Beberapa minggu menjelang berakhirnya bulan suci Ramadan kemarin, Lembaga Survey Indonesia (LSI) yang bekerjasama dengan Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, Kementerian Agama Republik Indonesia, merilis hasil riset yang cukup menarik. Penelitian di tiga belas provinsi di Indonesia, yang berjudul “Survei Kebutuhan Pendidikan Keagamaan Non-Formal dan Informal Pada Masyarakat”, menghasilkan sebuah fakta yang menggembirakan.
Dalam riset yang telah berlangsung selama kurang lebih 30 hari tersebut, terlihat jelas bahwa masyarakat muslim Indonesia, secara mayoritas, telah melaksanakan salat dan puasa tanpa diatur. Menurut survey tersebut, 25% responden mengaku selalu melaksanakan salat. Sementara yang sering melaksanakan salat berkisar 29%. Sisanya, hanya 19% yang menyatakan kadang-kadang atau tidak pernah melaksanakan salat.
Dampak positif juga terlihat dalam pelaksanaan ibadah puasa. Ada sekitar 60% responden yang mengaku selalu berpuasa. Sedangkan yang mengklaim dirinya sering berpuasa, sebesar 27%. Bahkan hanya 6% saja responden yang menyatakan tidak pernah berpuasa atau kadang-kadang saja.
Bagi saya, hasil riset tersebut menyiratkan semangat optimisme bagi muslim Indonesia untuk tidak takut kepada ancaman fundamentalisme Islam (beserta gejala Islamophobia) yang tengah melanda dunia Barat. Salah satu faktor penting kuatnya kesalehan ritual muslim Indonesia, menurut riset tersebut, yakni masih eksisnya lembaga keagamaan non-formal, serupa majelis taklim, yang hadir di tengah-tengah lingkungan sosial kemasyarakatan.
Menurut saya ini cukup penting. Mengingat jika di elaborasi lebih lanjut, akar dari maraknya ekstrmisme agama, bermula dari sikap fanatik berlebih terhadap interpretasi teks-teks keagamaan. Pada tahap lebih lanjut, bibit-bibit fundamentalisme agama ini bersemai pada sikap eksklusif dalam menerima tafsir teks keagamaan yang lain dan berbeda. Maka di situlah peran majelis taklim hadir memberikan pengaruh yang sebenarnya cukup vital, demi mencegah sikap taklid (sikap mengikuti pendapat/pemahaman orang lain tanpa mengetahui alasan/sumber yang jelas) terjadi.
Namun tantangan majelis-majelis taklim yang ada juga tidak mudah. Pada faktanya, majelis-majelis taklim ini harus berhadapan dengan para revivalis yang juga menyusup ke dalam. Para revivalis yang memiliki ‘misi suci’ untuk mengembalikan pemurnian akidah Islam, seperti masa keemasan dan kejayaan Islam tempo dulu, jumlahnya tak bisa di bilang sedikit. Dan sialnya, dagangan mereka untuk back to the past era, hari ini, cukup laris diminati kalangan muslim urban di kota-kota besar.
Menurut hemat saya, gejala ini yang mesti di waspadai. Bahkan bukan hanya menurut saya. Bung Karno, selaku founding fathers negeri ini, sudah jauh-jauh hari dan berkali-kali mewanti-wanti akan timbulnya fenomena tersebut, lewat kritik-kritik tajam di berbagai media massa kala itu, saat mementahkan konsep kembali kepada kejayaan Islam masa lalu dengan memberlakukan hukum-hukum syariat. Bagi Bung Karno, ‘muslim sontoloyo’ yang memercayai dan meyakini hal tersebut, justru berjalan mundur ke belakang. Bukan bergerak maju ke depan, menjadi seorang muslim yang progresif.
Kita Perlu Cemas
Fenomena penyusupan para revivalis, yang menurut saya, kini menjangkiti majelis-majelis taklim di sekitar kita, perlu segera ditangani. Hal ini sudah selaiknya menjadi agenda utama para tokoh Islam, demi membendung paham radikal.
Karena jika kita telaah lebih dalam, alur berpikir menuju aksi fundamentalis Islam tak terjadi secara tiba-tiba dan tanpa sebab. Semua berjalan sistematis, dimulai dari sikap eksklusif berupa taklid buta terhadap interpretasi teks-teks keagamaan, dilanjut dengan pemahaman yang kaffah terhadap konsep revivalisme, yang muara akhirnya akan berujung pada pemahaman keagamaan yang ekstrim, radikal, nan fundamental.
Buktinya sudah banyak. Sejarah mencatat bahwa tipologi gerakan-gerakan fundamentalisme Islam, dari mulai Negara Islam Indonesia/ Darul Islam (NII/DI) asuhan Kartosoewirjo, hingga fenomena Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang marak hari ini, bermula pada pemahaman yang kuat akan penafsiran tunggal teks-teks keagamaan, dan ‘misi suci’ mereka untuk memurnikan ajaran tauhid dengan hukum-hukum syariatnya.