Mohon tunggu...
Linda Purnama Sari
Linda Purnama Sari Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Hayam Wuruk Perbanas Surabaya

Saya bekerja sebagai tenaga pengajar (dosen) di Universitas Hayam Wuruk Perbanas Surabaya yang dahulu adalah bernama STIE Perbanas Surabaya. Saya mengajar dan mengabdi di UHW Perbanas sejak tahun 1996-sekarang. Alhamdulillah, saya senang bergabung dengan para akademisi di kampus tercinta ini karena rasa persaudaraan dan kekeluargaan yang hangat sekali. Ibaratnya, UHW Perbanas Surabaya adalah rumah kedua saya.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Tata Kelola Perusahaan Keluarga dan Tindakan Ekspropriasi

2 Februari 2024   12:00 Diperbarui: 18 Juli 2024   12:44 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tata Kelola Perusahaan Keluarga dan Tindakan Ekspropriasi

Tata kelola perusahaan adalah salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengatasi perbedaan kepentingan antara perusahaan dengan pemangku kepentingan. Guna menyelesaikan perbedaan ini, perusahaan biasanya bergantung pada peran pemegang saham mayoritas sebagai pengambil keputusan yang paling dominan. Pada sebagian negara khususnya negara berkembang, pemegang saham mayoritas terdiri dari keluarga. Seperti di Indonesia, sebagian besar perusahaan yang go public maupun yang belum go public dimiliki oleh keluarga. Atau dengan kata lain, bisnis yang dijalankan di Indonesia adalah bisnis keluarga. Dalam perusahaan keluarga, jenis pengelolaan aktivitas usaha (bisnis) dapat  dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu  family owned enterprise (FOE) dan family business enterprise (FBE). FOE adalah perusahaan yang dikelola oleh eksekutif profesional dari luar lingkaran keluarga dan kinerjanya diawasi oleh pihak keluarga. Sedangkan FBE adalah perusahaan yang dimiliki dan dikelola oleh anggota keluarga pendiri dengan posisi-posisi kedudukan yang menjadi kunci dipegang oleh pihak keluarga (Susanto, 2005). Bisnis keluarga di Indonesia sampai dengan saat ini telah memberikan kontribusi sebesar 82,44% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Menurut data dari Indonesian Institute for Corporate and Directorship (IICD, 2022), menunjukkan bahwa lebih dari 95% bisnis di Indonesia adalah perusahaan yang dimiliki dan dikelola oleh keluarga. Sementara sebanyak 53% dari perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia merupakan perusahaan keluarga, termasuk perusahaan dari sektor jasa keuangan. Awalnya, usaha keluarga berkembang dari sebuah usaha tradisional. Beberapa usaha keluarga yang terkemuka di Indonesia antara lain Salim Group (Lim Sui Liong), Sinar Mas Group (Eka Cipta Wijaya), Lippo Group (Mochtar Riady) dan Para/CT Group (Chairul Tanjung). Keberhasilan usaha yang mereka rintis dan telah dipertahankan hingga kini, dapat meningkatkan kelas atau peringkat sebuah keluarga. Namun di sisi lain dapat pula menimbulkan konflik yang mungkin dapat memecah belah rasa persaudaraan diantara mereka. Upaya untuk mengelola dinamika usaha keluarga ke arah yang positif membutuhkan waktu dan tingkat profesionalisme yang tinggi serta rasa persaudaraan yang kuat. Hal inilah yang membuat kehadiran usaha keluarga menjadi fenomena menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Perusahaan keluarga adalah perusahaan yang dijalankan dan dikendalikan oleh pewaris dari individu yang sebelumnya bertanggung jawab terhadap perusahaan atau oleh keluarga yang dalam proses untuk mengalihkan kendali perusahaan kepada pewarisnya (Morck & Yeung, 2004). Namun demikian, tidak semua pekerja atau pegawai berasal dari keluarga, melainkan juga ada yang berasal dari pihak non keluarga. Menurut La Porta et.al (1999) kepemilikan keluarga merupakan kepemilikan dari individu dan kepemilikan dari perusahaan tertutup (lebih dari 5%) yang bukan perusahaan publik, negara atau lembaga keuangan. Atau dengan kata lain, perusahaan dengan kepemilikan keluarga tidak hanya terbatas pada perusahaan yang menempatkan anggota keluarganya pada posisi sebagai CEO, komisaris atau manajer, akan tetapi perusahaan ini umumnya dimiliki secara mayoritas oleh keluarga tertentu atau kepemilikan sahamnya terkonsentrasi pada keluarga tertentu.

Khamis (2015) menjelaskan bahwa perusahaan keluarga memiliki struktur kepemilikan yang terkonsentrasi dan biasanya akan menghasilkan pertentangan antara pemilik saham mayoritas dan minoritas. Dengan adanya konsentrasi kepemilikan, pemilik saham mayoritas memiliki kekuasaan dalam menentukan kebijakan keuangan dan operasional suatu perusahaan sehingga mereka cenderung memperoleh keuntungan pribadi dari aktivitas tersebut. Keuntungan pribadi yang diperoleh adalah salah satunya melalui tindakan pengambilalihan atau ekspropriasi (Claessens et.al, 1999). Ekspropriasi dilakukan melalui transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa (transaksi pihak terkait). Dalam Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 7 tahun 2018 menjelaskan bahwa transaksi pihak yang memiliki hubungan istimewa merupakan transaksi yang dilakukan dengan cara pengalihan sumber daya, jasa atau kewajiban antara entitas pelapor dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa, terlepas adanya harga yang diperhitungkan. Pada beberapa negara berkembang (seperti Indonesia) transaksi pihak yang memiliki hubungan istimewa terkadang dilakukan untuk tujuan oportunistik yaitu berupa pemindahan sumber daya keluar dari perusahaan untuk kepentingan pemegang saham pengendali (mayoritas) dengan mengorbankan kepentingan pemegang saham non-pengendali (minoritas) atau dikenal dengan istilah tunneling (Johnson, Porta, Lopez-de Silanes & Shleifer, 2000).  

Penelitian-penelitian sebelumnya yang menemukan adanya tindakan ekspropriasi melalui transaksi dengan pihak terkait (RPT) dilakukan oleh Hwang & Wang (2013), Pozzoli & Venuti (2014), dan Utama (2015). Tindakan ekspropriasi ini dilakukan oleh direksi perusahaan sebagai pemegang saham mayoritas (pengendali) dengan pihak-pihak yang masih memiliki hubungan istimewa (keluarga) di antara mereka sendiri. Namun, beberapa penelitian juga menyatakan bahwa tindakan ekspropriasi melalui RPT ini dianggap sebagai kegiatan yang sehat dalam memenuhi kebutuhan perusahaan, dan dapat meningkatkan efisiensi melalui pembentukan pasar internal dalam kelompok perusahaan. RPT ini disebut sebagai hipotesis transaksi yang efisien (Friedman et al, 2003; Pozzoli & Venuti 2014; Peng et.al, 2011). Oleh karena itu, para pemangku kepentingan (stakeholder) perlu memperhatikan Transaksi Dengan Pihak Terkait (RPT) sebagai peluang yang dapat menimbulkan tindakan ekspropriasi.

Hasil penelitian Cid, San Martn, & Saona (2022) menemukan bahwa komposisi kepemilikan, ukuran dewan dan kepemilikan saham oleh CEO berhubungan positif dengan tindakan pengambilalihan hak pemegang saham minoritas (ekspropriasi). Namun, hasil temuan Utama (2015) menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan dari komposisi kepemilikan keluarga terhadap ekspropriasi melalui transaksi dengan pihak terkait. Claessens et al. (1999) juga menemukan bahwa tidak ada bukti yang signifikan dari pengambilalihan untuk mengendalikan oleh keluarga dan kontrol yang dipegang secara luas oleh perusahaan. Dalam studi Cravens & Wallace (2001), ditemukan bahwa persentase komisaris independen dan ukuran dewan keduanya memiliki korelasi positif dengan tingkat pengambilalihan hak minoritas pemegang saham. Namun, Santiago dan Brown (2007) menemukan hubungan yang negatif antara ukuran komisaris yang bebas dan pengambilalihan hak minoritas pemegang saham, sementara karakteristik dewan komisaris secara tidak langsung mempengaruhi potensi pengambilalihan hak minoritas pemegang saham.

Selain komisaris independen, variasi (keberagaman) gender dalam dewan komisaris juga dapat membatasi tindakan oportunis dari pihak manajemen dalam membuat keputusan. Adams dan Ferreira (2004) menemukan bahwa kehadiran perempuan di dewan komisaris dapat menahan perilaku oportunis dari pihak manajemen dan mencegah kebijakan yang salah dengan menghindari pembayaran pajak untuk memaksimalkan kepentingan pemegang saham. Hasil penelitian Higgs (2003) yang dilakukan di Inggris menunjukkan bahwa variasi gender dalam dewan komisaris dapat meningkatkan efektivitas kinerja dewan komisaris dan merekomendasikan bahwa perusahaan dapat mendapatkan keuntungan serta manfaat dari peran wanita profesional yang ada dalam dewan komisaris.

Tindakan Ekspropriasi

Dalam konteks keuangan, konflik keagenan dibagi menjadi dua yaitu konflik keagenan tipe I dan tipe II. Konflik keagenan tipe I yaitu konflik antara pihak pemegang saham selaku pemilik perusahaan dengan pihak manajemen selaku agen (pengelola perusahaan). Sedangkan konflik keagenan tipe II yaitu konflik antara pemegang saham pengendali dan pemegang saham non-pengendali yang biasanya menyebabkan adanya tindakan ekspropriasi. Claessen et.al (2000) memperlihatkan terjadinya ekspropriasi dari pemegang saham mayoritas terhadap pemegang saham minoritas dengan menggunakan data perusahaan di Asia. Sedangkan, La Porta et.al (2002), Claessens et.al (2002), Burkart et.al (1998) menyebutkan adanya ekspropriasi terhadap pemegang saham minoritas baik langsung atau tidak langsung. La Porta et al (2000) menyebutkan bahwa eksproriasi secara umum berkaitan dengan konflik keagenan sebagaimana yang didefinisikan oleh Jensen dan Meckling (1976). Tindakan ekspropriasi dapat meningkat jika terjadi entrenchment yaitu tindakan dimana pemegang saham pengendali menggunakan hak kontrol untuk memenangkan kebijakan atas suara pemegang saham minoritas jika antara keduanya tidak terjadi kesamaan sikap (Fan dan Wong, 2002). Perusahaan yang kepemilikannya terkonsentrasi maka manajemen cenderung akan dikuasai oleh pihak anggota keluarga dan dapat membuka peluang bagi insider melakukan lebih banyak ekspropriasi dalam berbagai bentuk seperti kebijakan operasi perusahaan, kebijakan kontrak utang piutang, kebijakan penjualan dan kebijakan pembelian.

Selain itu, Claessens et al (2000) juga menjelaskan bahwa ekspropriasi (expropriation) adalah penggunaan dominasi hak kontrol oleh pemegang saham pengendali untuk mendapatkan keuntungan pribadi guna memaksimumkan kesejahteraan sendiri melalui distribusi kekayaan dari pihak lain. Keuntungan pribadi merupakan manfaat yang diperoleh pemegang saham pengendali melalui dominasi kontrol untuk menentukan kebijakan perusahaan yang menguntungkan.

Gilson dan Gordon (2013) mengidentifikasi ada 4 (empat) jenis kepentingan pribadi yang dapat dikendalikan melalui kebijakan perusahaan. Pertama, keuntungan pribadi dari kebijakan operasi perusahaan (misalnya, gaji dan tunjangan yang tinggi, bonus dan kompensasi yang tinggi, dana pensiun dan dividen yang tidak dibagi). Kedua, melalui kebijakan kontraktual (seperti, harga pembelian yang menguntungkan kepada entitas sepengendali, penjualan aset kepada pihak lain dengan harga pasar yang lebih rendah dan hutang dengan motif pengendalian).  Ketiga, kebijakan penjualan kendali (penjualan kendali kepada pihak lain dengan harga harga yang lebih tinggi), kebijakan pembekuan (menjual saham perusahaan kepada pihak lain yang juga terkait dengan saham pengendali dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar).

Menurut Siregar (2017) tindakan ekspropriasi merupakan tindakan pengambilalihan hak kontrol atas sumber daya perusahaan, dengan asumsi bahwa pihak tertentu selalu berusaha memaksimalkan kepentingannya yang tercermin dari hubungan agensi atau hubungan dengan pihak pengendali. Hubungan pihak pengendali atau bisa disebut sebagai pihak yang memiliki hubungan istimewa ini, awalnya dianggap sebagai transaksi yang normal karena dapat meningkatkan efisiensi antar perusahaan yang membutuhkan dan biasanya disebut "efficient related party transaction" namun di sisi lain dianggap sebagai "abusive related party transacation" jika pemegang saham pengendali ingin merampas hak pemegang saham minoritas melalui tunneling (Utama, 2015).

Aharony et al. (2010) menemukan bahwa terdapat cara-cara yang digunakan untuk melakukan tindakan tunneling diantaranya melalui penggunaan piutang kepada pihak berelasi yaitu mentransfer sumber daya keluar dari perusahaan. Kemudian Berkman et al. (2009) menemukan bahwa ada jaminan pinjaman yang dikeluarkan perusahaan untuk tujuan pengambilalihan kekayaan dari pemegang saham minoritas, sedangkan penelitian Cheung et.al (2009) membuktikan adanya penjualan dan pembelian aset kepada pihak berelasi yang digunakan untuk melakukan tunneling terhadap asset perusahaan.

Menurut Cheung et.al (2009) transaksi pihak berelasi dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu: (1) Transaksi yang merupakan ekspropriasi, (2) Transaksi yang menguntungkan perusahaan publik, (3) Transaksi karena alasan strategis

Beberapa penelitian menemukan bahwa tujuan dan alasan perusahaan melakukan transaksi dengan pihak berelasi adalah: (a) untuk meminimalisasi biaya transaksi (Jian & Wong, 2004), (b) untuk manipulasi pendapatan karena ada motif opportunistic (Aharony, Wang & Yuan, 2010), (c) adanya motif opportunistic penggunaan transaksi pihak berelasi untuk tujuan tunneling (Cheung et.al 2009; Berkman et.al 2009).

La Porta et al (1999) mengatakan bahwa transaksi yang disebut ekspropriasi kepada pemegang saham minoritas meliputi: (1) Asset tunneling yaitu melalui transaksi pembelian dan penjualan aset, dimana hal ini dilakukan dalam pemindahan aset yang bersifat jangka panjang, baik aset yang berwujud atau aset yang tidak berwujud ke pihak yang memiliki hubungan berelasi, (2) Cash flow tunneling yaitu melalui hubungan perdagangan dan pembayaran kas perusahaan, dimana ada upaya mengalihkan arus kas keluar dari perusahaan, termasuk harga transfer dan gaji eksekutif yang berlebihan, (3) Equity tunneling yaitu melalui penjualan ekuitas dalam upaya meningkatkan kepemilikan atas perusahaan melalui transaksi pihak berelasi yang sebenarnya dapat merugikan pemegang saham minoritas (non pengendali).

La Porta, Lopez-de-Silanes, Shleifer & Vishny (2000) menciptakan istilah "tunneling" untuk menggambarkan kegiatan pengambilalihan hak pemegang saham minoritas (non pengendali) oleh pemegang saham mayoritas (pengendali). Cheung, Rau, & Stouraitis (2008) melakukan penelitian terkait transaksi tunneling dengan menggunakan data perusahaan keluarga di negara China. Dengan melakukan identifikasi dan investigasi terhadap transaksi pihak berelasi, maka ditemukan adanya tindakan ekspropriasi atau pengambilalihan hak pemegang saham minoritas dengan melibatkan akuisisi aset oleh perusahaan terbuka dari pihak terkait, penjualan aset oleh perusahaan tercatat kepada pihak terkait, penjualan saham ekuitas di perusahaan tercatat kepada pihak terkait, perdagangan hubungan antara perusahaan terdaftar dan pihak terkait dan pembayaran tunai langsung atau jaminan pinjaman dari perusahaan tercatat kepada pihak terkait.

Siregar (2011) melakukan penelitian terkait determinasi risiko ekspropriasi pada perusahaan go public di Indonesia. Dimana risiko ekspropriasi diukur dengan menggunakan cash flow right leverage atau deviasi hak aliran kas dari hak kontrol dan hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan hak control (cash flow right leverage) yang melebihi hak aliran kas. Selain itu, hasil penelitian tersebut menemukan bahwa risiko ekspropriasi oleh pemegang saham pengendali terhadap pemegang saham non pengendali dipengaruhi 5 (lima) faktor, yaitu: (1) Struktur kepemilikan piramida, (2) Banyaknya lapisan kepemilikan, (3) Banyaknya jalur kepemilikan, (4) Keterlibatan pemegang saham pengendali pada direksi perusahaan, (5)Ketiadaan pemegang saham pengendali lain dalam perusahaan

Besaran related party transaction (RPT) menjadi proksi dari konsep ekspropriasi yang biasa dilakukan melalui dua kategori berdasarkan penyajian laporan keuangan yaitu, laporan posisi keuangan (neraca) pada item asset & liabilitas serta laporan laba-rugi, pada item sales & expenses. Peraturan OJK Nomor VIII.G.7 (Kep-06/PM/2000, 13 Maret 2000) tentang penyajian laporan keuangan, menjelaskan bahwa transaksi dangan pihak berelasi dapat dilihat pada catatan atas laporan keuangan dengan melihat : (1) Akun asset yang terkait dengan pihak berelasi; (2) Akun liabilitas atau kewajiban yang terkait dengan pihak berelasi; (3) Jumlah penjualan yang terkait dengan pihak berelasi; (4) Jumlah masing-masing pembelian atau beban yang terkait dengan pihak berelasi. Selanjutnya total dari masing-masing kategori tersebut akan dibagi dengan total equity, yang bertujuan untuk mengetahui dampak dari adanya transaksi pihak berelasi terhadap pemegang saham.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun