Oleh Atus Syahbudin*
Sebagian besar perubahan hutan dan lahan disebabkan oleh aktivitas sehari-hari masyarakat guna pemenuhan pangan dan peningkatan kesejahteraan (Medrilzam dkk., 2014). Alih-alih sejahtera, beberapa kegiatan perekonomian masyarakat justru pada akhirnya kerap kali mengakibatkan kerusakan lingkungan, menimbulkan biaya pemulihan yang tak sedikit. Bahkan manfaat dari alam tak bisa diperoleh lagi.Â
Alam yang terlanjur rusak akibat eksploitasi dan minimnya upaya konservasi sumberdaya alam, mengakibatkan kualitas lingkungan hidup semakin memburuk. Beberapa jenis hewan dan tumbuhan pun musnah. Sebagian lagi terancam punah. Malang nian, alam yang terlanjur rusak.
Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) yang diperingati setiap 10 Agustus laksana jam weker yang berdering, yang ingin menyadarkan kepada masyarakat bahwa konservasi alam merupakan bagian tak terpisahkan dalam setiap kegiatan pembangunan, guna melindungi keanekaragaman hayati di kawasan konservasi beserta lingkungan hidup.Â
HKAN mengacu pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Hari Konservasi Alam Nasional bagi kesejahteraan masyarakat. Semangat HKAN ini diawali dengan kepedulian Indonesia terhadap konservasi alam melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.Â
Sejatinya, apa yang dimaksud dengan konservasi? Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, konservasi berarti pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan; pengawetan; pelestarian. Adapun alam merujuk pada semua yang berada di bumi dan langit, lingkungan kehidupan atau segala sesuatu yang termasuk dan dianggap sebagai satu keutuhan.Â
Dengan demikian, konservasi alam mengandung pengertian pengelolaan lingkungan hidup dengan menjamin kelestariannya, serta tetap memelihara dan meningkatkan nilai dan kualitas keanekaragamannya. Agar hal itu bisa tercapai, masyarakat terus diedukasi agar konservasi alam menjadi sikap hidup dan budaya bangsa. Kepedulian ini terwujud dalam partisipasi aktif dan nyata sehari-hari dalam penyelamatan bumi, termasuk berupa ide, pikiran, maupun gagasan. Dengan demikian, membangun peradaban modern meskipun lintas generasi haruslah tetap menjaga harmoni dengan alam. Pasalnya, masyarakat masih sangat bergantung terhadap keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan.
Konservasi Tanaman HerbalÂ
Sejak maraknya pandemi Covid-19, tanaman herbal kembali dilirik. Industri farmasi tradisional maupun modern, meningkatkan promosi mereka terkait tanaman herbal yang mampu meningkatkan imunitas terhadap virus. Tanaman herbal nusantara yang populer secara turun menurun diburu kembali. Daftarnya pun terbilang panjang, antara lain kunyit (Curcuma longa), jahe (Zingiber officinale), temulawak (Curcuma zanthorrhiza), kencur (Kaempferia galanga), sambiloto (Andrographis paniculate), kayu manis (Cinnamomum zeylanicum), dan meniran (Phyllanthus urinaria).Â
Tanaman herbal juga diolah menjadi minuman yang nikmat sekaligus berkhasiat obat juga diburu, semisal wedang secang (Caesalpinia sappan) dan wedang uwuh dengan komposisi rimpang jahe, serutan secang, serutan kayu manis, cengkih (Syzygium aromaticum), daun pala (Myristica fragrans), serai (Cymbopogon citratus) atau daun jeruk (Citrus aurantifolia) dengan tambahan gula batu atau gula aren (Arenga pinnata). Selain itu Sarabba, minuman khas Sulawesi yang mengandung jahe, kuning telur, santan, gula aren, dan bubuk lada (Piper nigrum). Di Jakarta ada bir pletok yang terbuat dari kapulaga (Amomum compactum), secang, cengkeh, jahe, kayu manis, buah pala, dan serai.
Persoalannya, meskipun kerap ditemui di pasar maupun supermarket, saat permintaan melonjak, tanaman herbal juga melambung harganya. Di sinilah pentingnya konservasi tumbuhan herbal di pekarangan rumah. Tanaman itu dapat tumbuh dengan baik di dalam sebaran alami tumbuhan (konservasi in-situ) maupun di luar sebaran alaminya (konservasi eks-situ).Â
Konservasi in-situ dapat dilakukan dengan melestarikan tumbuhan herbal di lingkungan alaminya. Meskipun, dapat ditanam di luar lingkungan alaminya dengan iklim yang sama, hasil panennya terdapat perbedaan. Perbedaan yang dimaksud dalam hal kandungan kadar senyawa kimianya -- sangat mungkin terjadi. Senyawa kimia itu bisa terkonsentrasi pada helai daun, bunga, batang, dll. Â Selain menanam pada iklim yang sesuai lingungan aslinya, melestarikan keanekaragaman hayati bisa juga dilakukan dengan menanam tumbuhan herbal di pekarangan rumah warga.Â
Dari Pekarangan Jadi Pengobatan Komunal
Dari teras-teras tumah tersebut, bisa menciptakan imunitas komunal dengan pondasi tumbuhan herbal. Semua jenis dan jumlah tanaman tersebut beserta pemiliknya didata, sebagai database ketersediaan herbal pada tingkat wilayah. Pemanenan dan pemanfaatannya diatur sedemikian rupa dengan pola manajemen yang disepakati. Cara lainnya, masyarakat suatu wilayah bisa memanfaatkan lokasi tertentu di wilayahnya untuk ditanami tumbuhan herbal secara bersama-sama. Contoh: lahan desa, pekarangan masjid atau pondok pesantren. Pemilihan jenis tumbuhan dapat dimusyawarahkan bersama.Â
Cara penyiramannya bisa dengan menggilir masyarakat secara bergantian atau memberdayakan santri-santri majelis taklim/ponpes tersebut. Pelibatan ini dapat meningkatkan pemahaman dan kecintaan masyarakat atau santri terhadap konservasi lingkungan dan kepeduliannya akan kekayaan jenis-jenis tumbuhan penghasil ramuan herbal. Menurut Mina (2016), salah satu strategi pengelolaan lingkungan hidup di daerah yang efektif, adalah dengan melibatkan peran aktif masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Strategi ini menekankan kearifan lokal masyarakat.
Pemahaman dan cara pandang tentu memengaruhi sikap terhadap lingkungan hidup. Untuk itu, pendidikan lingkungan perlu diberikan juga untuk mengubah cara pandang dan perilaku. Pola hidup masyarakat dibiasakan ramah lingkungan sehingga sedikit demi sedikit berkontribusi terhadap kesehatan lingkungan hidup. Dengan demikian, kehidupan masyarakat yang harmoni dengan lingkungan hidup menjadi semangat baru dalam peringatan Hari Konservasi Alam Nasional, demi pembangunan berkelanjutan dan masyarakat sejahtera. Â
Â
*Atus Syahbudin, S.Hut., M.Agr., Ph.D. adalah anggota Departemen LISDAL DPP LDII, Wakil Ketua Saka Wanabakti Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DIY, dan pengajar pada Fakultas Kehutanan UGM
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H