"Gimana, bisa enggak ujiannya nanti? Sudah menguasai semua materi belum?" tanya  Pak Bos malam harinya.Â
Saya cuma tersenyum. Karena saya sendiri tidak yakin.Â
Pagi, saat perjalan menuju kampus, saya menelpon ibu untuk meminta restu dan doanya. Usai berbicara dengannya, hati yang tadinya gelisah berubah tenang, dan saya siap untuk menghadapi soal-soal nanti.Â
Ujian selesai, detik-detik pengumuman hasilnya pun tiba.
Tubuh ini gemetar seiring jantung yang berdetak kencang saat melihat hasil nilainya. Mungkin beberapa orang yang saya kabari merasa saya terlalu lebay. Mungkin hal ini biasa bagi mereka yang dari lulus SMA langsung lanjut ke perkuliahan. Namun, tidak dengan saya yang sudah lulus 7 tahun lalu. Semua begitu berat dengan waktu belajar yang hanya 2 jam per hari dalam kondisi lelah dan ngantuk.Â
Saya yakin, ini semua berkah dari restu ibu, hingga saya mampu mendapat IP yang memuaskan dan mendapat beasiswa untuk satu semester berikutnya sebesar 3000 HKD dari BNI Taplus.
Semenjak saya memberitahukan itu padanya, ibu tersenyum bahagia, dan sekarang beliau sepenuhnya mendukung jalan saya ini.
Tanggung jawab baru pun muncul, yaitu mempertahankan, karena saya sadar bahwa mempertahankan itu lebih sulit dari meraihnya.
Waktu terus berlalu. Suka duka masih berlangsung mengiringi langkahku hingga di titik akhir. September 2020, saya terjaring yudisium dan mendapat gelar S.S. dengan IPK 3,39. Belum sempurna, tapi saya tetap berada di rasa antara percaya dan tidak.Â
Saya yang awalnya berangkat untuk menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Hong Kong, bisa mendapat pencapaian seperti ini di tengah polemik kehidupan sebagai Asisten Rumah Tangga.
Kini, waktunya saya kembali mencari restu ibu, mewujudkan permintaannya, agar saya segera kembali ke tanah air, setelah 8 tahun berkelana di Negeri Beton. Tak ada lagi alasan untuk saya tetap bertahan.