Mohon tunggu...
Linggar Kharisma
Linggar Kharisma Mohon Tunggu... Politisi - Political Scientist In Digital Creative Industry

Political Scientist

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Kesadaran Palsu Sosial Media

7 November 2016   17:09 Diperbarui: 7 November 2016   20:01 1706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aplikasi Sosial Media / (sumber: www.teknoologia.com)

Terus terang saya tak cukup paham dengan pola pikir beberapa kawan saya, yang mengejar popularitas dengan cara pintas. Membeli followers dan like bayaran di akun sosial media, misalnya.

Atas dalih eksistensi, mereka rela menipu kawan-kawan sosmed dan dirinya sendiri, untuk sesuatu hal semu, bernama kebanggaan pribadi. Mereka senang dipuji ketika followers sosial medianya diikuti banyak orang. Dan tentu, amat gembira bila postingannya di like atau love, ribuan orang.

Dalam terminologi Marx, sekumpulan megalomania (sebutan bagi orang yang memiliki penyakit kejiwaan berupa khayalan tentang kebesaran diri sendiri) di sosial media ini, mengidap sebuah kesadaran palsu (false consciousness).

Kesadaran palsu, secara singkat dapat dipahami sebagai sebuah fenomena dominasi laten kelas masyarakat tertentu, terhadap kelas masyarakat lain (di bawahnya), yang berlangsung (seolah-olah) alamiah tanpa disadari oleh kelas masyarakat ybs.

Misalnya, dominasi nisbi kelas borjuis atas kelas proletar. Buruh-buruh yang berkerja pada industri kapitalis, tak merasa dirinya sedang dieksploitasi oleh sebuah kekuatan besar kaum borjuis. Berbagai pilihan dalam kehidupan kelas buruh, sejatinya amat bergantung pada putusan-putusan hasil dari rumusan kepentingan dan kebijakan level atas, yang dikuasai oleh kelompok borjuis.

Dalam contoh kasus followers dan like bayaran di sosial media, kelas kapital melakukan agenda laten terselubung. Seorang pengguna akun sosial media yang memiliki pengikut dan jumlah like (dan atau love) banyak, tentu akan menyandang status ketenaran. Predikat tenar, tentu tak dapat diraih dengan mudah. 

Pada ranah inilah, kita akan masuk ke dalam konsep ekonomi. Barang yang jumlahnya terbatas, tentu akan mendapat permintaan yang tinggi. Oleh sebab itu, pengguna akun sosial media yang tidak (atau belum) tenar, akan berupaya sekuat tenaga untuk memperoleh status ketenarannya. Untuk apa? Jelas untuk meraih sebuah hal absurd, serupa kebanggaan diri.

Kapitalisme global menciptakan sebuah khayalan bernama kebanggaan, yang sengaja dijajakan untuk kelompok kelas menengah dibawahnya. Kelas borjuis mafhum betul, bahwa komoditas itu (konsep kebanggaan diri) amat diperlukan untuk mengarungi dunia sosial media era kekinian.

Logika sederhananya begini. Semakin banyak followers, akan berpotensi mengundang like/love yang banyak. Semakin banyak like/love yang didapat, maka semakin tinggi pula prestise anda. Semudah itulah sejatinya memahami hakikat kesadaran palsu yang, memang, sengaja diciptakan kelompok kapital penguasa bisnis digital.

Tapi jujur saja, saya tak terlalu merisaukan hal-hal semacam itu di sosial media. Saya akan posting hal yang saya suka. Bukan yang beranda (timeline) saya kehendaki. Sehingga, jumlah like dan love yang saya dapat, tak jadi soal.

Jumlah kawan saya di berbagai sosial media, juga, merupakan kawan-kawan asli yang dapat saya pastikan rupa dan namanya secara absah. Bukan sekumpulan daftar akun palsu, yang doyan memberikan like dan love brutal dalam jumlah besar.

Kalaupun jumlah like dan love di posting-an yang saya buat, mendapat atensi yang baik di beranda. Atau bilamana tulisan-tulisan saya di akun Kompasiana, terpilih jadi artikel pilihan dan headline, bagi saya itu hanya bonus saja. Karena hal tersebut bukanlah tujuan utamanya.

Berbagi gagasan, dan menyebarkan seluas-luasnya buah pikiran di wadah virtual, merupakan sasaran yang hendak saya tuju dalam hidup bersosial media. Selain untuk ajang mencari hiburan dan informasi tambahan, tentunya.

Andaikata hasil yang saya tuai dari berbagai proses itu adalah ketenaran (meskipun nyatanya tidak), hal tersebut saya dapat dari cara-cara nyata yang dapat dipertanggung jawabkan. Bukan sekadar mengandalkan kekuatan modal, untuk membeli buzzer-buzzer dunia maya, yang bekerja demi sebuah framing kesohoran sekelompok pengidap megalomania di sosial media.

Jadi, adakah dari anda yang hingga kini masih terlena dengan kesadaran palsu, dan atau menderita virus megalomania dalam bersosial media?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun