“Sjahrir itu seorang yang terganggu pikirannya dan agak sinting.”
- Drs. Mohammad Hatta
Sejenak saya bayangkan, suasana sunyi yang dipecahkan lirih tangis, melanda salah satu ruang rawat pasien rumah sakit di Zurich, Swiss. Jalan-jalan protokol Jakarta yang luluh lantak seminggu setelahnya, mengiringi kepergian Bung Kecil yang begitu dicinta rakyatnya. Sepanjang perjalanan dari bandara menuju makam, salam hormat tak henti-hentinya menyambut iringan raga yang tak lagi bernyawa tersebut. Ya. Bung Sjahrir, telah berpulang.
Sjahrir memang fenomena langka. Betapa tidak, di balik postur tubuhnya yang tak sampai 1 meter 55 cm, dan berat badan tak lebih dari 45 Kg tersebut, bersemayam rasa keberanian yang terlampau melewati batasnya.
Alkisah, diceritakan kala itu Sjahrir yang tengah asyik berbincang dengan kawan-kawannya di sebuah ruangan rapat, terhenyak oleh hilir mudiknya suara dentuman bom atom yang seketika diikuti dengan padamnya listrik ruangan tersebut. Tak ayal, kejadian unpredictable tersebut membuat semua kawannya kocar-kacir mencari perlindungan di bawah meja.
Namun sesaat setelah keadaan normal, ditandai dengan listrik yang kembali menyala, alangkah terkejutnya kawan-kawan Si Bung Kecil ini melihat perangai Sjahrir yang tanpa rasa takut, tetap duduk tak beranjak di kursinya dengan wajah santai. Gila. Pikir kawan-kawannya kala itu.
Lebih dari itu, dalam perawakannya yang mungil tersebut, tersimpan sejuta pemikiran yang tak jarang muskil dipahami orang semasanya. "Sjahrir adalah sebuah pengecualian zaman". Begitu tulis Chatib Basri dalam esainya tentang Sjahrir. Di kala euforia pekik ‘Merdeka!’ yang menggelora di seputar negeri, ia tak bergeming, sekali-kali tidak.
Alam pikirnya jauh menerawang ke depan, menjelaskan bahwa kepentingan nasionalisme sebuah bangsa harus tunduk di bawah kepentingan demokrasi. Oleh karenanya, candu nasionalisme yang tengah dialami rakyat kala itu, baginya, perlu dibatasi oleh rambu-rambu demokrasi sebelum mengarah pada feodalisme yang menjadi cikal bakal totalitarianisme.
Sebagai seorang yang tumbuh kembang di pergaulan intelektual barat, Sjahrir sangat kritis terhadap totalitarianisme kanan, yaitu fasisme, juga dengan totalitarianisme kiri, yakni komunisme. Dari latar belakangnya tersebut, dapat kita ketahui pula alasan utama dirinya tak begitu suka konsepsi persatuan, yang kerap diagung-agungkan Soekarno, seseorang yang dianggap Sjahrir gandrung akan persatuan.
Bagi Sjahrir, Indonesia yang kaya akan jenis adat beserta kesukuannya, tak tepat untuk di treatment dengan sistem persatuan. Dalam prinsipnya, setiap persatuan hanya akan bersifat taktis dan temporer. Oleh karena itu, usaha-usaha untuk menyatukannya secara paksa, hanya akan menghasilkan anak-anak banci.
Logika ini juga yang pada akhirnya membawa keberpihakannya pada pilihan membentuk partai kader, dibanding partai massa yang mengandalkan agitasi semata.
Saya renungkan, hari di mana Sjahrir menemukan pergulatan hati yang cukup hebat lantaran ‘dipaksa’ pulang lebih dini oleh Hatta, kakak ideologisnya. Hatta berasumsi keberadaan Sjahrir di Indonesia lebih penting dibanding melakukan kegiatan lain di Belanda.