Perusahaan Keluarga di Indonesia
Menurut data dari Indonesian Institute for Corporate and Directorship (IICD, 2023), diperlihatkan bahwa lebih dari 95% bisnis di Indonesia adalah perusahaan yang dimiliki dan dikelola oleh keluarga. Contohnya adalah grup Salim Indonesia yang memiliki perusahaan seperti Indofood Sukses Makmur dan Indomobil, atau grup keluarga Bakrie yang memiliki bisnis di sektor sumber daya (Bumi Plc, PT. Bakrie Sumatera Plantations tbk) dan media (PT. Visi Media Asia tbk), telekomunikasi (PT. Bakrie Telecom tbk), serta keluarga Martha Tilaar di sektor kosmetik, atau keluarga Ciputra yang memiliki perusahaan di sektor properti dan real estate, dan lain-lain.
Sementara sebanyak 53% dari perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia merupakan usaha keluarga, termasuk perusahaan dari sektor jasa keuangan. Awalnya, usaha keluarga berkembang dari sebuah usaha tradisional. Beberapa usaha keluarga yang terkemuka di Indonesia antara lain Salim Group (Lim Sui Liong), Sinar Mas Group (Eka Cipta Wijaya), Lippo Group (Mochtar Riady) dan Para/CT Group (Chairul Tanjung). Keberhasilan usaha yang mereka rintis dan telah dipertahankan hingga kini, dapat meningkatkan kelas sebuah keluarga. Namun di sisi lain dapat pula menimbulkan konflik yang mungkin dapat memecah belah rasa persaudaraan diantara mereka. Upaya untuk mengelola dinamika usaha keluarga ke arah yang positif membutuhkan waktu dan tingkat profesionalisme yang tinggi serta rasa persaudaraan yang kuat. Hal inilah yang membuat kehadiran usaha keluarga menjadi fenomena menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Menurut peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33 /POJK.04/2014 bahwa dewan komisaris adalah organ emiten atau perusahaan publik yang bertugas melakukan pengawasan secara umum serta memberi nasihat kepada direksi. Di Indonesia, dewan komisaris ditunjuk oleh RUPS dan di dalam peraturan OJK Nomor 33 /POJK.04/2014 disebutkan tentang direksi dan dewan komisaris emiten atau perusahaan publik yang dijabarkan mengenai fungsi wewenang dan tanggung jawab dari dewan komisaris. Dewan komisaris bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas yang dilaksanakan oleh direksi agar sesuai dengan peraturan dan kepentingan pemangku kepentingan. Fungsi kontrol yang dilakukan oleh dewan komisaris terhadap direksi dapat mengurangi biaya keagenan. Hal ini dapat berarti bahwa dewan komisaris dapat menyelaraskan perbedaan kepentingan yang terjadi antara pihak agen (manajer) dengan pihak principal (pemilik).
Dewan komisaris dan direksi merupakan bagian dari atribut tata kelola perusahaan yang secara umum berperan penting dalam tatakelola perusahaan. Dewan komisaris dan direksi adalah yang bertanggungjawab dan memiliki otoritas penuh dalam membuat keputusan tentang bagaimana melakukan pengarahan, pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan sumber daya sesuai dengan tujuan perusahaan yang telah ditetapkan.
Lukviarman (2004) menyatakan bahwa dewan komisaris merupakan inti dari corporate governance yang bertugas sebagai penasihat dan pengawas direksi. Direksi merupakan organ perusahaan yang bertugas dan bertanggungjawab dalam mengelola perusahaan sesuai dengan tujuan perusahaan (FCGI, 2001).
Menurut Cadbury Committee of United Kingdom dalam Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2006), corporate governance diartikan sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pemerintah, pihak kreditur, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka. Adapun praktik corporate governance terdapat perbedaan terutama ditinjau dari sistem hukum yang berbeda (FCGI, 2001). Sistem tersebut adalah one tier system dari Anglo Saxon dan two tier system dari Kontinental Eropa. Negara-negara yang menggunakan one tier system adalah Amerika Serikat, Inggris, Canada, dan Australia. Sedangkan negara-negara yang menggunakan two tier system adalah Jerman, Belanda, Denmark, dan Jepang. Indonesia menggunakan two tier system dalam struktur dewan perusahaan karena pengaruh sistem hukum Indonesia berasal dari sistem hukum Belanda.
Pada pembahasan kali ini, terkait karakteristik dewan komisaris dilihat pada 2 (dua) faktor yaitu adanya komisaris independen dan diversitas gender dewan komisaris.Â
1. Komisaris Independen
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33 /POJK.04/2014 menyatakan bahwa dalam dewan komisaris harus ada dewan komisaris independen dengan komposisi paling tidak 30% dari jumlah seluruh anggota dewan komisaris. Komisaris independen merupakan komisaris yang tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan perusahaan. Keberadaan komisaris independen diharapkan dapat menekan pihak manajemen perusahaan untuk tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan pemilik (pemegang saham).
Lanis and Richardson (2011) mengungkapkan kehadiran dewan komisaris sebagai fungsi pengawas dan mengevaluasi dewan direksi perusahaan dapat mengurangi konflik agensi dan masalah-masalah agensi antara pemilik dan manajer. Selain itu, kehadiran dewan komisaris juga dapat membatasi tindakan ekspropriasi yang dilakukan oleh dewan direksi.
Ying & Wang (2013) menemukan bukti empiris terkait kehadiran dewan komisaris yang berasal dari internal, mengakibatkan perusahaan cenderung melakukan tindakan agresif. Hal ini disebabkan oleh dewan komisaris internal kehilangan independensinya yang berakibat pada hilangnya peran monitoring dari dewan komisaris terhadap manajemen. Sebaliknya, temuan Steijvers and Niskanen (2014) menunjukkan perusahaan keluarga dengan anggota keluarga yang berdiri sebagai dewan direksi cenderung tidak agresif. Hal ini diduga karena direksi yang berasal dari anggota keluarga memiliki keterikatan socio-emotional yang lebih besar terhadap perusahaan dan berniat untuk mewariskannya kepada generasi berikutnya.
Dalam studi Cravens & Wallace (2001), ditemukan bahwa persentase komisaris independen dan ukuran dewan keduanya memiliki korelasi positif dengan tingkat pengambilalihan hak minoritas pemegang saham. Namun, Santiago dan Brown (2007) menemukan hubungan yang negatif antara ukuran komisaris yang bebas dan pengambilalihan hak minoritas pemegang saham, sementara karakteristik dewan komisaris secara tidak langsung mempengaruhi potensi pengambilalihan hak minoritas pemegang saham.
2. Diversitas Gender Dewan Komisaris
Salah satu jenis keragaman adalah komposisi gender. Gender direksi yang semakin beragam akan menimbulkan perbedaan cara memandang masalah dan mencari solusi terbaik, sehingga muncul ide-ide baru yang mengarah pada inovasi dan kreativitas yang dapat membawa manfaat, manfaat bagi perusahaan. keberagaman komposisi dewan komisaris menjadi penting karena berkaitan dengan karakteristik, kualitas dan keahlian anggotanya yang dapat mempengaruhi tindakan dan keputusan dewan direksi perusahaan (Ruigrok et al., 2007; Lückerath-Rovers, 2013 ; Carter et al., 2010).Â
Anggota dewan komisaris dengan keragaman gender yang lebih besar akan berkinerja lebih baik dalam hal pengawasan dan membutuhkan akuntabilitas yang lebih besar untuk tata kelola. Hal ini akan meningkatkan kualitas pendapatan dengan mengurangi perilaku oportunistik pengelolaan pendapatan karena perempuan kurang toleran terhadap perilaku oportunistik. Intoleransi ini disebabkan karena perempuan secara mandiri menilai kelayakan tindakan dan memiliki tingkat kematangan moral yang lebih tinggi (Srinidhi et al, 2011). Perempuan juga lebih memikirkan reputasi sosialnya ketika membuat keputusan (Asri, 2007).
Dalam studi Lückerath-Rovers (2013), keragaman di dewan komisaris bermanfaat, karena lebih mencerminkan demografi kelompok pemangku kepentingan utama seperti pelanggan, karyawan, dan investor, sehingga keputusan dibuat dari perspektif yang lebih luas. Keanekaragaman dewan komisaris juga akan membantu dalam memperkuat reputasi perusahaan di kalangan karyawan, karena laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam berkarier.
Menurut Kusumastuti dkk (2007) keberadaan dewan direksi perempuan dapat mengarahkan perusahaan untuk meningkatkan kinerjanya, mengingat sifat perempuan yang sangat teliti dan berhati-hati dalam pengambilan keputusan dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Carter et al. (2003) bahwa keragaman dewan diyakini mempengaruhi nilai perusahaan, karena dapat memberikan alternatif masalah yang berbeda dari anggota dewan yang homogen.
Grosvold (2007) menemukan bahwa di Inggris, keragaman dalam dewan komisaris (board of commissioners) dapat meningkatkan efektivitas dewan komisaris dan merekomendasikan agar perusahaan dapat memanfaatkan peran profesional perempuan (dikutip dari Khaoula dan Mohamed Ali, 2012). Economic Intelligence Unit dan International Finance Corporation dalam studinya menemukan Thailand sebagai negara dengan keragaman gender tertinggi dengan 20,4%, sedangkan Indonesia di peringkat ketiga dengan 14,9%. Sementara itu, negara-negara di Eropa (Norwegia, Prancis, Spanyol, Belanda, dan banyak lainnya) mulai mendorong keragaman gender dalam posisi kepemimpinan bisnis melalui kebijakan tentang gender. Perbedaan karakteristik antara perempuan dan laki-laki tidak terbatas pada perbedaan fisik saja. Croson & Gneezy (2009) menjelaskan perbedaan mendasar dalam risiko, masyarakat, dan preferensi kompetitif antara perempuan dan laki-laki. Mereka menambahkan bahwa wanita lebih menghindari risiko dan lebih peka terhadap isyarat sosial namun kurang kompetitif dibandingkan dengan pria.
Adams dan Ferreira (2009) dan Banu & Ghozali (2021) menegaskan bahwa kehadiran perempuan di dewan direksi dapat membatasi perilaku oportunistik manajer dan mencegah kebijakan buruk dengan menghindari pajak untuk memaksimalkan keuntungan pemegang saham.
Selain itu, variasi (keberagaman) gender dalam dewan komisaris juga dapat membatasi tindakan oportunis dari pihak manajemen dalam membuat keputusan. Adams dan Ferreira (2004) menemukan bahwa kehadiran perempuan di dewan komisaris dapat menahan perilaku oportunis dari pihak manajemen dan mencegah kebijakan yang salah dengan menghindari pembayaran pajak untuk memaksimalkan kepentingan pemegang saham. Hasil penelitian Higgs (2003) yang dilakukan di Inggris menunjukkan bahwa variasi dalam dewan komisaris dapat meningkatkan efektivitas kinerja dewan komisaris dan merekomendasikan bahwa perusahaan dapat mendapatkan keuntungan serta manfaat dari peran wanita profesional yang ada dalam dewan komisaris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H