A. Pemikiran Reflektif Terkait Pengalaman Belajar
Sebagai guru, seberapa seringkah kita melakukan refleksi sebagai upaya untuk memperbaiki proses pembelajaran ? Jika jawabannya adalah sering, maka sebagian syarat untuk menjadi guru yang profesional sudah kita penuhi. Namun jika belum, ini adalah saatnya untuk memulai.
Dikutip dari laman Kemdikbud, refleksi dalam konteks pembelajaran adalah kegiatan yang dilakukan dalam bentuk penilaian lisan dan tertulis oleh guru untuk siswa dan oleh siswa untuk guru dalam mengekspresikan kesan konstruktif, pesan, harapan, dan kritik terhadap proses pembelajaran.
Melakukan refleksi artinya kita terbuka dalam menerima saran dan kritik serta bersedia melakukan perubahan untuk memperbaikinya. Dalam semangat Kurikulum Merdeka, refleksi bagi guru merupakan suatu keharusan. Sebagai Calon Guru Penggerak Angkatan 7 Kota Malang, berikut ini adalah beberapa pemikiran reflektif saya terkait pengalaman belajar Modul 2.3. (Coaching untuk Supervisi Akademik).
Mendalami modul demi modul merupakan perjalanan yang mengasyikkan meski kadang tegang diburu deadline, namun hal ini tidak sebanding dengan pengalaman dan ilmu yang diperoleh. Salah satu wawasan baru yang sangat bermakna adalah pembahasan secara mendalam mengenai hakikat coaching dalam supervisi akademik.Â
Supervisi yang selama ini dilakukan sering hanya bersifat satu arah semata, dan lebih mirisnya lagi hanya berfungsi untuk melakukan tagihan terkait kewajiban guru dalam pengorganisiran perangkat administrasi dan melaksanakan proses pembelajaran. Perlunya ada perubahan paradigma bahwa seorang supervisor hendaknya sekaligus berusaha untuk mengembangkan potensi guru yang disuperivisi, memunculkan dan mempertajam potensi tersebut. Inilah konten yang sangat menarik dari modul 2.3 Calon Guru Penggerak, yang sekaligus dengan mendalaminya kita berlatih secara intensif dalam melakukan peran sebagai coach, coachee maupun pengamat/observisor. Dengan demikian CGP akan familiar dengan berbagai detil coaching dalam supervisi akademik.
Sebagai seorang guru dengan kepribadian introvert, materi pembelajaran modul 2.3 ini menantang saya untuk melawan dan memaksa diri untuk melaksanakan segala detail materi coaching. Saya perlu mengembangkan kompetensi sosial menjadi lebih baik lagi demi profesionalitas sebagai guru. Saya mulai termotivasi untuk lebih giat belajar mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang coaching untuk supervisi akademik dan semakin banyak melakukan praktik coaching maka akan semakin terasah kemampuan kita sebagai coach untuk hadir penuh (presence), mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot.
Terdapat tantangan untuk menerapkan praktik coaching secara berkelanjutan dengan murid atau rekan sejawat agar mendapatkan keterampilan coaching untuk supervisi akademik. Hal yang sudah baik adalah memperoleh pemahaman dan pencerahan tentang materi coaching untuk supervisi akademik dan sudah mempraktikkannya.
Hal yang perlu diperbaiki adalah langkah-langkah yang baik dan bijak pada mengajukan pertanyaan yang berbobot kepada coachee. Keterkaitan terhadap kompetensi dan kematangan diri pribadi adalah mengoptimalkan kekuatan diri sebagai seorang pendidik yang mampu menjadi coach dan melakukan coaching bagi orang-orang di lingkungan sekitar.
B. Analisis untuk implementasi dalam konteks CGP
Dari pembelajaran materi modul 2.3, banyak sekali hal-hal yang dirasa penting. Mengapa Coaching diperlukan dalam pendidikan ? Mari kita gali dan uraikan ringkasan materi dari modul 2.3 menurut pandangan saya sebagai CGP.
