Bagi sebagian orang di kampung, di usia yang tak lagi muda (25), melanjutkan sekolah adalah hal yang sia-sia, buang-buang waktu, pikiran, dan yang pasti menghabiskan uang, apalagi kondisi saya yang sedang bekerja di luar negeri.Â
Awalnya, ibu melarang saya untuk lanjut kuliah, dengan berbagai alasan yang saya sebut tadi.
"Selesai kuliah, bisa jadi apa?"
Pertanyaan itu terlontar. Jujur, saya sendiri bingung mau jawab apa. Yang jelas, keinginan saya sejak dulu adalah bisa melanjutkan pendidikan dan dapat berbagi pengalaman pada siapapun.
Saya terdiam, tapi tanpa sepengetahuannya, saya menghubungi kantor pendaftaran Universitas Terbuka Pokjar Hong Kong. Ngobrol dan sharing tentang keadaan kerjaan dan keinginan saya. Alhasil, ucapan ibu ijabah. Saya tidak bisa kuliah karena waktu libur yang tidak pasti dan bukan di hari Minggu. Saat itu tahun 2013 akhir.
Ok. Saya terima, karena mungkin memang begitu jalannya. Namun, tidak bisa dipungkiri keinginan itu tetap tumbuh bergejolak.
Satu tahun kemudian, masa kontrak saya habis. Dikarenakan majikan kurang baik, akhirnya saya mencari bos baru. Saya berpikir, inilah kesempatan untuk saya dapat libur di hari Minggu, seperti teman yang lainnya. Saat interview dengan calon majikan, saya mengajukan beberapa permintaan.
"Saya enggak makan babi dan minta izin buat melakukan ibadah."
"Ok, tapi kamu tidak boleh ibadah di kamar atau di ruang tamu, tapi di dapur," sahutnya.
Saya mengangguk tersenyum dan mengiyakan.Â
"Saya minta libur setiap hari Minggu, karena saya ada kegiatan dan ikut les," pinta saya selanjutnya.
Mereka berpikir sejenak.Â
"Boleh, tapi saat saya ada keperluan kamu tidak boleh libur. Namun, jangan khawatir, saya akan infokan beberapa hari sebelumnya, supaya kamu bisa atur jadwal di luar."
Saya setuju dan semua deal. Empat Februari 2015 saya mulai bekerja di sana. Mereka mendukung setiap kegiatan saya, dari yang awalnya hanya kegiatan menulis dan beberapa kegiatan di luar.Â
Adaptasi. Ya, itu yang saya lakukan terlebih dahulu. Satu tahun berlalu.
Januari 2016, saya mendapat tugas meliput di acara Orientasi Studi Mahasiswa Baru (OSMB) Universitas Terbuka Pokjar Hong Kong di Bayanihan, Kennedy Town. Ketika itu, saya merasa kagum saat MC memanggil nama-nama yang mendapat nilai tertinggi. Beberapa di antara mereka terlihat berusia 30-40 tahunan. Saya langsung menghayal, jika itu adalah saya. Pasti ibu akan bangga dan merubah pikirannya. Keinginan lanjut sekolah pun kembali tersulut semangat.
Kira-kira bulan Mei saya mendaftarkan diri, tanpa izin terlebih dahulu. Alhamdulillah, Allah memudahkan jalan. Guru MTs saya dulu, langsung bersedia saat dimintai tolong untuk mengurus pengambilan ijazah SMA saya yang masih tertahan di Madrasah Aliyah Maarif NU 5, karena kendala biaya. Kemudian beliau mengirimkan hasil scan-nya via email. Juli, 2016 saya resmi menjadi Mahasiswa.
Setelah semua beres, barulah saya memberitahu ibu. Masih sama, ibu kurang setuju, tapi tidak ada cara lagi selain menyetujui karena semua data-data sudah terkirim. Dalam hal ini saya memang keras kepala.Â
"Ya sudah kalau gitu, belajar yang bener dan jangan buang-buang waktu."
Yeaah, saya bahagia sekali saat itu dan bergumam, "Saya harus menepati janji."Â
Hari-hari bekerja dari pukul 6 pagi sampai pukul 12 malam. Sebisa mungkin harus bisa membagi waktu, antara kerja, sekolah, dan hobi (menulis). Â Dapur, laptop, dan kamar adalah saksi bagaimana saya menjalani itu semua. Tak jarang, saya tertidur sampai pagi di depan laptop. Sering juga bos membangunkan saya, saat tertidur ketika belajar.Â
Ujian pun tiba. Jam kerja tetap sama tidak ada kompensasi dari bos.Â
"Gimana, bisa enggak ujiannya nanti? Sudah menguasai semua materi belum?" tanya  Pak Bos malam harinya.Â
Saya cuma tersenyum. Karena saya sendiri tidak yakin.Â
Pagi, saat perjalan menuju kampus, saya menelpon ibu untuk meminta restu dan doanya. Usai berbicara dengannya, hati yang tadinya gelisah berubah tenang, dan saya siap untuk menghadapi soal-soal nanti.Â
Ujian selesai, detik-detik pengumuman hasilnya pun tiba.
Tubuh ini gemetar seiring jantung yang berdetak kencang saat melihat hasil nilainya. Mungkin beberapa orang yang saya kabari merasa saya terlalu lebay. Mungkin hal ini biasa bagi mereka yang dari lulus SMA langsung lanjut ke perkuliahan. Namun, tidak dengan saya yang sudah lulus 7 tahun lalu. Semua begitu berat dengan waktu belajar yang hanya 2 jam per hari dalam kondisi lelah dan ngantuk.Â
Saya yakin, ini semua berkah dari restu ibu, hingga saya mampu mendapat IP yang memuaskan dan mendapat beasiswa untuk satu semester berikutnya sebesar 3000 HKD dari BNI Taplus.
Semenjak saya memberitahukan itu padanya, ibu tersenyum bahagia, dan sekarang beliau sepenuhnya mendukung jalan saya ini.
Tanggung jawab baru pun muncul, yaitu mempertahankan, karena saya sadar bahwa mempertahankan itu lebih sulit dari meraihnya.
Waktu terus berlalu. Suka duka masih berlangsung mengiringi langkahku hingga di titik akhir. September 2020, saya terjaring yudisium dan mendapat gelar S.S. dengan IPK 3,39. Belum sempurna, tapi saya tetap berada di rasa antara percaya dan tidak.Â
Saya yang awalnya berangkat untuk menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Hong Kong, bisa mendapat pencapaian seperti ini di tengah polemik kehidupan sebagai Asisten Rumah Tangga.
Kini, waktunya saya kembali mencari restu ibu, mewujudkan permintaannya, agar saya segera kembali ke tanah air, setelah 8 tahun berkelana di Negeri Beton. Tak ada lagi alasan untuk saya tetap bertahan.
Ibu, tinggal hitungan hari aku akan kembali. Selamat dan tetap dalam keadaan sehat selalu menjadi harap yang dinanti. Semoga kita dapat berkumpul lagi.
Hong Kong, 05 Februari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H