Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, peran tersebut tidak hilang. Mereka terlibat dalam perang kemerdekaan, bahu membahu dengan Tentara Nasional Indonesia melawan kedatangan penjajah. Mereka membentuk laskar-laskar untuk melawan secara fisik kekuatan asing yang ingin menjajah Indonesia kembali. Mereka juga rela mengerahkan sumberdaya berupa tenaga dan pikiran serta biaya, untuk kepentingan masyarakat pada bidang sosial, budaya, ekonomi, religi dan lain-lain. Bila ormas bergerak pada bidang sosial, partai politik bergerak pada aras politik. Aktivitas parpol itu, merupakan cermin dari hasrat ingin berkuasa untuk menentukan kebijakan ekonomi secara suprastruktur. Oleh karena itu, kekuasaan menjadi orientasi agar bisa menentukan haluan dan ideologi negara.
Dengan demikian, dengan perbedaan aktivitas antara ormas dan parpol, pemerintah jangan memandang sebelah mata keberadaan ormas yang konstruktif. Mereka bekerja keras membumikan Pancasila tanpa anggaran dari pemerintah. Tanpa mengeluarkan triliunan rupiah, sudah sepantasnya pemerintag bersyukur dan merangkul ormas. Mereka perlu digandeng, agar menjadi kekuatan yang bersinergi dengan negara dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
Pascakemerdekaan, peran ormas dapat dilihat pada era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Era Orde Lama atau zaman politik jilid I, kekuasaan organisasi politik merambah dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Sejarah Indonesia sangat kaya dengan kisah parpol menginfiltrasi dan mencoba mengkooptasi ormas, untuk memperoleh dukungan suara dalam sistem demokrasi kita. Pada zaman Orba, negara relatif bisa mengekang ormas karena dicurigai menjadi calon pesaing negara dalam politik. Pada masa itu, Orba berhasil mengontrol kekuatan konglomerasi.
Pada era Reformasi, terjadi perubahan besar. Demokrasi memberi kesempatan kepada kekuatan-kekuatan konglomerasi ekonomi yang dulu dikontrol Orba, berubah menjadi oligark dan vested interest yang berusaha menjadi invisible hand. Mereka mengkooptasi kekuatan organisasi politik dan lembaga-lembaga negara, karena sistem demokrasi berbiaya tinggi memungkinkan konglomerasi membiayai kegiatan politik parpol. Biaya politik tinggi yang menjadi pintu masuk bagi kekuatan-kekuatan ekonomi untuk membangun kekuasaan dalam ruang politik, baik itu terhadap ormas, parpol, bahkan hingga birokrasi.
Bagaimana LDII pada masa Orde Baru dan Reformasi? LDII tidak mudah melewati dua era tersebut, dalam upayanya mempertahankan marwah ormas Islam di tengah pergulatan antara kekuatan negara, pasar bebas, dan civil society. Abad 21 menempatkan ormas di Indonesia dalam tekanan kekuatan pasar bebas yang mengkooptasi negara. Pasar bebas dengan segala bentuk turunannya, mempengaruhi prilaku manusia di berbagai penjuru dunia agar menjadi masyarakat yang komsutif dan menjadi pasar yang baik bagi konglomerasi ekonomi.
Peran LDII Membumikan Pancasila
Sebelum membahas peran LDII dalam membumikan Pancasila, perlu diketahui asal mula ormas Islam tersebut. Kelahiran LDII tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Lembaga Karyawan Islam (Lemkari) yang lahir 1 Juli 1972. Lemkari lahir dalam suasana otoritarianisme Orde Baru, dengan partainya Golkar. Pertautan antara Lemkari dan Golkar terjadi menjelang Pemilu 1971. Kala itu, Golkar ditinggal 13 ormas Islam yang bergabung dengan partai-partai Islam. [1]
Mereka meninggalkan Golkar karena kecewa, aspirasi untuk memasukkan dasar-dasar Islam ke dalam kenegaraan Indonesia tidak bisa terealisasi. Bahkan Orba menempatkan Islam politis sebagai ektrem kanan. Sehingga menjelang pemilu, Orba ditinggalkan ormas-ormas Islam. Golkar agak kesepian, lalu mendekati Pondok Pesantren (Ponpes) Burengan yang dipimpin Kyai Haji Nurhasan. Lantas, terciptalah hubungan mutual simbiosis. Pada satu sisi, pemerintah mendukung Ponpes Burengan dan Kyai Haji Nurhasan. Sementara pemerintah membutuhkan dukungan dari elemen-elemen Islam untuk memenangkan Golkar di Jawa Timur, yang merupakan basis Islam dan pendukung Sukarno. Dukungan para kyai di Ponpes Burengan terhadap Orba dan Golkar, juga didasarkan pada renungan mereka terhadap masa depan Indonesia, yang mendasarkan ideologinya pada Pancasila, bukan pada agama tertentu atau ideologi lain.
Pada Pemilu 1971, Ponpes Burengan ikut membantu Golkar dalam memenangi Pemilu di Jawa Timur hingga seluruh Jawa. Kyai Haji Nurhasan dan para santrinya, saat itu mengandalkan atraksi motor gede untuk memikat perhatian massa. Bahkan dalam beberapa kesempatan Kyai Haji Nurhasan dan para pengikutnya menampilkan atraksi bela diri. Berbagai atraksi yang menarik perhatian massa itu, sangat membantu Golkar dalam memenangi Pemilu di Jawa. Orba yang sangat hegemonik itu pada akhirnya membuat Lemkari menjadi bagian dari “Keluarga Besar Golkar” – untuk tidak mengatakan sebagai underbow partai berlambang beringin tersebut.
Pada 1990, setelah berganti nama menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), ormas tersebut tetap menjadi bagian keluarga besar Golkar. Namun pada saat Reformasi, LDII menjadi ormas yang independen tidak berafiliasi dengan kekuatan politik tertentu.
LDII sejak masih bernama Lemkari telah membumikan Pancasila bisa dilihat dari basis legal formalnya. Dari dokumen akta pendirian organisasi, berdasarkan akta notaris Mudijomo yang dibuat 1972 ditemukan, bahwa Lemkari sebagai embrio LDII merupakan ormas Islam berasaskan dan berjiwa Pancasila. Di dalam mukadimah akta pendirian Lemkari, disebutkan pula bahwa Lemkari bersemangat dalam andil mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Lemkari sudah bicara tentang Pancasila, jauh sebelum UU No. 8 Tahun 1985 Tentang Ormas mengharuskan semua ormas berasas Pacasila. Lalu pada Bab II mengenai dasar, tujuan, dan sistem tertulis Lemkari berdasarkan Islam serta berasaskan Pancasila dan UUD 1945.