Konsep Coaching Secara Umum dan Dalam Konteks Pendidikan
Sebagai pemimpin pembelajaran yang nantinya juga menindaklanjuti hasil dari program pendidikan guru penggerak, tentunya tidak akan terlepas dari tugas supervisi akademik. Supervisi akademik dilakukan untuk memastikan pembelajaran yang berpihak pada murid. Selain bertujuan untuk memastikan pembelajaran yang berpihak pada murid, supervisi akademik juga bertujuan untuk pengembangan kompetensi diri dalam setiap pendidik di sekolah. Rangkaian supervisi akademik ini biasanya digunakan kepala sekolah untuk mendorong ruang perbaikan dan pengembangan diri guru di sekolahnya. Lalu, kepala sekolah seperti apakah yang dapat mendorong kita sebagai warga sekolah untuk selalu mengembangkan kompetensi diri dan senantiasa memiliki growth mindset, serta keberpihakan pada murid? Jawabannya adalah pemimpin sekolah yang dapat mengidentifikasi kebutuhan pengembangan kompetensi diri dan orang lain dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan tersebut.
Dalam hal ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yang diawali dengan paradigma berpikir yang memberdayakan. Pendekatan dengan paradigma berpikir yang memberdayakan mutlak diperlukan agar pengembangan diri dapat berjalan secara berkelanjutan dan terarah. Salah satu pendekatan yang memberdayakan adalah coaching sebagaimana Whitmore (2003) ungkapkan bahwa coaching adalah kunci pembuka potensi seseorang untuk memaksimalkan kinerjanya.
Secara umum, Coaching didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999). Sedangkan, dalam konteks pendidikan, coaching merupakan sebuah dialog antara mitra belajar (coach dan coachee) yang terjadi secara emansipatif dalam sebuah ruang perjumpaan yang penuh kasih dan persaudaraan. Coaching memiliki peran yang sangat penting karena dapat digunakan untuk menggali potensi diri sekaligus mengembangkannya dengan berbagai strategi yang disepakati bersama. Proses coaching yang berhasil akan menghasilkan kekuatan bagi coach dan coachee untuk mengembangkan diri secara berkesinambungan.
Paradigma Berpikir dan Prinsip Coaching
Mengapa coaching menjadi pendekatan yang memberdayakan ? Karena diawali dengan paradigma berpikir coaching.
Untuk dapat membantu rekan sejawat kita untuk mengembangkan kompetensi diri mereka dan menjadi otonom, kita perlu memiliki paradigma berpikir coaching terlebih dahulu. Paradigma tersebut adalah :
- Fokus pada coachee/rekan yang dikembangkan
Pada saat kita mengembangkan kompetensi rekan sejawat kita, kita memusatkan perhatian kita pada rekan yang kita kembangkan, bukan pada "situasi" yang dibawanya dalam percakapan. Fokus diletakkan pada topik apa pun yang dibawa oleh rekan tersebut, dapat membawa kemajuan pada mereka, sesuai keinginan mereka.
- Bersikap Terbuka dan Ingin Tahu
Ciri-ciri dari sikap terbuka dan ingin tahu ini adalah: 1. berusaha untuk tidak menghakimi, melabel, berasumsi, atau menganalisis pemikiran orang lain; 2. mampu menerima pemikiran orang lain dengan tenang, dan tidak menjadi emosional; 3. tetap menunjukkan rasa ingin tahu (curiosity) yang besar terhadap apa yang membuat orang lain memiliki pemikiran tertentu.
- Memiliki Kesadaran Diri yang Kuat
Kesadaran diri yang kuat membantu kita untuk bisa menangkap adanya perubahan yang terjadi selama pembicaraan dengan rekan sejawat. Kita perlu mampu menangkap adanya emosi/energi yang timbul dan mempengaruhi percakapan, baik dari dalam diri sendiri maupun dari rekan kita.
- Mampu Melihat Peluang Baru dan Masa Depan
Coaching mendorong seseorang untuk fokus pada masa depan, karena apapun situasinya saat ini, yang masih bisa diubah adalah masa depan. Coaching juga mendorong seseorang untuk fokus pada solusi, bukan pada masalah, karena pada saat kita berfokus pada solusi, kita menjadi lebih bersemangat dibandingkan jika kita berfokus pada masalah.
Prinsip Coaching
- Kemitraan (Setara, tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah);
- Proses Kreatif (dilakukan melalui percakapan dua arah, memicu proses berpikir coachee, dan bisa mengeksplorasi situasi coachee untuk menghasilkan ide-ide baru);
- Memaksimalkan potensi (ada tindak lanjut dan kesimpulan di akhir percakapan).
Paradigma dan Prinsip Coaching dalam Supervisi Akademik untuk Pemberdayaan Manusia maksudnya adalah mengubah efektivitas pengambilan keputusan, paradigma berpikir (mental model), dan persepsi serta membiasakan refleksi.Tujuannya Meningkatkan dan membiasakan belajar mandiri: mengelola diri sendiri, memantau diri sendiri, memodifikasi diri sendiri. Sumber kriteria penilaian ada pada guru.
Kompetensi Inti Coaching
3 kompetensi inti yang penting dipahami, diterapkan, dan dilatih secara terus menerus saat melakukan percakapan coaching kepada teman sejawat di sekolah, yaitu :
- Kehadiran penuh/Presence
- Mendengarkan aktif
- Mengajukan pertanyaan berbobot.
Berikut ini adalah salah satu referensi yang dapat kita gunakan untuk mengajukan pertanyaan berbobot hasil dari mendengarkan aktif yaitu RASA yang diperkenalkan oleh Julian Treasure.
Percakapan coaching yang menjadi acuan interaksi antara Pemimpin Pembelajaran dan Kepala Sekolah (disebut sebagai coach) dan Rekan Sejawat (disebut sebagai coachee). Dibutuhkan kemampuan seorang coach untuk dapat menavigasi tujuan dan arah. Percakapan yang dibutuhkan coachee dengan menggunakan acuan interaksi berikut ini (Costa dan Garmston, 2016):
- Percakapan untuk perencanaan
- Percakapan untuk pemecahan masalah
- Percakapan untuk berefleksi
- Percakapan untuk kalibrasi
Acuan umum sebuah alur percakapan coaching yang akan membantu peran coach dalam membuat percakapan coaching menjadi efektif dan bermakna yaitu alur TIRTA. TIRTA dikembangkan dari satu model umum coaching yang dikenal sangat luas dan telah banyak diaplikasikan, yaitu GROW model. GROW adalah kepanjangan dari Goal, Reality, Options dan Will. Pada tahapan 1) Goal (Tujuan): coach perlu mengetahui apa tujuan yang hendak dicapai coachee dari sesi coaching ini, 2) Reality (Hal-hal yang nyata): proses menggali semua hal yang terjadi pada diri coachee, 3) Options (Pilihan): coach membantu coachee dalam memilah dan memilih hasil pemikiran selama sesi yang nantinya akan dijadikan sebuah rancangan aksi. Will (Keinginan untuk maju): komitmen coachee dalam membuat sebuah rencana aksi dan menjalankannya. Alur percakapan coaching TIRTA dikembangkan dengan semangat merdeka belajar yang membuat kita memiliki paradigma berpikir, prinsip dan keterampilan coaching untuk memfasilitasi rekan sejawat agar dapat belajar dari situasi yang dihadapi dan membuat keputusan-keputusan bijaksana secara mandiri. Hal ini penting mengingat tujuan coaching yaitu untuk pengembangan diri dan membangun kemandirian. Melalui alur percakapan coaching TIRTA, kita diharapkan dapat melakukan pendampingan baik kepada rekan sejawat maupun muridnya.
Umpan Balik berbasis Coaching
Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diperhatikan saat memberikan umpan balik dengan prinsip coaching:
- Tujuan pemberian umpan balik adalah untuk membantu pengembangan diri coachee,
- Tanpa umpan balik, orang tidak akan mudah untuk berubah,
- Sesuai prinsip coaching, pemberian umpan balik tetap menjaga prinsip kemitraan,
- Selalu mulai dengan memahami pandangan/pendapat coachee.
Menurut Costa dan Garmston (2016) dalam Cognitive Coaching: Developing Self-directed Leaders and Learners, ada beberapa jenis umpan balik balik yang mendukung kemandirian untuk penerima umpan balik, yaitu :
- Umpan Balik dengan Pertanyaan Reflektif,
- Umpan Balik Menggunakan Data yang Valid.
Supervisi Akademik dengan Paradigma berpikir Coaching
Dalam setiap interaksi keseharian di sekolah, seorang pemimpin pembelajaran dan sekolah perlu menghidupi paradigma berpikir yang memberdayakan bagi setiap warga sekolah dan melihat kekuatan-kekuatan yang ada dalam komunitasnya.
Melalui supervisi akademik potensi setiap guru dapat dioptimalisasi sesuai dengan kebutuhan yang nantinya dapat membantu para guru dalam proses peningkatan kompetensi dengan menerapkan kegiatan pembelajaran baru yang dimodifikasi dari sebelumnya. Dan salah
satu strategi yang dapat dilakukan dalam mencapai tujuan tersebut adalah melalui percakapan coaching dalam keseluruhan rangkaian supervisi akademik. Beberapa prinsip-prinsip supervisi akademik dengan paradigma berpikir coaching meliputi:
- Kemitraan: proses kolaboratif antara supervisor dan guru
- Konstruktif: bertujuan mengembangkan kompetensi individu
- Terencana
- Reflektif
- Objektif: data/informasi diambil berdasarkan sasaran yang sudah disepakati
- Berkesinambungan
- Komprehensif: mencakup tujuan dari proses supervisi akademik.
Pada umumnya pelaksanaan supervisi akademik didasarkan pada kebutuhan dan tujuan sekolah dan dilaksanakan dalam tiga tahapan, yakni perencanaan, pelaksanaan supervisi, dan tindak lanjut. Pada tahap perencanaan, supervisor merumuskan tujuan, melihat pada kebutuhan pengembangan guru, memilih pendekatan, teknik, dan model, menetapkan jadwal, dan mempersiapkan ragam instrumen.
Tantangan yang muncul dalam implementasi coaching pada lingkup sekolah maupun daerah beserta alternatif solusinya.
Sekalipun program supervisi akademik di sekolah senantiasa berjalan sesuai jadwal yang sudah disusun oleh kepala sekolah, namun proses terlaksananya hanya sebagai penggugur jalannya program semata. Belum ada pemahaman detail terkait seperti apa supervisi yang baik beserta umpan baliknya bagi pembelajaran. Hasil supervisi biasanya digunakan untuk melengkapi berkas/bukti fisik saat akreditasi dan lomba-lomba sejenisnya. Kemudian, masih saja ada anggapan bahwa supervisi dianggap sebagai penilaian proses mengajar guru yang biasanya untuk dicari kekurangannya saja. Belum lagi dengan tidak munculnya kemitraan antara coach dan coachee, coach diasumsikan sebagai orang yang serba tahu dan senior, sehingga ada rasa enggan dari coachee dalam menyampaikan masalahnya di sekolah.
Alternatif solusi dari identifikasi tantangan tadi bisa dengan menyampaikan tujuan supervisi di tahap pra supervisi lengkap dengan kompetensi yang akan dikembangkan. Serta menjalankan setiap materi yang sudah diperoleh di modul 2.3 ini.
Koneksi Antar Materi
Keterkaitan materi modul 2.1 tentang Pembelajaran Berdiferensiasi dan modul 2.2 tentang Pembelajaran Sosial Emosional (PSE), jika dihubungkan dengan materi coaching maka pembelajaran berdiferensiasi dimana guru harus berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa yang terdiri dari kesiapan belajar, minat belajar, dan profil belajar siswa.
Langkah untuk memetakan kebutuhan individu siswa tersebut, guru bisa berperan sebagai coach untuk melakukan proses coaching dengan siswa sebagai coachee. Hal tersebut mampu mengoptimalkan potensi yang ada dalam diri siswa sehingga akan menemukan cara terbaik dalam memenuhi kebutuhan individu siswa.
Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) yang harus dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah untuk menumbukan kompetensi tentang kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab pada diri siswa. Proses coaching sejalan dengan PSE karena kompetensi sosial emosional tersebut dapat diterapkan oleh guru dalam proses coaching kepada siswa.
Jika keterampilan coaching sudah meningkat maka pengembangan kompetensi guru sebagai pemimpin pembelajaran akan meningkat pula. Percakapan-percakapan coaching membantu para guru berpikir lebih dalam (metakognisi) dalam menggali potensi yang ada dalam diri dan komunitas sekolahnya sekaligus menghadirkan motivasi internal sebagai individu pembelajar yang berkelanjutan yang akan diwujudnyatakan dalam buah pikir dan aksi nyata demi tercapainya kualitas pembelajaran yang berpihak pada murid.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H