taktis yang diputuskan PDI-P ke depan, tentu akan sangat mempengaruhi keberlangsungan jalannya kemitraan yang dibangun oleh partai-partai pendukung Ridwan Kamil.
Namun bagi PDI-P sendiri, sebetulnya opsi untuk memberikan dukungan kepada bakal calon di Pilkada Jawa Barat ini, mempunyai dua kemungkinan. Pertama, ikut mengusung calon-calon yang sudah ada, seperti Ridwan Kamil, Dedy Mizwar, ataupun Mayjen (Purn) Sudrajat. Ataupun dengan kemungkinan kedua, yakni dengan berketetapan hati untuk mengusung calon sendiri, di luar nama-nama yang sudah ada tadi.
Sekarang saya ajak Anda untuk sedikit berandai. Bila opsi pertama yang kelak diambil oleh PDI-P, maka dalam hemat saya, satu-satunya bakal calon yang paling besar kemungkinannya untuk diusung adalah Ridwan Kamil.
Hal ini menjadi logis, apabila mengingat pasangan Mayjen (Purn) Sudrajat - Ahmad Syaikhu, dicalonkan oleh partai-partai oposisi pemerintahan. Sementara pilihan lain untuk masuk ke dalam pusaran dukungan pasangan duo D, bukanlah keputusan yang menguntungkan bagi PDI-P, sebagai partai dengan perolehan kursi terbesar di tingkat Provinsi.
Maka andaipun PDI-P kemudian menjatuhkan pilihannya untuk mengusung Ridwan Kamil, tentu syarat yang tidak mudah harus diterima oleh partai-partai lain yang sudah terlebih dahulu mendukung Emil. Kepastian untuk meminta jatah sebagai penentu nama calon wakil gubernur pendamping Ridwan Kamil, kemudian menjadi mahar yang sepadan dengan jumlah dukungan yang diberikan. Dan sudah sewajarnya bisa diterima oleh para partai koalisi di belakang Emil.
Akan tetapi, bilamana kelak PDI-P tak mengambil opsi itu, maka langkah untuk mengajukan nama baru dan menghimpun konsolidasi politik lanjutan, menjadi langkah yang akan ditempuh.
Tetapi jika melihat sepak terjang PDI-P dalam berlaga di Pilkada, utamanya di daerah-daerah yang bukan menjadi lumbung suara, sikap main aman akan lebih condong untuk dipilih. Pengalaman kekalahan di Pilkada Jawa Barat 5 tahun lalu, tatkala mengusung calon sendiri. Pun dengan sikap yang diambil PDI-P pada Pilkada DKI lalu, juga langkah yang ditempuh PDI-P pada Pilkada Jawa Timur tahun depan, dengan mengusung kader partai sebagai calon wakil gubernur, mendampingi calon gubernur yang mapan melalui berbagai survei, maka pilihan untuk mengusung Ridwan Kamil adalah sebuah keniscayaan yang tertunda.
Dukungan Menguntungkan/Merugikan?
Bagi Ridwan Kamil, tentunya harapan dukungan yang segera dideklarasikan oleh PDI-P, akan membuat setidaknya, dirinya dapat tidur dengan nyenyak. Karena tak akan lagi dihantui oleh ragam ancaman pencabutan dukungan dari partai-partai pengusungnya. Pun apabila dengan masuknya dukungan PDI-P (20 kursi), menjadikan koalisi Nasdem, PKB, PPP, dan Hanura bubar sekalipun, dirinya masih bisa melenggang sebagai calon gubernur Jawa Barat.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah dengan dukungan yang kelak dimandatkan oleh PDI-P kepada sosok Emil, akan menguntungkan jalannya dalam meraih kursi Jawa Barat 1? Di sini kita perlu telaah kembali.
Secara politis, mungkin saja dukungan yang nanti diberikan PDI-P kepada Emil, membuat dirinya beruntung. Karena tidak perlu repot-repot lagi mengkonsolidasikan kekuatan dari partai-partai politik. Namun dari sudut pandang pemilih dan dukungan suara, pencalonan yang bakal dijatuhkan PDI-P kepada Ridwan Kamil, tentu bagi saya, akan menjadi sebuah malapetaka besar.
Kita tentu tidak bisa memungkiri, bahwa semangat konservatisme agama, belakangan ini kian mendapat tempat yang sangat lebar di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal politik pun, kontestasi ide antara kelompok nasionalis sekuler dan kelompok Islam, makin hari kian meruncing.
Dengan narasi itu pula, maka saya ingin katakan, bahwa mendapat dukungan politis dari PDI-P (yang selama ini dicitrakan sebagai partai nasionalis sekuler) di wilayah Jawa Barat, yang notabenenya memiliki komposisi 97% penduduk Muslim dan 75% suku Sunda, adalah sebuah kecelakaan.
Meski secara nyata Ridwan Kamil adalah sosok yang memenuhi kedua aspek dominan itu (Muslim dan Sunda), namun representasi nilai-nilai keislaman dan kesundaan dari sosok bernama Ridwan Kamil akan sirna begitu saja, bilamana kelak jadi diusung oleh PDI-P.
Meski saya prediksi ke depan, tensi politik identitas yang terjadi tidak sesengit seperti yang terjadi di DKI lalu, namun intensitas serangan kampanye negatif kepada para kandidat dan partai pengusung yang dinilai lekat pada keberpihakan tertentu, tetaplah akan ada. Dan pada tahap inilah, politik stigma akan bermain di Pilkada Jawa Barat.
Pada akhirnya, menurut saya, jika benar ke depan Ridwan Kamil jadi untuk dipinang dan disandingkan dengan kader PDI-P di Pilkada Jawa Barat tahun depan, maka ceruk massa pemilih yang paling mungkin untuk diambil hatinya, hanyalah suara dari kelompok nasionalis sekuler saja.
Adapun ceruk lainnya, yakni massa dengan preferensi memilih berdasarkan simbol-simbol tertentu, akan diperebutkan oleh dua pasangan kompetitor. Baik Deddy Mizwar - Dedi Mulyadi, maupun Mayjen (Purn) Sudrajat - Ahmad Syaikhu.
Jadi, untuk dapat tidur pulas dan bangun dengan segar menyambut malam pergantian tahun kali ini, nampaknya Ridwan Kamil masih akan pada sikap yang galau. Entah harus merayakannya dengan tiupan trompet suka cita, atau malah menyesalinya dengan bermuram durja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI