Mohon tunggu...
Linggar Kharisma
Linggar Kharisma Mohon Tunggu... Politisi - Political Scientist In Digital Creative Industry

Political Scientist

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menangkal Akar Radikalisme Islam

13 Juli 2016   15:15 Diperbarui: 13 Juli 2016   15:20 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasukan Tentara ISIS / jpost.com

Beberapa minggu menjelang berakhirnya bulan suci Ramadan kemarin, Lembaga Survey Indonesia (LSI) yang bekerjasama dengan Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, Kementerian Agama Republik Indonesia, merilis hasil riset yang cukup menarik. Penelitian di tiga belas provinsi di Indonesia, yang berjudul “Survei Kebutuhan Pendidikan Keagamaan Non-Formal dan Informal Pada Masyarakat”, menghasilkan sebuah fakta yang menggembirakan.

Dalam riset yang telah berlangsung selama kurang lebih 30 hari tersebut, terlihat jelas bahwa masyarakat muslim Indonesia, secara mayoritas, telah melaksanakan salat dan puasa tanpa diatur. Menurut survey tersebut, 25% responden mengaku selalu melaksanakan salat. Sementara yang sering melaksanakan salat berkisar 29%. Sisanya, hanya 19% yang menyatakan kadang-kadang atau tidak pernah melaksanakan salat.

Dampak positif juga terlihat dalam pelaksanaan ibadah puasa. Ada sekitar 60% responden yang mengaku selalu berpuasa. Sedangkan yang mengklaim dirinya sering berpuasa, sebesar 27%. Bahkan hanya 6% saja responden yang menyatakan tidak pernah berpuasa atau kadang-kadang saja.

Bagi saya, hasil riset tersebut menyiratkan semangat optimisme bagi muslim Indonesia untuk tidak takut kepada ancaman fundamentalisme Islam (beserta gejala Islamophobia) yang tengah melanda dunia Barat. Salah satu faktor penting kuatnya kesalehan ritual muslim Indonesia, menurut riset tersebut, yakni masih eksisnya lembaga keagamaan non-formal, serupa majelis taklim, yang hadir di tengah-tengah lingkungan sosial kemasyarakatan.

Menurut saya ini cukup penting. Mengingat jika di elaborasi lebih lanjut, akar dari maraknya ekstrmisme agama, bermula dari sikap fanatik berlebih terhadap interpretasi teks-teks keagamaan. Pada tahap lebih lanjut, bibit-bibit fundamentalisme agama ini bersemai pada sikap eksklusif dalam menerima tafsir teks keagamaan yang lain dan berbeda. Maka di situlah peran majelis taklim hadir memberikan pengaruh yang sebenarnya cukup vital, demi mencegah sikap taklid (sikap mengikuti pendapat/pemahaman orang lain tanpa mengetahui alasan/sumber yang jelas) terjadi.

Namun tantangan majelis-majelis taklim yang ada juga tidak mudah. Pada faktanya, majelis-majelis taklim ini harus berhadapan dengan para revivalis yang juga menyusup ke dalam. Para revivalis yang memiliki ‘misi suci’ untuk mengembalikan pemurnian akidah Islam, seperti masa keemasan dan kejayaan Islam tempo dulu, jumlahnya tak bisa di bilang sedikit. Dan sialnya, dagangan mereka untuk back to the past era, hari ini, cukup laris diminati kalangan muslim urban di kota-kota besar.

Menurut hemat saya, gejala ini yang mesti di waspadai. Bahkan bukan hanya menurut saya. Bung Karno, selaku founding fathers negeri ini, sudah jauh-jauh hari dan berkali-kali mewanti-wanti akan timbulnya fenomena tersebut, lewat kritik-kritik tajam di berbagai media massa kala itu, saat mementahkan konsep kembali kepada kejayaan Islam masa lalu dengan memberlakukan hukum-hukum syariat. Bagi Bung Karno, ‘muslim sontoloyo’ yang memercayai dan meyakini hal tersebut, justru berjalan mundur ke belakang. Bukan bergerak maju ke depan, menjadi seorang muslim yang progresif.

Kita Perlu Cemas

Fenomena penyusupan para revivalis, yang menurut saya, kini menjangkiti majelis-majelis taklim di sekitar kita, perlu segera ditangani. Hal ini sudah selaiknya menjadi agenda utama para tokoh Islam, demi membendung paham radikal.

Karena jika kita telaah lebih dalam, alur berpikir menuju aksi fundamentalis Islam tak terjadi secara tiba-tiba dan tanpa sebab. Semua berjalan sistematis, dimulai dari sikap eksklusif berupa taklid buta terhadap interpretasi teks-teks keagamaan, dilanjut dengan pemahaman yang kaffah terhadap konsep revivalisme, yang muara akhirnya akan berujung pada pemahaman keagamaan yang ekstrim, radikal, nan fundamental.

Buktinya sudah banyak. Sejarah mencatat bahwa tipologi gerakan-gerakan fundamentalisme Islam, dari mulai Negara Islam Indonesia/ Darul Islam (NII/DI) asuhan Kartosoewirjo, hingga fenomena Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang marak hari ini, bermula pada pemahaman yang kuat akan penafsiran tunggal teks-teks keagamaan, dan ‘misi suci’ mereka untuk memurnikan ajaran tauhid dengan hukum-hukum syariatnya.

Tentu kita tak ingin kejadian teror di Solo beberapa waktu silam, yang di dahului dengan serangkaian aksi terorisme di negara-negara Timur Tengah lain, seperti Jordania, Irak, Bangladesh, Turki, hingga Saudi, pada bulan Ramadan lalu, oleh para ekstrimis agama macam ISIS, di impor ke Indonesia.

Pentingnya Memberikan Distingsi Pemahaman

Salah satu upaya mencegah paham radikalisme Islam berkembang di Indonesia, yakni dengan membentengi majelis-majelis taklim yang ada dari serbuan revivalis yang hendak melancarkan ‘misi suci nya’ tersebut. Namun upaya itu juga perlu dibarengi dengan usaha lain dari para anggota masyarakat, untuk mau (dan mampu) memahami konsep-konsep Islam secara menyeluruh.

Bagi saya, kita perlu membuat distingsi yang cukup jelas antara konsep Islam sebagai sebuah akidah/keyakinan, serta dimensi Islam lainnya sebagai buah kajian ilmiah. Pokok ajaran Islam sebagai sebuah keyakinan, harus bersikap final, dan tanpa kompromi. Di dalamnya termasuk landasan tauhid dan profetik, serta perkara-perkara qath’i(mutlak) dalam ajaran agama.

Sedangkan yang saya maksud sebagai dimensi kajian ilmiah, konsep lain yang ada dalam Islam (diluar landasan tauhid, profetik, dan perkara qath’i)perlu dan boleh untuk di kritisi. Utamanya terkait dengan persoalan-persoalan dzani(non-mutlak) dalam Islam, sebagai bahan kajian yang selalu kekinian.

Terus terang saya percaya. Jika masyarakat muslim (khususnya Indonesia) mampu (dan mau) melakukan pembelahan kedua konsep tentang Islam (sebagai konsep keyakinan dan dimensi kajian kritis ilmiah) tersebut, maka berbagai motif fundamentalisme bernafaskan agama, terlebih Islam, mampu teratasi.

Lebih daripada itu, muslim Indonesia kelak, bukan saja mampu menjalankan kesalehan ritual, berupa salat dan puasa semata, seperti hasil survey di awal tulisan ini. Melainkan juga mampu menjalankan kesalehan doktrinal, dengan mempraktekan  pemahaman Islam yang inklusif dan toleran terhadap berbagai varian perbedaan tafsir dan pemahaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun