"Jangan tinggalin kami Rey, aku mohon," ucapku memeluk kakinya. "Aku tidak peduli kalau kamu tidak mencintaiku lagi, tapi aku mohon cintailah jiwa dalam diriku ini," lanjutku dengan suara yang tersendat-sendat karena isak tangis yang mencekik kerongkonganku.
Namun, dia tetap beranjak pergi meninggalkan luka di setiap jejak kakinya. Tak sedetik pun dia menoleh ke arahku.
"Rey ...!" teriakku dengan sisa suara yang kupunya.
*******
Sepekan telah berlalu. Rey tidak pernah hadir lagi untuk menciptakan pelangi di setiap hariku, bahkan suara panggilannya yang meluluhkan kalbu, hilang dari pendengaranku.Â
Namun satu yang tak pernah berhenti, ialah sang waktu. Â Ia terus bergulir mengiringi langkahku.
Hari-hariku terasa sepi dan hampa, tidak ada lagi senyuman yang tergambar di raut wajahku yang katanya putih berseri. Hilang sudah sinar yang terpancar. Aku hanya menghabiskan waktu untuk berdiam diri di dalam kamar yang menjadi saksi bisu cinta kasihku bersama Rey.
Tiada seorang pun datang membujukku keluar, meski hanya untuk sekedar menyuruh makan saja. Kedua orang tuaku selalu sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Hampir semua waktu mereka habiskan di luar kota dengan alasan pekerjaan setiap kali aku tanya.
"Sebenarnya aku ini siapa? Kenapa Papa sama Mama tidak pernah peduli dengan keadaanku?" teriakku dengan sekuat tenaga dan kedua tangan menarik lepas seprai tempat tidurku.
Air mata tak dapat lagi kubendung, kubiarkan mengalir sesukanya.
Rasa penyesalan atas kebodohanku yang percaya dengan janji manis Rey yang terasa indah saat terucap, terus menghantui pikiranku.