Mohon tunggu...
Lingga ferdyan
Lingga ferdyan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Fulltime learner.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menganalisi Politik Identitas di Balik Gerakan Papua Lives Matter, Tantangan Representasi di Indonesia

8 November 2024   23:00 Diperbarui: 9 November 2024   01:18 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

I. PENDAHULUAN
Gerakan Papua Lives Matter (PLM) adalah representasi dari perjuangan orang Papua melawan diskriminasi rasial dan marginalisasi yang mereka alami di Indonesia. Gerakan ini bermula dari kesadaran masyarakat Papua akan ketidakadilan struktural yang mereka rasakan dalam hal hak asasi manusia, perlakuan diskriminatif, dan ketidakadilan dalam representasi politik.


Saya percaya bahwa gerakan Papua Lives Matter menunjukkan bahwa orang Papua membutuhkan pengakuan dan representasi politik yang lebih baik. PLM bukan sekadar perjuangan untuk hak-hak dasar. Ini menjadi seruan untuk mengakui bahwa keragaman adalah kekuatan bangsa, bukan hambatan.


Tujuan dari artikel ini adalah untuk memberi pembaca pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya masalah politik identitas dalam konteks Papua. Melalui analisis kritis, kami berharap dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang tuntutan gerakan PLM sebagai representasi nyata dari perjuangan untuk hak identitas dan representasi yang setara di Indonesia.


I. LATARBELAKANG
Sejarah Papua berbeda dari sejarah daerah lain di Indonesia. Papua sering diperlakukan seolah-olah terpisah dari sejarah Indonesia karena keberagaman budaya dan etnisnya yang unik. Ada banyak gerakan yang menuntut pengakuan dan perlakuan yang adil karena masalah ini. Salah satunya adalah PLM, yang menuntut hak-hak politik, ekonomi, dan kultural yang setara bagi orang Papua.


Data atau Fakta Pendukung: Orang Papua sering dikaitkan dengan tindakan represif dan stigmatisasi, seperti kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada 2019. Kasus ini menimbulkan kemarahan selain menjadi titik balik bagi masyarakat Papua untuk bersatu untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Ini adalah ketidakadilan yang menunjukkan bagaimana identitas Papua sering dipinggirkan dari masyarakat Indonesia secara keseluruhan.


II. ARGUMEN UTAMA Argumen 1
Identitas dan Representasi yang Terpinggirkan Stuart Hall (1997) berbicara tentang "The Spectacle of the 'Other'" tentang bagaimana stereotip yang dibangun terhadap kelompok tertentu dapat menyebabkan stigma yang terus-menerus dalam masyarakat. Seringkali, orang Papua dipandang

 sebagai "berbeda" atau "keterbelakangan", yang menyebabkan mereka dimarginalisasi dalam kebijakan nasional. Stereotip yang melekat pada orang Papua menempatkan mereka dalam posisi subaltern atau tertindas, yang sulit diakui sebagai bagian setara dari komunitas nasional (Hall, 1997).


Argumen 2
Hak atas Pengakuan Identitas Charles Taylor (1994) menekankan betapa pentingnya identitas kelompok minoritas diakui. Tanpa pengakuan ini, suatu kelompok akan selalu dianggap berada di luar norma atau budaya dominan. Ini membuat mereka terpisah dari masyarakat secara keseluruhan. Menurut Taylor (1994), gerakan PLM adalah contoh nyata dari tuntutan untuk mengakui keberagaman identitas Papua di Indonesia, yang mendukung hak mereka untuk didengar dan dihargai sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.


Argumen 3
Dalam "Politik Kehadiran", Nira Yuval-Davis (2011) mengatakan bahwa politik identitas terkait dengan pengakuan simbolis dan hak untuk berpartisipasi setara dalam pengambilan keputusan politik. Kebijakan yang dibuat tentang Papua di Indonesia seringkali dibuat oleh pemerintah pusat tanpa meminta pendapat masyarakat lokal. Karena representasi yang tidak memadai, tuntutan PLM menjadi semakin penting karena mereka menekankan ketidaksamaan dalam proses pengambilan keputusan (Yuval-Davis, 2011).


Argumen 4
Salah satu masalah penting yang sering dihadapi oleh masyarakat Papua adalah diskriminasi struktural, yang disebabkan oleh sistem sosial dan kebijakan pemerintah yang secara tidak langsung menyebabkan ketimpangan yang berkelanjutan. Dalam Justice and the Politics of Difference (1990), Iris Marion Young menyatakan bahwa diskriminasi struktural terjadi ketika institusi sosial dan ekonomi menempatkan kelompok minoritas dalam posisi yang tidak menguntungkan, bahkan ketika kebijakan atau tindakan tersebut tampaknya netral. Diskriminasi struktural ini terlihat pada masyarakat Papua dalam berbagai cara, mulai dari kurangnya akses ke pendidikan dan layanan kesehatan hingga kurangnya peluang ekonomi yang setara.
III. ANITESIS Pandangan Berlawanan

 Ada kemungkinan bahwa pemerintah telah menunjukkan perhatian terhadap Papua melalui kebijakan otonomi khusus dan pembangunan infrastruktur. Apakah, bagaimanapun, kebijakan tersebut telah melibatkan masyarakat Papua secara signifikan, atau hanyalah alat kontrol pusat yang digunakan untuk memperkuat kepentingan politik?


Rebuttal
Menurut perspektif Edward Said dalam "Orientalism" (1978) seringkali perspektif paternalistik menentukan kebijakan yang dibuat terhadap wilayah minoritas. Masyarakat Papua bukan sekadar penerima pembangunan; mereka adalah komunitas yang memiliki hak untuk menentukan nasib mereka sendiri dan mengelola sumber daya mereka sendiri. Kebijakan yang terus-menerus menganggap Papua sebagai "objek pembangunan" hanya menyebabkan lebih banyak ketidakadilan bagi orang Papua (Said, 1978).


IV. KESIMPULAN
Movement Papua Lives Matter menunjukkan betapa pentingnya politik identitas dan representasi yang adil di Indonesia. Seperti yang dijelaskan oleh Hall (1997) dan Said (1978), Stigmatisasi yang sering dialami oleh masyarakat Papua menunjukkan bagaimana stereotip dan diskriminasi masih ada dalam kebijakan nasional. Selain itu, Taylor (1994) menyatakan bahwa pengakuan identitas dalam politik identitas adalah hak penting untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif.
Untuk membuat Papua merasa benar-benar menjadi bagian dari Indonesia yang sejajar, diperlukan perubahan perspektif dan kebijakan. Pengakuan identitas dan partisipasi setiap komunitas dalam bangsa yang beragam akan memperkuat persatuan. Gerakan PLM harus menjadi pengingat bahwa persatuan berarti merayakan dan menerima perbedaan daripada meniadakan mereka.

 REFERENSI
Hall, S. (1997). The Spectacle of the "Other". In S. Hall (Ed.), Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London: Sage.
Said, E. (1978). Orientalism. New York: Pantheon Books.
Taylor, C. (1994). The Politics of Recognition. In A. Gutmann (Ed.), Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Yuval-Davis, N. (2011). The Politics of Belonging: Intersectional Contestations. London: SAGE Publications.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun