Mohon tunggu...
Linda Liliyani
Linda Liliyani Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Fakultas Hukum universitas Sultan Ageng Tirtayasa 2021. Kader HmI Komisariat Hukum Untirta 2021.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pro-kontra Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021

9 Februari 2022   14:42 Diperbarui: 1 Agustus 2022   23:39 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

By Linda Liliyani Rabu 09 Februari 2022

Baru-baru ini Maraknya kasus kekerasan seksual saat pandemi covid-19 meningkat. Terutama di lingkungan pendidikan dimana orang-orang yang di claim berintelektual tinggi menjadi pelaku Kekerasan seksual. 

Kekerasan seksual bisa terjadi kapan pun dan dimana pun di tempat yang sepi ataupun ramai berpakaian tertutup atau terbuka tidak menjamin terhindar dari kekerasan seksual.

Banyaknya kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan menjadi tinta hitam tersendiri bagi pendidikan di Indonesia yang dimana seharusnya wadah untuk membangun bangsa yang lebih baik kini menjadi tempat yang sering ditemui kasus kekerasan seksual. Dampak yang diperoleh oleh korban pun bermacam macam baik secara psikologis maupun pisikis korban. 

Rata-rata korban dari kasus kekerasan seksual tidak berani mengungkapkan masalahnya karena beberapa faktor yang dikatakan oleh Komnas perempuan diantaranya:

1. Di kampus umumnya belum tersedia mekanisme pengaduan apabila terjadi pelecehan seksual.

2. Masih adanya victim blaming atau menyalahkan korban. Faktor yang kedua ini sangat relevan karena korban mempunyai rasa kekhawatiran apakah dengan dia bercerita orang-orang akan percaya atau sebaliknya malah menyalahkan dirinya.

Terkadang korban kekerasan seksual tidak mengatakan karena memang takut disalahkan "apakah memang benar pakaian aku yang terlalu terbuka" statment seperti ini membuat para korban menganggap yang terjadi pada dirinya pure kesalahannya sendiri

Oleh karena itu Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi atau Mendikbudristek Nadiem Makarim mengeluarkan kebijakan sebagai pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual Permendikbud Ristek No. 30 tahun 2021. Kebijakan ini merupakan upaya pemerintah untuk menekan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Akan tetapi subtansi dari kebijakan ini menuai pro-kontra dikalangan masyarakat terutama pada pasal 5 ayat 2 dengan frasa "tanpa persetujuan" dianggap multitafsir banyak yang mengatakan bahwa frasa tersebut melanggar norma agama.

interpretasi dari berbagai kalangan yang mengatakan bahwa frasa "tanpa persetujuan" berarti melegalkan zina atau seks bebas di kampus dan Ini sangat bertolak belakang dengan norma agama.

Menanggapi hal itu Nadim Makarim memberikan klarifikasi dengan tegas mengatakan bahwasannya kebijakan ini tidak mendukung apapun apalagi melegalkan seks bebas.

Di sisi lain kebijakan ini sangat diapresiasi oleh kalangan mahasiswa karena dengan adanya kebijakan Permendikbud ristek yang berspektif korban semua tindakan kekerasan seksual secara fisik non fisik, verbal maupun berbasis teknologi akan mendapatkan sanksi bagi pelakunya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun