Mohon tunggu...
Linda Dwi Setyowati
Linda Dwi Setyowati Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Sepeda

Selanjutnya

Tutup

Book

Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia

8 Maret 2023   11:04 Diperbarui: 8 Maret 2023   11:13 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Penulis: prof.Dr.Drs.H. Abdul Manan, S.H.,S.IP.,M.Hum.

Penerbit: Kencana

Terbit: 2017

Cetakan: ke- lima, Januari 2017

Pengakuan anak dalam literatur disebut dengan "istilbag atau iqrar" yang berarti pengakuan seorang anak laki-laki secara sukarela terhadap seorang anak bahwa ia mempunyai hubungan darah dengan anak tersebut, baik anak tersebut berstatus di luar nikah atau anak tersebut tidak diketahui asal-usulnya.
Menurut Taufiq, anak wajar adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan. Dalam perkembangan selanjutnya pengertian anak wajar dipakai untuk dua pengertian, yaitu dalam arti luas mencakup semua anak luar kawin yang disahkan, dalam arti sempit hanya mencakup anak yang lahir akibat overspel dan incest. Dalam hukum islam, asal-usul seorang anak dapat diketahui dari salah satu diantara tiga sebab yaitu:

A. Dengan cara al-Firasy, yaitu berdasarkan kelahiran karena adanya perkawinan yang sah.
B. Dengan cara iqrar, yaitu pengakuan yang dilakukan oleh seorang terhadap seorang anak dengan menyatakan bahwa anak tersebut adalah anaknya.
C. Dengan cara bayyinah, yaitu dengan cara pembuktian bahwa berdasarkan bukti-bukti yang sah seorang anak betul si polan.
Menurut abdullah ali husein ada perbedaan yang prinsip tentang motivasi pengakuan anak menurut hukum perdata barat dengan motivasi pengakuan anak menurut hukum islam. Sedangkan motivasi pengakuan anak menurut hukum islam adalah: 

A.  Demi kemaslahatan anak yang diakui
B. rasa tanggug jawab sosial
C. menyembunyikan aib karena anak tersebut terlahir diluar kawin orang tuanya
D. antisipasi terhadap datangnya mudharat yang lebih besar dimasa yang akan datang apabila anak tersebut tidak diakuinya.

Hukum islam hanya memberi akibat hukum kepada anak dengan orang tua berdasarkan pernikahan , tetapi untuk menutupi aibnya syariat islam menganjurkan agar orang mengakui anak yang tidak jelas ayahnya. Ada tiga macam anak status yang diatur dalam hukum perdata yaitu:
A. anak yang sah,yaitu anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah sebagaimana tersebut dalam pasal 250 BW.
B.  Anak yang diakui, yaitu anak pengakuan anak terhadap anak luar kawin, pengakuan ini dapat dilakukan oleh ayah atau ibunya dengan mksud antara anak dengan kedua orang tuanya
C. Anak yang disah kan, yaitu anak luar kawin antara seorang wanita dan pria yang mengakui anak yang lahir sebelum menikah itu sebagai anak mereka yang sah, pengakuan tersebut dilaksanakan dengan mencatat dalam akta perkawinan.

Dalam hukum adat pada umumnya anak diluar kawin disebut anak haram, tidak mempunyai hubungan perdata dengan laki-laki yang menghamili ibunya.  Hukum adat melihatnya bahwa anak luar kawin merupakan cela, sehingga lembaga pengakuan sebagaimana dalam hukum perdata dan yang dianjurkan oleh hukum islam sebaiknya di hindari.

Hukum keluarga yang berlaku di negara-negara islam pada umumnya telah mengatur tentang lembaga pengakuan anak secara rinci. Bahkan kalau diteliti lebih mendalam, lembaga pengakuan anak ini lebih jauh lebih dahulu disebutkan kitab-kitab fiqih dari pada yang terdapat dalam kitab hukum perdata BW yang berlaku di indonesia.

Dalam kesempatan ini akan dicoba membahas tentang lembaga pengakuan anak dalam hukum islam dan hubungan dengan kewenangan peradilan agama. Pembahasan tentang lembaga pengakuan anak ini dilaksanakan secara sistematis, logis, dengan suatu harapan agar hakim dapat menciptakan putusan tentang pengakuan anak dengan pertimbangan yang cukup sehingga lembaga pengkuan anak ini dapat dihargai oleh masyarakat indonesia.

Asas-asas dalam undang-undang perkawinan

A.  Asas sukarela
Dalam bab 1 undang-undang Nomer 1 tahun 1974 tentang perkawinan dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagaii suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang sejater, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dengan kepercayaan itu.

Sesuai dengan prinsip hak asasi manusia, maka kawin paksa benar-benar dilarang Undang-Undang perkawinan ini. Batas umur yang dikehendaki Undang-Undang perkawinan minimal 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria. Penyimpangan dari batas umur ini harus mendapat pengajuan dispensasi dapat diajukan oleh orang tua atau wali dari calon mempelai yang belum mencapai batas umur minimal sebagaimana tersebut di atas. Antara kedua calon mempelai harus ada kerelaan yang mutlak untuk melangsungkan perkawinan yang mereka harapkan. Mereka harus mempunnyai kesadaran dan keinginan bersama secara ikhlas untuk mengadakan akad sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan.

B. Asas partisipasi keluarga
Meskipun calon mempelai diberikebebasan untuk memilih pasangan hidupnya berdasarkan asas sukarela, tetapi karena perkawinan itu merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, maka partisipasi keluarga sangat diharapkan di dalam pelaksanaan akad perkawinan tersebut.
Seandainya pihak-pihak tersebut itu menyatakan keberatannya maka izin untuk melangsungkan perkawinan dapat diperoleh dari pengadilan umum bagi orang-orang non muslim dan pengadilan agama bagi orang islam. Pasal 6 ayat 4 dan 5 Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974.

Dalam hal ini pelaksanaan perkawinan. Dengan demikian diharapkan dapat terjalin hubungan silahturahmi antar keluarga pihak mempelai pria dengan keluarga pihak mempelai wanita. Melibatkan kedua belah pihak dalam hal ini dengan suatu harapan pula agar dapat membimbing pasangan yang baru menikah supaya dapat mengadakan rumah tangga dengan baik dan benar sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

C.  Perceraian dipersulit
 Undang-undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang perkawinan berusaha semaksimal mungkin adanya perceraian dapat dikendalikan dan menekan angka perceraian kepada titik yang paling rendah. Pembuat undang-undang ini menyadari bahwa perceraian dilakukan tanpa kendali dan sewenag-wenang akan mengakibatkan kehancuran bukan saja kepada pasangan suami isteri tersebut, tetapi juga kepada anak-anak yang mestinya harus diasuh dan dipelihara dengan baik.

Untuk itu undang-undang ini merumuskan bahwa perceraian itu harus dilakukan didepan pengadilan. Perceraian yang dilaksanakan di luar sidang pengadilan dianggap tidak mempunyai landasan hukum, dengan demikian tidak diakui kebenarannya. Pengadilan berusaha semaksimal mungkin untuk mendamaikan agarrukun kembali, hal ini dilakukan pada setiap sidang dilaksanakan. Perceraian ini merupakan hal baru dalam masyarakat indonesia, yang sebelumnya hak cerai sepenuhnya berada ditangan suami yang pelaksanaannya dapat dilakukan secara semaunya.

D. Poligami dibatasi dengan ketat
Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 dan peraturan pemerintah Nomer 9 Tahun 1975 menggunakan istilah "poligami" yang sudah populer dalam masyarakat. Menurut Undang-Undang perkawinan ini adalah perkawinan yang bersifat monogami, namun demikian beristri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum agamanya yang dianut.
Perkawinan lebih dari satu orang dapat dilaksanakana apabila ada izin dari satu orang baru dilaksanakan apabila ada izin dan pengadilan agama terlebih dahulu. Dalam pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang perkawinan lebih dari satu harus ada alasan-alasan yaitu:
1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu hal yanng sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita. Pelaksanaan poligami tanpa dibatasi oleh peraturan yang membatasi secara ketat, maka akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam menegakkan rumah tangganya.

E.  Kematangan calon mempelai
Undang-undang Nomer 1 tahun 1974 tentang perkawinan mempunyai hubungan erat dengan masalah kependudukan. Dengan adanya pembatasan umur pernikahan baik bagi wanita maupun pria. Diharapkan lajunya kelahiran dapat ditekan seminimal mungkin, dengan demikian program keluarga berencana nasioal dapat berjalan seiring dan sejalan undang-undang.

Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan rumah tangga bahagia dan sejahtera dengan mewujudkan suasana rukun dan damai. Disini adalah kematangan umur perkawinan, kematangan dalam berpikir dan bertindak sehingga tujuan perkawinan sebagaimana tersebut diatas dapat terlaksana dengan baik.

F.  Memperbaiki derajat kaum wanita
Sebagaimana yang telah dikemukakan terdahulu bahwa sebelum berlakunya Undang-undang perkawinan ini, banyak suami yang memperlakukan istrinya dengan tindakan sewenang-wenang, menceraikan istrinya begitu saja tanpa ada alasan yang jelas. Sebelum Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang perkawinan diberlakukan, kebanyakan kaum wanita segan menuntut suaminya ke pengadilan, kebanyakan mereka memilih diam dengan menanggung derita yang tidak habis-habisnya.

Oleh karena prinsip-prinsip yang terkandung dalam undang-undang ini sangat positif, maka seluruh warga negara indonesia harus melaksanakan secara konsekuen. Apabila undang-undang perkawinan ini dilaksanakan dengan bertanggung jawab, maka keluarga bahagia dan sejahtera yang dicita-citakan akan terleksana dengan baik dan selalu mendapat ridha dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun