Akan tetapi, bilamana kelak PDI-P tak mengambil opsi itu, maka langkah untuk mengajukan nama baru dan menghimpun konsolidasi politik lanjutan, menjadi langkah yang akan ditempuh.
Tetapi jika melihat sepak terjang PDI-P dalam berlaga di Pilkada, utamanya di daerah-daerah yang bukan menjadi lumbung suara, sikap main aman akan lebih condong untuk dipilih. Pengalaman kekalahan di Pilkada Jawa Barat 5 tahun lalu, tatkala mengusung calon sendiri. Pun dengan sikap yang diambil PDI-P pada Pilkada DKI lalu, juga langkah yang ditempuh PDI-P pada Pilkada Jawa Timur tahun depan, dengan mengusung kader partai sebagai calon wakil gubernur, mendampingi calon gubernur yang mapan melalui berbagai survei, maka pilihan untuk mengusung Ridwan Kamil adalah sebuah keniscayaan yang tertunda.
Dukungan Menguntungkan/Merugikan?
Bagi Ridwan Kamil, tentunya harapan dukungan yang segera dideklarasikan oleh PDI-P, akan membuat setidaknya, dirinya dapat tidur dengan nyenyak. Karena tak akan lagi dihantui oleh ragam ancaman pencabutan dukungan dari partai-partai pengusungnya. Pun apabila dengan masuknya dukungan PDI-P (20 kursi), menjadikan koalisi Nasdem, PKB, PPP, dan Hanura bubar sekalipun, dirinya masih bisa melenggang sebagai calon gubernur Jawa Barat.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah dengan dukungan yang kelak dimandatkan oleh PDI-P kepada sosok Emil, akan menguntungkan jalannya dalam meraih kursi Jawa Barat 1? Di sini kita perlu telaah kembali.
Secara politis, mungkin saja dukungan yang nanti diberikan PDI-P kepada Emil, membuat dirinya beruntung. Karena tidak perlu repot-repot lagi mengkonsolidasikan kekuatan dari partai-partai politik. Namun dari sudut pandang pemilih dan dukungan suara, pencalonan yang bakal dijatuhkan PDI-P kepada Ridwan Kamil, tentu bagi saya, akan menjadi sebuah malapetaka besar.
Kita tentu tidak bisa memungkiri, bahwa semangat konservatisme agama, belakangan ini kian mendapat tempat yang sangat lebar di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal politik pun, kontestasi ide antara kelompok nasionalis sekuler dan kelompok Islam, makin hari kian meruncing.
Dengan narasi itu pula, maka saya ingin katakan, bahwa mendapat dukungan politis dari PDI-P (yang selama ini dicitrakan sebagai partai nasionalis sekuler) di wilayah Jawa Barat, yang notabenenya memiliki komposisi 97% penduduk Muslim dan 75% suku Sunda, adalah sebuah kecelakaan.
Meski secara nyata Ridwan Kamil adalah sosok yang memenuhi kedua aspek dominan itu (Muslim dan Sunda), namun representasi nilai-nilai keislaman dan kesundaan dari sosok bernama Ridwan Kamil akan sirna begitu saja, bilamana kelak jadi diusung oleh PDI-P.
Meski saya prediksi ke depan, tensi politik identitas yang terjadi tidak sesengit seperti yang terjadi di DKI lalu, namun intensitas serangan kampanye negatif kepada para kandidat dan partai pengusung yang dinilai lekat pada keberpihakan tertentu, tetaplah akan ada. Dan pada tahap inilah, politik stigma akan bermain di Pilkada Jawa Barat.
Pada akhirnya, menurut saya, jika benar ke depan Ridwan Kamil jadi untuk dipinang dan disandingkan dengan kader PDI-P di Pilkada Jawa Barat tahun depan, maka ceruk massa pemilih yang paling mungkin untuk diambil hatinya, hanyalah suara dari kelompok nasionalis sekuler saja.