Kacau tak karuan, merupakan kata-kata paling pas menggambarkan Sjahrir saat itu. Maklum saja, dirinya kadung menyeru seluruh pemuda di pelbagai daerah untuk berkumpul mendengar pembacaan Proklamasi yang semula direncanakan akan dibaca Soekarno. Namun apa lacur, ratusan pemuda Cirebon yang telah berkecamuk dengan lafadz ‘Merdeka’, tak dapat dibubarkan begitu saja. Maka prosesi ‘Proklamasi’ versi pemuda Cirebon, dua hari pra Proklamasi, tak bisa ditahan lagi.
Saya mengerti, tatkala hasil Pemilu menyatakan PSI yang dipimpinnya hanya mampu menyumbang 5 kursi parlemen, dengan suara tak lebih dari 2%. Sebuah kekecewaan daripara kader militan yang sebetulnya telah diprediksi Sjahrir sebelumnya.
Ia mafhum betul akan risiko menjalankan roda kaderisasi partai eksklusif, yang kerap dicap elitis oleh Tan Malaka. Namun prinsipnya yang kokoh demi menciptakan partai politik yang mengutamakan kualitas kader, dibanding kuantitas massa, mengalahkan pelbagai senyum kecut lawan-lawan politiknya.
Kekalahan yang tak serta merta diakibatkan kebijakan Sjahrir semata, lebih jauh dikarenakan kondisi sosio-ekonomi rakyat yang belum siap menerima partai politik beraliran intelek. Dengan kelas sosial, tingkat pendidikan, dan kemampuan ekonomi yang rendah, artikulasi kepentingan yang hendak disasar tentunya menjadi mentah.
Namun, saya bayangkan hari ini, di alam yang berbeda, Sjahrir tengah tersenyum sumringah. Tersenyum karena cita-cita PSI dengan sasaran kader kelas sosial menengah intelek, kini begitu mendominasi komposisi rakyat.
Kondisi di mana konsepsi the third wave ala Samuel Huntington begitu dominan pada ruang-ruang publik, yang juga diikuti dengan fenomena surplus demografi. “Tentu ini fenomena langka. Tak terjadi 100 tahun sekali,” begitu ucap ekonom Faisal Basri dalam beberapa kesempatan.
Sejatinya Bung Sjahrir paham. Mengerti bahwa fenomena yang dijelaskan pelbagai ekonom dan ilmuwan sosial lainnya ini tak tepat guna, karena hanya menciptakan borjuis-borjuis kecil yang menjelma menjadi kelas menengah yang tak acuh, nan abai akan nilai-nilai humanisme hakiki. Kehadiran mereka, tak ubahnya sekadar pelengkap angka ekonomi semata. Tak lebih.
Sejatinya Bung Sjahrir paham. Sadar bahwa senyumnya kini, menjadi senyum penuh iba. Senyum menahan tangis. Sungguhpun Bung Sjahrir mengerti. Oleh karena Sjahrir tak hanya sebuah pengecualian zaman. Sjahrir, sang peneropong zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H